Apa Itu Satra ?
Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampe hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tampa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas diselaput telinga kita tapi apa sih sesungguhnya sastra itu?
Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Tinjauan Sejarah
Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua samudra, yaitu Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia (yang sekrang disebut Samudra Indonesia) dan Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejrah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa sendiri-sendiri.
Abad yang silam di beberapa tempat di kepulauan Nusantara berdiri kerarajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan Pajajaran (Jawa), Sriwijaya (Sumatra, serta Malaka dan Pasai (Semenanjung). Pada abad yang silam kerajaan-kerajaan itu memililki pengaruh yang cemerlang di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai daratan Asia.
Namun, pada abad ke-16 dan 17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang untuk mencari rempah-rempah, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Filipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung Malaka akhir abad ke-17 jatuh ke tangan orang Inggris. Sedangkan kepulauan yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia jatuh pula ke tangan orang Belanjda. Beberapa kerajan yang masih berdaulat, setapak demi setapak ditaklukan orang Belanda. Dan pada awal abad ke-20 dengan berakhirnya Perang Aceh, seluruh kepulauan Nusantara semuanya menjadi daerah taklukan Kerajan Belanda.
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang mengaku:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indoesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Kalau dicermati, tampak dengan jelas yang dimaksudkan dengan "Indonesia" oleh sumpah itu melingkupi seruluh wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai Nederlandsch Indie, yaitu wilayah Hindia yang dijajah oleh Belanda.
Politik Belanda dalam menjajah sangat keras. Mereka melakukan segala cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya. Baru pada awal abad ke-20, poltik Belanda agak lunak, yaitu sebagai reaksi terhadap politik cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah sangat merusak kehidupan kaum bumi putra. Dan sebagai gantinya dianutlah politik etis atau etische politiek.
Politik etis dalam kenyataannya tidaklah mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitaasi daerah jajahanya, tetapi sebagai "balas jasa" mereka mulai memperhatikan nasib anak negri. Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapatkan pendidikan, untuk maju bagi orang-orang bumi putera mulai agak leluasa.
Dan sebagai reaksi terhadap perkembangan itu, para pemimpin nasional Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun kian giat memperjuangkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Terutama Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, dan populer.
Perkembangan Sastra
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
Sejarah Sastra Indonesia
Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan-persamaan yang dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indnesia, kalau diteliti lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok baik istilah maupun konsepsinya.
Dalam ikhtisar ini akan diikuti pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
I. MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-45.
II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.
Dalam pembabakan ini digunaan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan. Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.
Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampe hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tampa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas diselaput telinga kita tapi apa sih sesungguhnya sastra itu?
Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Tinjauan Sejarah
Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua samudra, yaitu Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia (yang sekrang disebut Samudra Indonesia) dan Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejrah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa sendiri-sendiri.
Abad yang silam di beberapa tempat di kepulauan Nusantara berdiri kerarajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan Pajajaran (Jawa), Sriwijaya (Sumatra, serta Malaka dan Pasai (Semenanjung). Pada abad yang silam kerajaan-kerajaan itu memililki pengaruh yang cemerlang di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai daratan Asia.
Namun, pada abad ke-16 dan 17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang untuk mencari rempah-rempah, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Filipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung Malaka akhir abad ke-17 jatuh ke tangan orang Inggris. Sedangkan kepulauan yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia jatuh pula ke tangan orang Belanjda. Beberapa kerajan yang masih berdaulat, setapak demi setapak ditaklukan orang Belanda. Dan pada awal abad ke-20 dengan berakhirnya Perang Aceh, seluruh kepulauan Nusantara semuanya menjadi daerah taklukan Kerajan Belanda.
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang mengaku:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indoesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Kalau dicermati, tampak dengan jelas yang dimaksudkan dengan "Indonesia" oleh sumpah itu melingkupi seruluh wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai Nederlandsch Indie, yaitu wilayah Hindia yang dijajah oleh Belanda.
Politik Belanda dalam menjajah sangat keras. Mereka melakukan segala cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya. Baru pada awal abad ke-20, poltik Belanda agak lunak, yaitu sebagai reaksi terhadap politik cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah sangat merusak kehidupan kaum bumi putra. Dan sebagai gantinya dianutlah politik etis atau etische politiek.
Politik etis dalam kenyataannya tidaklah mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitaasi daerah jajahanya, tetapi sebagai "balas jasa" mereka mulai memperhatikan nasib anak negri. Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapatkan pendidikan, untuk maju bagi orang-orang bumi putera mulai agak leluasa.
Dan sebagai reaksi terhadap perkembangan itu, para pemimpin nasional Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun kian giat memperjuangkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Terutama Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, dan populer.
Perkembangan Sastra
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
Sejarah Sastra Indonesia
Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan-persamaan yang dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indnesia, kalau diteliti lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok baik istilah maupun konsepsinya.
Dalam ikhtisar ini akan diikuti pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
I. MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-45.
II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.
Dalam pembabakan ini digunaan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan. Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.
”Bacaan Liar” dan
Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk putera.
Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.
Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).
Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti.
Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Pengarang lain yang produktif adalah seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, kemudian terbit beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924)
Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.
Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.
Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi
Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang “Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil. Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.
M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata ……….. (1932).
Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah.
Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Namun ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyair melihat bangsanya yang berada dalam cengkaraman penjajah, misalnya dalam sajak yang berjudul “Mengeluh”. Di dalam sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.
MENGELUH
I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.
II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.
Di situlah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
Balai Pustaka dan Roman-romannya
Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda Teruna (1922) yang berupa hikayat.
Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan. Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul Memang Jodoh.
Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.
Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M. Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij (tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.
Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927. sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Hal itu akan nyata sekali dalam salah sebuah soneta yang terdapat dalam Puspa Mega Sanusi Pane sebagai berikut :
TEJDA
Lihat langit sebelah barat
Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega
Makin lama muram cahaya;
Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.
Keluh kesah menurut awan,
Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,
Hatiku menangis dipalu rawan,
Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus.
Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan
Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a banyak bercerita tantang cintanya.
Dapat kau memberitahukan daku.
Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?
Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).
Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).
Para Pengarang Balai Pustaka (1900-1942)
1. Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau 1893)
a. Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
b. Cinta yang Membawa Maut (1926)
c. Salah Pilih (1928). Roman ini mengupas tentang keburukan perkawinan Asri dan Sarinah.
d. Karena Mertua (1932). Roman ini melukiskan kehidupan rumah tangga yang terlalu dirong-rong oleh pihak mertua sehingga mengalami berbagai krisis.
e. Tuba Dibalas dengan Susu (1933) yang diambil dari naskah Asmaradewi, mengisahkan kesabaran seorang lelaki yang senantiasa dihinakan oleh pihak perempuan.
f. Hulu Balang Raja (1934) yang merupakan roman sejarah yang didasarkan pada sebuah disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (partai Barat dan Minangkabau 1665-1668 terbit 1931).
Masih banyak roman atau karya Nur Sutan Iskandar yang terbit setelah tahun 1933. misalnya Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1937), Dewi Rimba (1935), Cinta dan Kewajiban (1941), dan lain-lain.
2. I Gusti Njoman Pandji Tisna
a. Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali.
b. Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam.
c. I Swasta Setahun di Bedahulu (1938) yang melukiskan masalah hukum karma, yang merupakan lntrik Keraton dan berbagai kebiasaan raja-raja. Didalamnya menggambarkan kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan
d. Dewi Karana (1938) diterbitkan di Medan.
e. I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan) 1954), dikarang penulisnya setelah memeluk agama Islam.
3. Tulis Sutan Sati (1928)
Ia menerbitakan buku sejak 1920, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat yang menceritakan tentang masalah adat dan kawin paksa masih menjadi tema yang utama dalam karangan Tulis Sutan Sati yang pertama. Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thalib yang bergelar St. Pamuntjak dalam bahasa Minangkaau ke dalam bahasa Indonesia. Syair yang ditulisnya berjudul syair Siti Marhumah yang Saleh (1930), syair Rosina (1933). Roman yang ditulis adalah Tak Disangka (1925), Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).
4. Paulus Supit (1932)
Ia berasal dari Menado. Menulis roman tentang perjuangan sebuah keluarga yang taat beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan. Seperti Kasih Ibu (1932).
5. Aman Dt. Madjoindo (lahir pada tahun 1896)
Karya-karyanya berupa roman yaitu Menebur Dosa (1932) dan Si Cebol Rindukan Bulan (1934). Buku berupa syair antaranya yang brejudul syair si Banso (Gadis Durhaka) terbit tahun 1931, Syair Gul Bakawali (1936).
6. Sunan Hasibunan atau yang lebih terkenal sebagai Suman Hs. (lahir di Bengkalis tahun 1904).
Karya-karyanya antara lain roman Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Setia (1931), Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Adapun cerpen buah karyanya adalah Kawan Bergelut (1938). Diluar Balai Pustaka, Suman Hasibuan menerbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).
7. Habib St. Maharadja
Karyanya adalah Nasib (1932). Berlainan dengan roman-roman pada zaman itu yang kebanyakan berputar sekitar kawin paksa dan berbagai adat kebiasaan buruk dilingkungan seorang pemuda Minangkabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda di sana, tetapi ketika kemudian mereka kembali ke tanah air, lalu bercerai. Kemudian ia menikah lagi dengan gadis sebangsanya dan keduanya berjanji akan mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.
8. Haji Said Daeng Muntu yang biasa memakai nama H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin Muhammadiyah di Sulawesi. Roman-romannya antara lain :
a. Pembalasan (1935), merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah Goa ketika daerah itu mulai dikuasai oleh Belanda, menceritakan sekitar pengkhianatan seorang seorang pembantu yang mendapat kepercayaan dari tuannya.
b. Karena Kerendahan Budi (1941), mempermasalahkan persoalan sosial dan pendidikan modern.
9. Soetomo Djauhar Arifin (lahir di Madiun 1916 dan meninggal di Jakarta 1959). Romannya berjudul Ardang Teruna (1941), merupakan roman nyanyian kemenangan kaum muda terhadap kaum kolot.
Para Pengarang Wanita
1. Sariamin yang biasa terkenal dengan nama Selasih atau Seleguri menulis di Talu, Sumatra Barat 1909. Ia menulis dua buah roman yaitu :
a. Kalau Tak Untung (1933), melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama sekolah dan sama pula hidup dalam tak berkecukupan.
b. Pengaruh Keadaan (1937), mengisahkan kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis yang bernama Yusnani, yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri.
2. Hamdah yang merupakan samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari Palembang. Karyanya hanya sebuah saja yaitu Kehilangan Mestika (1935). Roman ini menceritakan kemalangan seorang gadis yang kehilangan ayah, kemudian kehilangan kekasihnya.
3. Aldin Affandi dan Sa’adah Alun (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya 1941). Sa’adah Alim menulis cerpen yang dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Kemudian ia menerjemahkan Angin Timur Angin Barat. Karya pengarang wanita kebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
4. Marra Amin (dilahirkan di Bengkulu 1920), ia menulis sajak-sajak dalam majalah ‘Poejangga Baroe’. Peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poeskaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh cerita rakyat lama yang terdapat diseluruh Indonesia seperti si Kabayan, si Lebai Malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka. Cerita-cerita yang lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk. Roman pertama yang dikarang M. Kasim ialah Muda Teruna (1922), Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (si Samin) (1924).
Cerpen-cerpen Suman Hs. yang dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs., diantaranya :
1. Pantai jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong
2. Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah.
3. Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh seorang yang buta huruf.
Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Jaji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau) yang dikumpulkan dalam Lembah Kehidupan (1941).
Cerpen “Inyik Utih”, yang berhasil yaitu melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang sampai rambutnya putih belum bersuami. Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan Taman Penghibur Hati (1941).
Penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh adalah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banyak dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, diantaranya yang berjudul “Belenggu”. Dalam cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru dan memilih hidup menyendiri.
Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpul-kan dan diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953).
Drama
Dalam penulisan drama, Roestam Effendi telah menulis drama-sajak berjudul Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata …… (1932) dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934).
Sanusi Pane menulis Kertajaya dan Sandhayakala ning Majapahit. Dalam Bahasa Belanda ialah Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht. Umumnya drama itu berbentuk closed drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.
Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan Masa”. Dramanya yang lain “Jinak-jinak Merpati”, juga melukiskan kehidupan zamannya sendiri.
Menjelang Jepang datang, terbit pula pada Balai pustaka dua buah buku drama buah tangan Sa’adah Alim dan Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan buah tangan Affandi berjudul Gadir Modern (1941).
Penyair dari Sumatra
1. A. Hasjmy ata M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh 1914).
Sebagai anggota Poejangga Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Serang Pengembara, disusul Dewan Sajak (1940). Kisah Seorang Pengembara memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbentuk soneta dan empat seuntai yang menisahkan pengembaraan seorang pemuda.
Kumpulan sajak Dewan Sajak terbagi dalam tujuh bagian yaitu : Firdaus, Airmata, Karangan Bunga, Kiasan Alam, Dendangan Bunda, Buatan Mimpi, dan Taman Muda.
Sajak-sajak yang berserakan pada masa sesudah perang dibukukan bersama beberapa buah cerpen dengan judul Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963).
2. Surapaty, nama samaran M. Saleh Umar
Sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari sajak A. Hasjmy. Sajak dengan judul Indonesia Baru (1941) yang “Dipersembahkan Kepada Angkatan Muda”. Sajak-sajaknya tidak meyakinkan karena tidak ada penghayatan.
Sesudah perang ada kumpulan sajak yang terbit yaitu Diriku Ta’ Ada (1949).
3. H.R. Badaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1971)
Bukunya Sarinah dan Aku (1940). Ia membuat perlambang pertemuannya dengan tanah air terjajah yang diperumpamakannya dengan seorang wanita yang berada di bawah cengkraman orang. Sedangkan dirinya hina tak dapat berbuat apa-apa.
Bagian lain dari kumpulan sajak ini merupakan ratapan penyair terhadap kekasih yang pergi meninggalkannya. Bandaharo aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil menerbitkan bebrapa kumpulan sajak di antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah (1963).
4. Rifa’i `Ali (lahir di Padang Panjang 1909).
Ia menerbitkan Kata Hati (1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan kepercayaan agama yang dipeluknya, agama Islam. Salah satu sajaknya berbunyi :
Basmallah
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti
Ia pun menerjemahkan ke dalam bentuk puisi beberapa surah Al-Qur’an, yaitu surah Al-Ikhlas menjadi Maha Tunggal, surah Al-Asri menjadi Waktu dan surat An-Nasri menjadi Bersyukurlah.
5. Or. Mandank
Adalah seorang penyair Islam yang menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya.
Nama sebenarnya adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandonk dilahirkan di Kota Panjang, Suliki, 1 Januari 1913. Sindiran itu terdapat dalam buku Sebab Aku Terdiam ………(1939). Ia menerbitkan buku di Balai Pustaka berjudul Narumalina (1932). Sebuah cerita yang penuh lirik melukiskan kehidupan di kampung. Tahun 1939 ia menerbitkan Pantun Orang Muda dan Sebab Aku Terdiam…….
Pemimpin yang merasa cukup dengan memberi fatwa saja berupa ada tanggung jawab, disindirnya dengan halus dalam sajak yang berjudul “Petua dan Nasihat”, sindiran itu ditujukan kepada diri sendiri. Di bagian lain dilukiskan betapa orang-orang yang hendakl bekerja asyik mendengarkan nasihat yang diberikannya. Sementara itu haripun rembang sehingga seharian itu tak apapun dikerjakan. Kemudian Mandank merindukan “Pujangga” tapi bukan ‘Pujangga Pemain Kata’ melainkan pujangga yang turun ke bumi nyata dari tahta untuk memberi bukti perbuatan :
“Pujangga!, turunlah, O, Pujangga!
Dimanakah tuan lagi bertahta!
Saya hasrat hendak berjumpa
Menemui wajahmu, O pujangga!
Bukan pujangga pemain kata
Tetapi pujangga juru pencipta
Pembawa ujud bukti yang nyata
Yang bukan kata sekedar kata …………”
6. Samadi , nama samaran dari Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Kumpulan sajak yang diterbitkan Senandung Hidup (1941). Pada tahun 1939 ia menjadi redaktur Peduman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sejak syair yang dihimpunkan dalam Senandung Hidup ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941.
Dasar keagamaan pada penyair ini berasa tidak pernah sampai lepas dalam segala penderitaan dan kemalangan Ia senantiasa ingat akan Tuhan
Dalam sajaknya Aku Kembali, Kasih ………ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan. Setelah ia mengembara kemana-mana, merasa rindu dan “Selalu sangsi atas cintamu”.
Dan kesadaran akan mati menyebabkan ia selalu ingat akan perintah tuhan, seperti ia katakana dalam sajaknya “Betapa Gerang Akan Jadinya”.
Semua itu menyebabkan ia sadar betapa arti hidup dan kehidupan di alam pana ini, seperti dituliskan dalam sajak ‘Hidup’.
Segalanya itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran Jalan Benar. Apa kata oaring tak jadi soal, sama halnya dengan sanjung dan puji “membunuh hati”,seperti dikatakanya dalam sajak ‘Asal Takhina di Sisi Tuhan’. Hidup baginya hanyalah mencari ridho Ilahi semata.
Sajaknya ‘Musapir Mendaki Gunung’ dan Kepada Kekasih, merupakan sajak-sajak yang cukup kuat.Sajak itu nafasnya lebih dekat kepada sajak-sajak para penyair sesudah perang dari pada kepada penyair sebelumnya.
Penyair ini hilang tak berbekas ditengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatra sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
TOKOH-TOKOH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
1. NUR SUTAN ISKANDAR
Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di Padang. Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka. Dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jakarta. Salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus Partai Indonesia Raya. Pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni mengarang. Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik. Dengan sangat teliti ia menggambarkan lokasi cerita, hinggga mampu membuat karyanya sangat menarik.
Adapun karyanya antara lain :
a. Neraka Dunia (Novel 1937)
b. Cinta Tanah Air (Novel 1944)
c. Perjalanan Hidup ; Perjuangan Srikandi Irian Barat untuk Kemerdekaan (1962)
d. Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929, dari Ridder Hanggard)
e. Tiga Panglima Perang (1922, saduran dari Alexander Dimas)
f. Abunawas (1929)
2. MARAH RUSLI
Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan paad zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka, melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah :
a. Anak dan Kemenakan (roman 1956)
b. La Hami (roman sejarah di Pulau Sumba)
c. Memang Jodoh (belum diterbitkan sampai sekarang)
3. ABDUL MUIS
Abdul Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai Puar, Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959 di Bandung. Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi wartawan dan pemimpin Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar bagi Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah pula menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia) ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1920.
Sebagai penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa Barat hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman ini sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu. Selain itu, roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan masalah diskriminasi ras (keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang lebih menarik lagi karena persoalan ini diungkap karya sastra.
Roman Abdul Muis kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933) dibandingkan dengan roman pertamanya roman ini kurang berhasil. Roamn tersebut berisi kritik terhadap unsur-unsur feodalisme yang menghambat kemajuan. Hal yang menarik dari roman tersebut adalah digunakannya dialek Betawi dan Sunda dalam dialog-dialog antara pelakunya.
Adapun karya-karya Abdul Muis yang lain adalah :
a. Surapati (roman sejarah,1950)
b. Putri Umbun-Umbun Emas (1950)
c. Robert Anak Surapati (roman sejarah 1952)
d. Suara Kakaknya (cerpen)
e. Daman Brandal Sekolah Gudang (roman kanak-kanak)
Selain ketiga pengarang yang disebut di atas, sebenarnya banyak sekali pengarang-pengarang lainnya. Mereka antara lain :
4. AMAN DATUK MOJOINDO
Aman Datuk Mojoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat pada tahun 1895 dan meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 di Jakarta. Ia pernah memimpin rubrik cerita anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Pada umumnya karangannya berisi kejenakaan (humor). Karangan yang telah dihasilkannya antara lain :
a. Si Doel Anak Betawi
b. Si Cebol Rindukan Bulan (roman 1934)
5. MUHAMMAD KASIM
Muhammad Kasim lahir pada tahun 1886 di Muaara Sipongi dan pekerjaan sehari-harinya menjadi guru. Satu keistimewaannya adalah menampilkan cerita-cerita lucu. Bukunya yang berejudul : Pemandangan Dunia Anak-Anak, mendapat juara kesatu dalam lomba mengarang bacaan anak-anak yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, pada tahun 1924. Karangan Muhammad Kasim Antara lain:
a. Teman Duduk (kumpulan cerpen yang dimuat Panji Pustaka sekitar tahun 1931-1935)
b. Muda Teruna (19520)
6. TULIS SUTAN SATI
Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal paad zaman Jepang. Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair. Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932), sedangkan karya-karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita Hasanah yang saleh), Syair Rosina (saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi pada abad lampau), Sabai nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk prosa beriman).
7. MERARI SIREGAR
Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juni dan meninggal tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura. Ia menjadi terkenal karena romannya Azab dan Sengsara (1920). Karya-karyanya adalah Azab dan Sengasara (roman 1920).
Selain pengarang di atas juga ada pengarang wanita dalam Balai Pustaka antara lain :
a. Nurani
Nurani terkenal dalam dunia sastra karena terjemahan-terjemahannya antara lain berjudul Pinokio.
b. Sa’adah Alim
Pengarang ini dikenal karena karya-karyanya sendiri maupun terjemahan. Karyanya sendiri adalah pembalasannya (1941 drama) dan Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen 1941).
c. Selasih
Selasih lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di talu, Lubuk Sikaping. Karya-karyanya adalah Kalau- Tak Untung (roman 1933) dan Pengaruh Keadaan (roman 1937), sedangkan puisi-puisinya dimuat dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Ia sering menggunakan nama samaran Seleguri atau Sariamin.
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk putera.
Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.
Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).
Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti.
Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Pengarang lain yang produktif adalah seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, kemudian terbit beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924)
Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.
Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.
Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi
Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang “Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil. Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.
M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata ……….. (1932).
Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah.
Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Namun ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyair melihat bangsanya yang berada dalam cengkaraman penjajah, misalnya dalam sajak yang berjudul “Mengeluh”. Di dalam sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.
MENGELUH
I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.
II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.
Di situlah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
Balai Pustaka dan Roman-romannya
Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda Teruna (1922) yang berupa hikayat.
Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan. Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul Memang Jodoh.
Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.
Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M. Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij (tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.
Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927. sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Hal itu akan nyata sekali dalam salah sebuah soneta yang terdapat dalam Puspa Mega Sanusi Pane sebagai berikut :
TEJDA
Lihat langit sebelah barat
Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega
Makin lama muram cahaya;
Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.
Keluh kesah menurut awan,
Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,
Hatiku menangis dipalu rawan,
Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus.
Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan
Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a banyak bercerita tantang cintanya.
Dapat kau memberitahukan daku.
Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?
Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).
Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).
Para Pengarang Balai Pustaka (1900-1942)
1. Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau 1893)
a. Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
b. Cinta yang Membawa Maut (1926)
c. Salah Pilih (1928). Roman ini mengupas tentang keburukan perkawinan Asri dan Sarinah.
d. Karena Mertua (1932). Roman ini melukiskan kehidupan rumah tangga yang terlalu dirong-rong oleh pihak mertua sehingga mengalami berbagai krisis.
e. Tuba Dibalas dengan Susu (1933) yang diambil dari naskah Asmaradewi, mengisahkan kesabaran seorang lelaki yang senantiasa dihinakan oleh pihak perempuan.
f. Hulu Balang Raja (1934) yang merupakan roman sejarah yang didasarkan pada sebuah disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (partai Barat dan Minangkabau 1665-1668 terbit 1931).
Masih banyak roman atau karya Nur Sutan Iskandar yang terbit setelah tahun 1933. misalnya Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1937), Dewi Rimba (1935), Cinta dan Kewajiban (1941), dan lain-lain.
2. I Gusti Njoman Pandji Tisna
a. Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali.
b. Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam.
c. I Swasta Setahun di Bedahulu (1938) yang melukiskan masalah hukum karma, yang merupakan lntrik Keraton dan berbagai kebiasaan raja-raja. Didalamnya menggambarkan kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan
d. Dewi Karana (1938) diterbitkan di Medan.
e. I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan) 1954), dikarang penulisnya setelah memeluk agama Islam.
3. Tulis Sutan Sati (1928)
Ia menerbitakan buku sejak 1920, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat yang menceritakan tentang masalah adat dan kawin paksa masih menjadi tema yang utama dalam karangan Tulis Sutan Sati yang pertama. Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thalib yang bergelar St. Pamuntjak dalam bahasa Minangkaau ke dalam bahasa Indonesia. Syair yang ditulisnya berjudul syair Siti Marhumah yang Saleh (1930), syair Rosina (1933). Roman yang ditulis adalah Tak Disangka (1925), Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).
4. Paulus Supit (1932)
Ia berasal dari Menado. Menulis roman tentang perjuangan sebuah keluarga yang taat beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan. Seperti Kasih Ibu (1932).
5. Aman Dt. Madjoindo (lahir pada tahun 1896)
Karya-karyanya berupa roman yaitu Menebur Dosa (1932) dan Si Cebol Rindukan Bulan (1934). Buku berupa syair antaranya yang brejudul syair si Banso (Gadis Durhaka) terbit tahun 1931, Syair Gul Bakawali (1936).
6. Sunan Hasibunan atau yang lebih terkenal sebagai Suman Hs. (lahir di Bengkalis tahun 1904).
Karya-karyanya antara lain roman Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Setia (1931), Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Adapun cerpen buah karyanya adalah Kawan Bergelut (1938). Diluar Balai Pustaka, Suman Hasibuan menerbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).
7. Habib St. Maharadja
Karyanya adalah Nasib (1932). Berlainan dengan roman-roman pada zaman itu yang kebanyakan berputar sekitar kawin paksa dan berbagai adat kebiasaan buruk dilingkungan seorang pemuda Minangkabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda di sana, tetapi ketika kemudian mereka kembali ke tanah air, lalu bercerai. Kemudian ia menikah lagi dengan gadis sebangsanya dan keduanya berjanji akan mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.
8. Haji Said Daeng Muntu yang biasa memakai nama H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin Muhammadiyah di Sulawesi. Roman-romannya antara lain :
a. Pembalasan (1935), merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah Goa ketika daerah itu mulai dikuasai oleh Belanda, menceritakan sekitar pengkhianatan seorang seorang pembantu yang mendapat kepercayaan dari tuannya.
b. Karena Kerendahan Budi (1941), mempermasalahkan persoalan sosial dan pendidikan modern.
9. Soetomo Djauhar Arifin (lahir di Madiun 1916 dan meninggal di Jakarta 1959). Romannya berjudul Ardang Teruna (1941), merupakan roman nyanyian kemenangan kaum muda terhadap kaum kolot.
Para Pengarang Wanita
1. Sariamin yang biasa terkenal dengan nama Selasih atau Seleguri menulis di Talu, Sumatra Barat 1909. Ia menulis dua buah roman yaitu :
a. Kalau Tak Untung (1933), melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama sekolah dan sama pula hidup dalam tak berkecukupan.
b. Pengaruh Keadaan (1937), mengisahkan kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis yang bernama Yusnani, yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri.
2. Hamdah yang merupakan samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari Palembang. Karyanya hanya sebuah saja yaitu Kehilangan Mestika (1935). Roman ini menceritakan kemalangan seorang gadis yang kehilangan ayah, kemudian kehilangan kekasihnya.
3. Aldin Affandi dan Sa’adah Alun (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya 1941). Sa’adah Alim menulis cerpen yang dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Kemudian ia menerjemahkan Angin Timur Angin Barat. Karya pengarang wanita kebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
4. Marra Amin (dilahirkan di Bengkulu 1920), ia menulis sajak-sajak dalam majalah ‘Poejangga Baroe’. Peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poeskaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh cerita rakyat lama yang terdapat diseluruh Indonesia seperti si Kabayan, si Lebai Malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka. Cerita-cerita yang lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk. Roman pertama yang dikarang M. Kasim ialah Muda Teruna (1922), Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (si Samin) (1924).
Cerpen-cerpen Suman Hs. yang dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs., diantaranya :
1. Pantai jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong
2. Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah.
3. Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh seorang yang buta huruf.
Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Jaji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau) yang dikumpulkan dalam Lembah Kehidupan (1941).
Cerpen “Inyik Utih”, yang berhasil yaitu melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang sampai rambutnya putih belum bersuami. Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan Taman Penghibur Hati (1941).
Penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh adalah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banyak dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, diantaranya yang berjudul “Belenggu”. Dalam cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru dan memilih hidup menyendiri.
Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpul-kan dan diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953).
Drama
Dalam penulisan drama, Roestam Effendi telah menulis drama-sajak berjudul Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata …… (1932) dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934).
Sanusi Pane menulis Kertajaya dan Sandhayakala ning Majapahit. Dalam Bahasa Belanda ialah Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht. Umumnya drama itu berbentuk closed drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.
Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan Masa”. Dramanya yang lain “Jinak-jinak Merpati”, juga melukiskan kehidupan zamannya sendiri.
Menjelang Jepang datang, terbit pula pada Balai pustaka dua buah buku drama buah tangan Sa’adah Alim dan Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan buah tangan Affandi berjudul Gadir Modern (1941).
Penyair dari Sumatra
1. A. Hasjmy ata M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh 1914).
Sebagai anggota Poejangga Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Serang Pengembara, disusul Dewan Sajak (1940). Kisah Seorang Pengembara memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbentuk soneta dan empat seuntai yang menisahkan pengembaraan seorang pemuda.
Kumpulan sajak Dewan Sajak terbagi dalam tujuh bagian yaitu : Firdaus, Airmata, Karangan Bunga, Kiasan Alam, Dendangan Bunda, Buatan Mimpi, dan Taman Muda.
Sajak-sajak yang berserakan pada masa sesudah perang dibukukan bersama beberapa buah cerpen dengan judul Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963).
2. Surapaty, nama samaran M. Saleh Umar
Sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari sajak A. Hasjmy. Sajak dengan judul Indonesia Baru (1941) yang “Dipersembahkan Kepada Angkatan Muda”. Sajak-sajaknya tidak meyakinkan karena tidak ada penghayatan.
Sesudah perang ada kumpulan sajak yang terbit yaitu Diriku Ta’ Ada (1949).
3. H.R. Badaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1971)
Bukunya Sarinah dan Aku (1940). Ia membuat perlambang pertemuannya dengan tanah air terjajah yang diperumpamakannya dengan seorang wanita yang berada di bawah cengkraman orang. Sedangkan dirinya hina tak dapat berbuat apa-apa.
Bagian lain dari kumpulan sajak ini merupakan ratapan penyair terhadap kekasih yang pergi meninggalkannya. Bandaharo aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil menerbitkan bebrapa kumpulan sajak di antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah (1963).
4. Rifa’i `Ali (lahir di Padang Panjang 1909).
Ia menerbitkan Kata Hati (1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan kepercayaan agama yang dipeluknya, agama Islam. Salah satu sajaknya berbunyi :
Basmallah
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti
Ia pun menerjemahkan ke dalam bentuk puisi beberapa surah Al-Qur’an, yaitu surah Al-Ikhlas menjadi Maha Tunggal, surah Al-Asri menjadi Waktu dan surat An-Nasri menjadi Bersyukurlah.
5. Or. Mandank
Adalah seorang penyair Islam yang menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya.
Nama sebenarnya adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandonk dilahirkan di Kota Panjang, Suliki, 1 Januari 1913. Sindiran itu terdapat dalam buku Sebab Aku Terdiam ………(1939). Ia menerbitkan buku di Balai Pustaka berjudul Narumalina (1932). Sebuah cerita yang penuh lirik melukiskan kehidupan di kampung. Tahun 1939 ia menerbitkan Pantun Orang Muda dan Sebab Aku Terdiam…….
Pemimpin yang merasa cukup dengan memberi fatwa saja berupa ada tanggung jawab, disindirnya dengan halus dalam sajak yang berjudul “Petua dan Nasihat”, sindiran itu ditujukan kepada diri sendiri. Di bagian lain dilukiskan betapa orang-orang yang hendakl bekerja asyik mendengarkan nasihat yang diberikannya. Sementara itu haripun rembang sehingga seharian itu tak apapun dikerjakan. Kemudian Mandank merindukan “Pujangga” tapi bukan ‘Pujangga Pemain Kata’ melainkan pujangga yang turun ke bumi nyata dari tahta untuk memberi bukti perbuatan :
“Pujangga!, turunlah, O, Pujangga!
Dimanakah tuan lagi bertahta!
Saya hasrat hendak berjumpa
Menemui wajahmu, O pujangga!
Bukan pujangga pemain kata
Tetapi pujangga juru pencipta
Pembawa ujud bukti yang nyata
Yang bukan kata sekedar kata …………”
6. Samadi , nama samaran dari Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Kumpulan sajak yang diterbitkan Senandung Hidup (1941). Pada tahun 1939 ia menjadi redaktur Peduman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sejak syair yang dihimpunkan dalam Senandung Hidup ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941.
Dasar keagamaan pada penyair ini berasa tidak pernah sampai lepas dalam segala penderitaan dan kemalangan Ia senantiasa ingat akan Tuhan
Dalam sajaknya Aku Kembali, Kasih ………ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan. Setelah ia mengembara kemana-mana, merasa rindu dan “Selalu sangsi atas cintamu”.
Dan kesadaran akan mati menyebabkan ia selalu ingat akan perintah tuhan, seperti ia katakana dalam sajaknya “Betapa Gerang Akan Jadinya”.
Semua itu menyebabkan ia sadar betapa arti hidup dan kehidupan di alam pana ini, seperti dituliskan dalam sajak ‘Hidup’.
Segalanya itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran Jalan Benar. Apa kata oaring tak jadi soal, sama halnya dengan sanjung dan puji “membunuh hati”,seperti dikatakanya dalam sajak ‘Asal Takhina di Sisi Tuhan’. Hidup baginya hanyalah mencari ridho Ilahi semata.
Sajaknya ‘Musapir Mendaki Gunung’ dan Kepada Kekasih, merupakan sajak-sajak yang cukup kuat.Sajak itu nafasnya lebih dekat kepada sajak-sajak para penyair sesudah perang dari pada kepada penyair sebelumnya.
Penyair ini hilang tak berbekas ditengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatra sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
TOKOH-TOKOH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
1. NUR SUTAN ISKANDAR
Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di Padang. Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka. Dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jakarta. Salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus Partai Indonesia Raya. Pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni mengarang. Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik. Dengan sangat teliti ia menggambarkan lokasi cerita, hinggga mampu membuat karyanya sangat menarik.
Adapun karyanya antara lain :
a. Neraka Dunia (Novel 1937)
b. Cinta Tanah Air (Novel 1944)
c. Perjalanan Hidup ; Perjuangan Srikandi Irian Barat untuk Kemerdekaan (1962)
d. Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929, dari Ridder Hanggard)
e. Tiga Panglima Perang (1922, saduran dari Alexander Dimas)
f. Abunawas (1929)
2. MARAH RUSLI
Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan paad zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka, melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah :
a. Anak dan Kemenakan (roman 1956)
b. La Hami (roman sejarah di Pulau Sumba)
c. Memang Jodoh (belum diterbitkan sampai sekarang)
3. ABDUL MUIS
Abdul Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai Puar, Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959 di Bandung. Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi wartawan dan pemimpin Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar bagi Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah pula menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia) ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1920.
Sebagai penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa Barat hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman ini sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu. Selain itu, roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan masalah diskriminasi ras (keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang lebih menarik lagi karena persoalan ini diungkap karya sastra.
Roman Abdul Muis kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933) dibandingkan dengan roman pertamanya roman ini kurang berhasil. Roamn tersebut berisi kritik terhadap unsur-unsur feodalisme yang menghambat kemajuan. Hal yang menarik dari roman tersebut adalah digunakannya dialek Betawi dan Sunda dalam dialog-dialog antara pelakunya.
Adapun karya-karya Abdul Muis yang lain adalah :
a. Surapati (roman sejarah,1950)
b. Putri Umbun-Umbun Emas (1950)
c. Robert Anak Surapati (roman sejarah 1952)
d. Suara Kakaknya (cerpen)
e. Daman Brandal Sekolah Gudang (roman kanak-kanak)
Selain ketiga pengarang yang disebut di atas, sebenarnya banyak sekali pengarang-pengarang lainnya. Mereka antara lain :
4. AMAN DATUK MOJOINDO
Aman Datuk Mojoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat pada tahun 1895 dan meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 di Jakarta. Ia pernah memimpin rubrik cerita anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Pada umumnya karangannya berisi kejenakaan (humor). Karangan yang telah dihasilkannya antara lain :
a. Si Doel Anak Betawi
b. Si Cebol Rindukan Bulan (roman 1934)
5. MUHAMMAD KASIM
Muhammad Kasim lahir pada tahun 1886 di Muaara Sipongi dan pekerjaan sehari-harinya menjadi guru. Satu keistimewaannya adalah menampilkan cerita-cerita lucu. Bukunya yang berejudul : Pemandangan Dunia Anak-Anak, mendapat juara kesatu dalam lomba mengarang bacaan anak-anak yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, pada tahun 1924. Karangan Muhammad Kasim Antara lain:
a. Teman Duduk (kumpulan cerpen yang dimuat Panji Pustaka sekitar tahun 1931-1935)
b. Muda Teruna (19520)
6. TULIS SUTAN SATI
Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal paad zaman Jepang. Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair. Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932), sedangkan karya-karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita Hasanah yang saleh), Syair Rosina (saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi pada abad lampau), Sabai nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk prosa beriman).
7. MERARI SIREGAR
Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juni dan meninggal tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura. Ia menjadi terkenal karena romannya Azab dan Sengsara (1920). Karya-karyanya adalah Azab dan Sengasara (roman 1920).
Selain pengarang di atas juga ada pengarang wanita dalam Balai Pustaka antara lain :
a. Nurani
Nurani terkenal dalam dunia sastra karena terjemahan-terjemahannya antara lain berjudul Pinokio.
b. Sa’adah Alim
Pengarang ini dikenal karena karya-karyanya sendiri maupun terjemahan. Karyanya sendiri adalah pembalasannya (1941 drama) dan Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen 1941).
c. Selasih
Selasih lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di talu, Lubuk Sikaping. Karya-karyanya adalah Kalau- Tak Untung (roman 1933) dan Pengaruh Keadaan (roman 1937), sedangkan puisi-puisinya dimuat dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Ia sering menggunakan nama samaran Seleguri atau Sariamin.
.
1. Lahirnya Majalah
Pujangga Baru
Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karanagan “sastra seperti Sri Poestaka (1919-1941). Panji Poestaka (1919-1992) Yong Soematra (1920-1926). Hinggga awal tahun 1930 an para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesastraan belum juga terlaksana
Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-193 ) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Ali Syahbana sebagai direktur.
Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Ali Syahbana berhasil mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum. Tahun 1935 berubah menjadi menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi pembahasan yaiut bnerbunyi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia.”
Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang banyak melontarkan gagsan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan Moh. Zain (tahun1887), S.M Latif yang menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-lain.
2. Tokoh-tokoh Poejangga Baru
Sutan Takdir Alisjahbana
Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisyahbana lahir di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul dipanggung sejarah dengan roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936), adapun roman yang berjudul Anak Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu dari pada Layar Terkembang dimuat sebagai Feulilleton dan majalah Pandji Poestaka.
Tiga puluh tahun kemudian Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru). Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting., yang terbit pada tahun tiga puluhan merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pujangga baru .Sebagai penulis roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina Bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”.
Atas inisiatif Takdir melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-1952 ). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ).
Takdir juga menulis sajak-sajak salah satunya yang mengenangkan pada kematian isterinya yaitu berjudul Tebaran Mega ( 1936 ).Esai-esai Takdir tentang sastra banyak juga antara lain “Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman Pembangunan Bangsa (1938), “Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur Baru (1941)”, dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bungarampai Puisi Lama (1941).Dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing.
Armijn Pane
Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe. Armin terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding kesopanan.
Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya.
Arminj pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang sebelumnya, melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai dengan angan masing-masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula penulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949).
Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya.
Amir Hamzah (1911-1946)
Amir Hamzah termasuk salah satu penyair religius (keagamaan). Ia menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
Ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Jawa. Aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan dan bersama Sultan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru.
Keturunan bangsawan langkat di Sumatra Timur. Ini menghasilkan karya yang tidak sedikit, diantaranya :
- Sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937)
- Buah Rindu (1941)
- Setanggi Timur (1939)
- Dsb
Ciri khas puisi Amir Hamzah :
1. Ia banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah bahasa melayu dan kawi.
2. Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda.
Isi sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Tetapi isi puisinya tidak hanya menimbulkan kesedihan, rasa sunyi dan pasrah diri tapi ia juga menekankan pada rasional.
J. E. Tatengkeng
J. E. Tatengkeng juga termasuk salah seorang penyair religius sama halnya seperti Amir Hamzah. Hanya saja yang membedakan adalah Amir beragama Islam sedangkan J. E. Tangkeng beragama Kristen. Ia juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
Penyair kelahiran Sangihe ini menulis sebuah buku yang berjudul Rindu Dendam. Puisi pertamanya berjudul Anakku dan masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe.
Sajak, kritik-kritik, esai-esainya sangat penting terutama karena sifatnya yang tegas dan jujur. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau.
Struktur puisinya bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi melayu lama lainnya.
Asmara Hadi
DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA BARU YANG LAIN
Sesungguhnya banyak penyair yang menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan. Tetapi tidak mereka lakukan.
Salah seorang diantara mereka adalah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama samaran H.R. atau Ipih, A. M. Daeng Myala (A.M. Thahir), Mozasa (Muhammad Zain Saidi) , M.R. Dajoh dan lain-lain.
a. Asmara Hadi
Sajak-sajaknya penuh romantik dan kesedihan dan dalam sebagian sajaknya lagi terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Hal ini di ilhami luka jiwa yang disebabkan oleh kematian cintanya; seperti pada puisi ‘Kusangka Dulu‘, ‘Kuingat Padamu’
b. A. M. Thahir (A.M. Dg. Myala)
Sajak-sajaknya dimuat dalam ‘Pandji Poestaka’ majalah Indonesia dan lain-lain. Pada sajaknya ada kecendrungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum buruh, misalnya dalam sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.
c. M. R. Dajoh
Ia juga menaruh minat pada pelukisan kehidupan si kecil. Karyanya antara lain: ‘Syair Untuk A. S. I. B. (1935) dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia.
d. Moehammad Zain Saidi (Mozasa)
Sajak-sajaknya hanya melukiskan kegembiraan menghadapi alam. Sajaknya sederhana namun didasari rasa cinta yang mesra, seperti dalam puisi yang berjudul: ‘Dikaki Gunung’.
e. A. Rivai (Yogi)
Pada tahun 1930 ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan dalam Sri Poestaka. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul ‘Puspa Aneka’ diterbitkanya sendiri yaitu pada tahun 1931.
Dari sajak-sajaknya akan tampak bahwa ia gemar akan teosofi dan terpengaruh oleh ajaran Krishnamurti.
Kecuali para penyair yang sudah disebut tadi dalam Poedjangga Baroe kita saksikan munculnya para penyair seperti Aoh K. Hadimadja, M. Taslim ‘Ali’ Bahrun Rangkuti, Maria Amin dan lain-lain yang perananya akan lebih penting pada kurun masa yang lebih kemudian.
3. Para Pengarang Balai Pustaka
a. Nur Sutan Iskandar
Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922) diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi H. Kroekampde Westkust en Minang Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).
Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis. Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.
b. I Gusti Njoman Panji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali. Roman pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman keduanya adalah Sukreni Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat bali yang keras dan kejam, roman ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.
BEBERAPA PENGARANG LAIN:
Tulis Sutan Sati menerbitkan buku sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah Sengsara Membawa Nikmat, kemudian menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St Pamuntjak dari bahasa Minangkabau kebahasa Indonesia.
Dua buah Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair Rosina. Paulus Supit pengarang Menado mengarang roman yang berjudul Kasih Ibu (1932). Aman Dt. Madjoindo lahir 1896 di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan beberapa syair diantaranya: Si Banso, Gul Bakawali. Suman Hasibuan atau Suman Hs. Lahir di Bengkalis 1904. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan. Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak Terlarai(1929), Percobaan Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Habib St Maharadja berjudul ‘Nasib’ yang mengisahkan tentang seorang pemuda Minang Kabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda.
4. Para Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.
Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan kekasih berturut-turut.
Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
5. Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun kedua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah yang sifatnya lelucon-hiburan, seperti Si Kabayan, Si Lebai malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, di bukukan dengan judul Teman Duduk.
M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922, yaitu dengan romannya yang pertama berjudul Muda Taruna. Pada tahun 1924 ia menang sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, dengan naskah Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (SI Amin) sebuah cerita kanak-kanak.
Berbagai-bagai saat dalam kehidupan manusia sehari-hari dijadikan bahan tulisan lucunya: beberapa lelucon lebaran dikumpulkannya dengan judul “Gurau Senda di I Sawal” dan yang lainnya seperti “ Bual di Kedai Kopi”, “Bertengkar Berisik”, dan lain-lain.dan hanya “Cara Chicago” lah yang tidak berupa lelucon.
Tidak banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman Hs. Kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberi judul Kawan Bergulat (1938) judul ini tidak banyak beda dengan judul kumpulan Cerpen M. Kasim: Maksudnya Hendaknya menunjuk isi buku tersebut hanyalah sekedar bahan bacaan senggang. Tetapi kalau dibandingkan gaya bahasanya, bahasa Suman lebih jernih. Hanya terasa pada bewberapa ceritanya, Suman memberikan kritik juga pada sifat-sifat manusia, misalnya dalam “Pandai Jatuh” menyindir orang yang suka sombong dalam “Fatwa membawa Kecewa” menyindir Orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah. Dalam “Kelekar Si Bigor” menyindir orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh orang yang buta huruf.
Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau). Seperti yang dikumpulkan dalam”Didalam Lembah Kehidupan” (1941). Berlainan dengan M. Kasim dan Suman Hs. Hamka mempergunakan cerpen bukan sebagai hiburan tetapi sebagai usaha untuk menggugah rasa sedih para pembaca. Adapun karya-karya Hamka adalah “kumpulan Air Mata, kesedihan dan rintihan yang diderita oleh golongan manusia diatas dunia ini dan Inyik Utih”.
Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941) dan yang diberinya keterangan “beberapa cerita pergaulan” tidak berhasil sebagai cerpen. Ada semacam prasangka dan ketakutan kepada “Barat” yang menyebabkan pengarangnya mempertahan tradisi dan keras kepala. Pada kenyataan saat Sa’adah Alim menulis cerpen-cerpen itu sebenarnya kaum muda sudah menang. Maka prasangka semacam itu terasa aneh. Tetapi kalau diingat dia berasal dari Minang
Kabau dengan sistem kemasyarakatannya matrilinial maka hal itu dapat dipahami juga.
Yang menulis cerpen-cerpen yang sungguh dan lebih ditinjau dari segi sastra ialah Armijn Pane. Cerpennya banyak dimuat dalam majalah poedjangga Baroe. Diantaranya “Barang Tiada Harga” cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya Belenggu.Dan dalam cerpennya ”Tujuan Hidup” ia melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru yang memilih hidup sendiri. Dalam cerpen “Lupa” ia melukiskan kehidupan kaum politikus yang karena tak dapat memperjuangkan cita-cita mereka oleh berbagai tekanan pemerintah lalu menghabiskan waktu mereka ditempat-tempat maksiat.
Pada masa sesudah perang cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang ditambah dengan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Kalau “Barang Tiada Berharga” merupakan prototif bagi roman Belenggu yang ditulis Armijn. Maka kita pun menemukan prototif Layar Terkembang dalam cerpen “Mega Mendung” yang ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu terbit.Cerpen itu dimuat dalam majalah Pandji Poestaka.
6. Drama
Dalam bidang penulisan Drama kita hanya menyaksikan beberapa orang saja pengarang yang rata-rata menulis lebih dari satu drama.
Roestam Effendi menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah drama sajak Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara sudah Berkata…..(1932) juga Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dimana keduanya merupakan drama berdasarkan sejarah Jawa.
Sanusi pane menulis kertajaya dan Sandhyakala Ning Majapahit yang diambil dari sejarah Jawa, drama yang ditulisnya dlam bahasa Belanda juga mempunyai latar belakang kebesaran sejarah Jawa yaitu Air Langga dan Eenzame Gaoedavlucht.
Kegemaran para pengarang kita pada masa itu melukiasakn kebesaran sejarah, mungkin disebabkan oleh karena kerinduan akan kebesaran diri sendiri.
Umunya drama-drama itu berbentuk closet drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan. Didalamnya kurang sekali gerak dan aksi ataupun pertunjukan watak melainkan banyak sekali percakapan. Namun rata-rata drama-drama tersebut pernah juga di pertunukan diatas panggung. Biasanya apabila ada kesempatan peringatan-peringatan atau kongers-kongres. Dalam roman Layar Terkembang, Takdir melukiskan bahwa dalam Kongres perikatan Perkumpulan Perempuan yang dihadiri oleh Tuti, dipertunjukan drama Sanusi Pane Sandhyakala ning Majapahit. Kesemapatan itu digunakan Takdir Alisjabana untuk mengkeritik dan mengemukakan pendapat tentang drama itu melalui tokoh-tokoh romanya.
Sanusi Pane yang mengambil tempat peistiwa terjadinya di India Manusia Baru (1940), juga merupakan closet drama. Drama ini seperti drama-drama lain sangat idealistis dan merupakan wadah si pengarang dalam mengemukakan cita-citanya mengenai Timur dan Barat permainan watak, dramatis dan lukisan-lukisan sisinya kurang mendapa perhatian.
Armijin Pane banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup jamanya. Berdasarkan cerpenya Barang Tiada Berharga” , juga melukiskan kehidupan jamannya sendiri. Akan tetapi bukan berarti ia tidak menulis drama berdasarkan peristiwa masa silam. Dari roman I Gusti Njoman Pandji Tisna, ia membuat drama ‘I Swasta setahun di Bedahulu’ dan berdasarkan sebuah cerita M.A. Salman dalam bahasa Sunda ia pun setting masa silam.
Setelah perang drama-drama Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan di terbitkan dengan jdudul Jinak-jinak Merpati (1953).
Menjelang Jepang datang, terbit pula Balai Pustaka dua buah buku drama tangan Sa’adah Alim yang berjudul. Pembalasannya (1940) dan buah tangan Adin Affandi. Yang berjudul Gadis Modern (1941). Keduanya meupakan komedi yang mengejek orang-orang intelek.
7. Roman-roman dari Medan dan Surabaya
Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dlam lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutnkan peneribitan roman-roman picisan, kita melihat roman-roman buah tangan hamka yang tadi sudah pernah kita singgung dalam hubungan penulis cerpen.
Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seoran ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatera Barat yang pernah mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Zahar di Kairo, Mesir. karena itu, meskuipun Hamka sekolahnya hanya sampai kelas II Sekolah Dsasar saja, namun ia mendapat pendidikan agama dan bahasa Arab yang luas dari Sumatra Thawalib, Parabek (Bukittinggi) dan dari ayahnya. Tahun 1927 Hamka pergi ke Jawa dan belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemimpin Islam terkemuka di Surabaya. Tahun 1927 ia pergi naik haji ke Mekah dan sepulangnya dari sana ia menjadi guru agama di padang dan turut pula memimpin pergerakan Muahammadijah di sana. Dari sana ia pindah ke medan dan aktif dalam jurnalistik. Ia menulis roman yang mula-mula dimuat sebagai feuilleton dalam majalah yang dipimpinnya. Bahwa seorng ulama menulis roman sangatlah aneh pada saat itu, sehingga timbul heboh. Hal itu menimbulkan pertikaian di kalangan umat Islam sendiri, ada yang pro dan ada yang kontra.
Roman Hamka yang petama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), mengishkan cinta tak samapi antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Yang membedakan roamn ini dengan kebanyakan roaman adat yang lain ialah karena pengaranya membawa pelakunya ke Mekah dekat Ka’bah. Juga romannya yang kedua Tenggelamnya kapal van der Wijck (1939) mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minagkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam roman ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan cmpuran Minang dengan Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena rapt nidik-mamak tdiak setuju dan menganggap Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin kemudian menjadi pengarang dan dalam suatu kecelakaan gadis kecintaanya meninggal dlam kapal yang ditumpanginya. Roman ini menimbulkan heboh pada tahun 1962, kerena ada orang yang menyebutnya roman ini sebagai hasil curian (plagiat). Roman ini disebut sebagai curian dari sebuah karangan pengarang Perancis Alphonse Karr yang penuh disadur ke dalam Bahasa Arab oleh Mustaffa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1924) sorang pujangga Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karanga Jean Bapitiste Alphonse Karr (1808-1890) yang dlalm bahsa Perancisnya berjudul Sous les Tilleules (Di bawah naungan pohon Tila) (1832) Madjulin. Madjdulin ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahsas Indonesia oleh A.S Alatas berjudul Magdalena (963).
Kecuali kedua roman itu, Hamka pun menulis pula Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1939).yang teakhir merupakan suatu kritik pula terhadap adat Minangkabau yang tidak segan-segan merusak kedamaian rumah tangga yang bahagia, karena si suami (orang Mingan) belum menikah secara adat, yaitu menikah dengan seoanrang Minangkabau, sehingga diceraikannyalah istri asal Jawa yang telah hidup bersama membangun rumah tangga bahagia.
Sehabis perang Hamka sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948?). riwayat hidupnya sendiri ditulisnya dalam empat jilid dengan judul Kenang-kenangan Hidup (1951-1952). Beberapa cerpennya dimasukkan pula ke dalam Di dalam Lembah Kehidupan.
Pengarang lain di Medan antara lain Matu Mona, namna samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1920 di Medan). Dan ia menulis roman berlatar peristiwa sejarah, berjudul Zamnan Gemilang (1939). Dan buku-bukunya yang lain adalah Ja Umenek Jadi-jadian, Rol Pacar Merah Indonesia, Spionage Dienst dan lain-lain
Sebuah roman yang dikarang oleh Iman Supardi berjudul Kintamani (1932) yang mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan seorang gadis Bali. Ia seorang wartawan yang aktif di Surabaya.
8. Pengarang Sumatra
Melalui usaha penyairnya sendiri dan penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di sumatra maka terbit beberapa buah kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah tangan Yogi. Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan lain-lain.
Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) sajak-sajaknya dimuat dalam majalah pujangga baru yaitu “Kisah Seorang Pengembara” (1936) memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbenmtuk soneta. Karyanya yang lain “Dewan Sajak” (1940) di bagi dalam 7 bagian yang rata-rata setiap bagian pengarang mengungkapkan pengalaman-pengalamanya. Kesukaran keindahan dan kegembiraan namun dengan cara yang datar karena tak ada penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak bermutu tinggi.
Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan dinilai kurang meyakinkan. Demikian juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di Medan 1917) diantaranya “Sarinah dan Aku” (1940). Kemudian sesudah masa pernag ia aktif dalam lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menerbitkan beberapa kumpulan sajak diantaranya “Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah.
Lebih bernilai unik diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang tahun1909). Beliau
banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan Agama Islam, salah satu sajaknya berbunyi:
BASMALLAH
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti
Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, 1-1-1913). Lewat karyanya Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya. karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang Muda (1939).
Penyair terpenting yang menerbitkan sajaknya di Medan sebelum perang ialah Sumadi atau Anwar Rasjid (lahir di Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau yang berjudul Senandung Hidup (1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.
Dasar keagamaan pada penyair ini tidak pernah lepas, ia senantiasa ingat akan Tuhan, ia sadar dan kian ikhlas berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di kenang”. Sajak-sajaknya yang lain berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan setelah ia mengembara ke mana-mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA DISISI TUHAN.
Semua hal yang terkandung dalam puisi itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran jalan yang benar, hidup baginya hanyalah mencari ridho ilahi semata.
Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
1. Angkatan ‘45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang masih mengingatkankta kepada sastra Melayu. Bahsa yang dipeergunakannya ialah bahsa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra.
Khairil Anwar segera mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengojo, Dodong Djiwapraja, S. Rukiah, Walujati, Harijadi S. Hartowardoyo, Moch. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan gaya menyoal-baru yang segera mendapat pengikut luas.
Dengan munculnya kenyataan itu, banyak orang yang berpendapat bahwa sesuatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada mulanya angkatan ini disebut Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Khairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan dan lain-lain. Pada tahun 1948 Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.
Tetapi sementara itu, meskipun namanya sudah diperoleh, sendi-sendi dan landasan idealnnya belum lagi dirumuskan. Baru pada tahun 1950, “Surat Kepercayaan Gelanggang“ dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama “Gelanggang Seniman Merdeka“, yang didirikan tahun 1947.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kalau kami bicara tentang kebudyaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudyaan baru yang sehat.
……………………………………………………………….
Jakarta 18 Februari 1950
Sebegitu banyak yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ’45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ’45 hanyalah lanjutan dari yang sudah dirintis angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru.
Pada tahun 1952, H.B. Jassin mengumumkan sebuah essai berjudul “Angkatan ‘45” yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan ’45. Jassin mengatakatan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan ’45 ini dengan para pengarang Pujanggga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Essai itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan karangan Jassin berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (1954).
Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai mulo ( SMP ) dan itu pun tidak tamat kemudian ia belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi.
Dari esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani dan secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam).
Sajaknya yang termasyhur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang memberist dan individualis berjudul AKU (ditempat lain diberi judul “Semangat”). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebgai “binatang jalang”, sebutan yang segera menjadi terkenal.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau.
Tak perlu sedus edan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa ‘ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Selain seorang individualis, Khairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, Kerawang – Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, erita Buat Dien Tamaela, dan lain-lain.
DIPONOGORO
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagus menjadi api
Di depan sekali Tuan menenti
Tak gentar. Laean banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini baaaarisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Biansa di atas ditinda
Sungguh pun dalam ajal baaaaaru tercapai
Jika hidup haarus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinismengejek nili-nilaioral, termasuknilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya yang berjudul Doa dan Isa menunjukkan peerasaan keagaaan yang mendalam.
DO’A
Kepada Pemeluk Teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar sudah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat romantis sepeti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi.
Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara yang diumumkan lam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lian ternyata berdasarkan sajak-sjak orang lain tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta, Rumahku dan lain-lain.
Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya.
Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950). Yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Avin. Tulisan-utlisan Khairil yang tidak dimuat dalam ketiga kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan kata pengantar H.B. Jassin berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Dan sajaknya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing di antaranya di dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia, Hindi, dan lain-lain.
Asrul Sani dan Rivai Apin
Penyair kawan seangkatan Chairil Anwar yang bersama sama mendirikan “ Gelanggang Seniman Merdeka “ ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menenrbitkan kumpulaan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950).
Asrul Sani lahir di Riau Sumatera Barat tanggal 10 Juni 1926, ia pertama kali mengumumkan sajak dan karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia , tahun 1948.
Asrul Sani seorang sarjana ke Dokteran Hewan yang kemudian menjadi Direktu Akedemi Tater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai DPRGR/MPRS Wakil Seniman.
Sajak-sajak Asrul Sani sangat merdu (melodius). Kata-katanya memberikan citra (image) yang lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya Matera dan Surat dari Ibu menunjukkan pandangan hidupnya yang moralis.
MANTERA
Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari ke mari!
Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati.
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa.
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tidak takut pada hitam,
Tiada takut pada kelam
Pitam dan kelam punya aku.
…………………………………………
Dalam sajak itu dia mengaku bahwa dirinya sebagai “laksamana dari lautan” dan “panglima dari segala burung rajawali yang menutup segala kota sambil menyebarkan api, supaya janda-janda tidak diprkosa” dan supaya “budak-budak tidur di pangkuan bunda.”
Cerpen-cerpen Asrul Sani melukiskan betapa halus perasaannya pada manusia; meluiskan kehidupan manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaan sendiri. Beberapa cerpen karangan Asrul Sani yang terkenal antara lain yang berjudul “ Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Si Penyair Belum Pulang, Perumahan Bagi Fadjria Novari, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat, Museum, Panen “ , dll.
Rivai Apin lahir di Padang Panjang tanggal 30 Agustus 1927. Sajak-sajaknya tidak semerdu sajak-asajak Asrul, tetapi berat dengan masalah yang mau sungguh-sungguh. Sejak masih duduk di sekolah menegang ia telah mengumumkan sajak-sajak dalam majalah-majalah terkemuka. Ia pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema suasana, Gelanggang, dan Zenith. Tahun 1954 ia melaksasnakan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya. Ia keluar dari redaksi Gelanggan dan beberapa waktu kemudian ia masuk kelingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Idrus
Lahir di Padang tanggal 21 September 1921. Ia pelopor angkatan 45, lulus dari sekolah menengah, ia bekerja dari menjadi redaktur Balai Pustaka. Di sanalah ia mulai menaruh perhatian kepada sastra. Pada zaman Jepang ia menulis beberapa cerita romantik tentang pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya seperti “ Ave Maria “ dan dramanya Kejahatan Membalas Dendam. Tapi, ketika melihat kesengsaraan dan kemelaratan rakyat di bawah kaki Dai Nippon, ia meninggalkan cerita romantic, dan mulai menuliskan cerita-cerita yang melukiskan ralitaskehidupan sehaari-hari. Sesudah masa revolusi tuliannya diumumkan dengan judul umum ‘Corat-Coret di Bawah Tanah’. Cerita ini melukiskan tentang kehidupan rakyat di jaman Jepang secara sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasarnya diperlihatkan dalam karangannya Surabaya, sampai-sampai ia di sebut “ Kontra Revolusi “.
Karangan-karanagan itu keudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul ‘Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ (1948). Cerita lainnya adalah Aki (1940) yang merupakan kidah simboliknya dengan maut. Di samping itu ada sebuah sandiwara dengan judul ‘Keluarga Surono’ (1948) terbit di Medan.
Ketika Idrus memimpin majalah kebudayaan dengan nama Indonesia, ia menulis tentang para pengarang antara lain, “Sultan Takdir Alisyahbana sebagai pengarang roman. Ia juga memuat roman Autobiografisnya berjudul ‘Perempuan dan Kebangsaan’ (1949), tapi roman ini dianggap gagal.
Setelah keluar dari Balai Pustaka ia bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways). Tahun 1953 ia muncul dengan cerpennya dalam majalah Kisah. Di lapangan penerjemahannya ia berjasa telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton Chekhov (1883 – 1923), pengaran Belgia William Elsshot (1882) dll.
Kemudian ia pindah ke Kuala Lumpur dan mendirikan perusahaan penerbitan. Buku yang diterbirkannya yaitu, ‘Dengan Mata Terbuka’ (1961), ‘Hati Nurani Manusia’ (1963).
Achadiat K. Mihardja
Meskipun pada zaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah Gelombang Zaman, nama Achdiat tidak peernah disebut-sbut dalam dunia sastra sampai ia muncul dengan romannya Atheis (1948). Ia dilahirkan di garut pada tanggal 6 Maret 1911.
Roman itu melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh Utamanya seorang pemuda kelahiran desa bernama Hasan. Pada masa kecilnya hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama Islam dan pengikut suatu aliran tarikat tapi ketika ia bekerja di kota, jauhlah ia dengan kehidupan agama.
Apaagi ketika akhirnya bertemu dengan kawan sekolahnya yangbenama Rusli yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai seorang ateis. Hasan yang kesadaraan agamanya hanya secara tradisional saja mudah sekali terombang-ambing. Perkataan-perkatan Rusli yang berpandangan Marxis mengguncangkan imannya. Terutama keeetika ia jtuh cinta kepada seorang janda muda bernama Kaartini, kawan Rusli, yang menuuuuurrt analisis Rusli menjadikorban kekejman kelas: Kartini keeeetika masih gadis dikawinkan oleh olrang atuanya dengan arab yang menjadilintah daraat.
Hasan terombang-ambing jiwnya: menjaaaai atheis tidakdan kemjai seorng beragama yang taat pun tidak lagi. Dalaamsuasamna terombang ambingitu I amneglami berbagai cobaan ula: kekurag ajaran Anawaruang menyebabkan Hasan selal hidup dalamcemburu terus-terusan karena kelihatan maumengganggu Kaartini, hubungan dengan orang tuanya yang memburuk, ketakutannya akansiksa neraka danlain-lain
Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orosinil. Sebelumnya tak pernah ada roman seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back bukan untuk pertama kali dipergunakan dalam penulisan roman Indonnesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit 1920 juga menggunakan cara flash-back. Tetapi cara Achdiat menggunakan flash-back sangat menarik: Atheis dibuka dengan suatu adegan ”si aku” pengarang bersama Kartini mencari berita tentang Hasan. Hasan ketika itu sudah mati. Kemudian, si aku mengisahkan pertemuan dengan Hasan yang memberikan karangan berdasarkan pengalaman hidupnya. Maka mulailah cerita Hasan sampai hubungan dengan orang tuanya mencapai krisis.
Tentang roman etis ini seorang sarjana sastra Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan berjudul Roman Ateis (1963).
Dia pernah bekerja menjadi pemimpin Balai Pustaka, kemudian pindah ke Jawatan Kebudayaan sampai pensiun. Tahun 1959 ia mengajar sastra modern di Fakultas Sastra UI dan tahun 1962 mengajr drama Indonesia modern di The Asutralian National University, Canbera.
Achdiat bukan pengarang yang produktif. Beberapa tahun lamanya seelah Atheis ia hanya menerbitkan Polemik Kebudyaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik sebelum perang dan drama anak berjudul Bentrokan dalam Asmara (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula karya sastranya berjudul Keretakan dan Ketenangan yang merupakan cerpen dan drama satu babak dan mendapat hadih sastra nasional dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955 – 1956.
Dalam cerpennya dan dramanya itu, Achdiat secara halus dan tajam melukiskan o-ka-ba (Orang Kaya Baru) yang penuh kesibukan dan kegermelapan, tetapi sesungguhnya kosong dan hampa. Tahun 1961 terbit cerpen Kesan dan Kenangan.
Pramoedya Ananta Toer
Dilahirkan di Blora pada tanggal 2 Pebruari 1925, mulai mengarang sejak zaman Jepang dan masa revolusi, Kranji dan Bekasi Jatuh (1947). Meskipun demikian, baru menaaarik perhaaatian duna sastra Indonesia tahun 1949 ketika cerpennya Blora yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara pengaran yang diadkan oleh Balai Pustaka. Blora ditulis dalam gaya yang sangat padat dan menyenakkan. Cerpen itu kemudian bersaaaaaaaama duauah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjaran ditebitkan menjadi sebuah bkkuu berjudl Subuh (1950).
Roman Keluarga Gerilya (1950) dan cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama sama beberapa cerpen yang ditulisnya sebelumnya diterbitkan dalam buku yang berjudul Percikan Revolusi (1950).
Perburuan ialah sebuah cerita fiksi (rekaan) yang berdasarkan pemberontakan PETA yang gagal terhadap Jepang, karena salah satu orang di antara shodancho yang akan berontak itu berkhianat. Selanjutnya Pram membahas kesetiaan manusia: ketika shodancho Hardo yang menyamar sebagai kere bertemu dengan bakal mertuanya, dengan ayahnya, ia hanya menemukan kekecewaan saja. Bakal metuanya berkhianat lapor pada Jepang dan ayahnya yang dicopot dari kekdudukanya sebagai weddaan menjadi penjudi. Semua peerisitwa itu dipadatkan pengarnag terjadi dalam temp shai semalam.
Juga dalam roman Keluarga Gerilya peristiwa-peristiwa yang terjaadi dipadatkan dahanya dalam tiga malam saja. Keterangan di bawah judul bukunya, “Kisah keluaaarga manusia dalam tiga hari tiga mlam saja.”
Pram ialah seorang yang sangat produktif menulis, tak henti-hentinya ia menulis, Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951 – 1952) merupakan pengalamannya selama dipenjara; Cerita dari Blora 1952 mendapat hadiah sastra nasional BMKN. Tahun 1952 menerbitkan kumpulan cerpennya Di Tepi Kali Bekasi 1950. Sebuah roman yang melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Krawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam 1951, Gulat di Jakarta 1953, Korupsi 1954, Midah si Manis Bergigi Emas 1954, Cerita dari Jakarta 1957, dll.
Dalam cerpennya Dia yang Menyerah yang dimuat dalam buku Cerita dari Blora. Pram melukiskan sebuah keluarga yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun 1948. Dalam cerita itu ia mengutuk PKI. Tetapi, sikapnya terhadap PKI berubah sejak pertengahan tahun 1950-an.
Pada awal tahun 1960 ia sudah masuk menjadi seorang anggota pimpinan LEKRA yaitu sebagai seksi seni sastra dari Lekra dan memimpin grup Lentera yang melalui surat kabar Bintang Minggu tak habis-habisnya menyerang para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka dengan berbagai fitnah dan insinuasi. Karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing yaitu : Inggris, Belanda, Rusia, Cina, dan Jepang dll.
Semasa menjalani hukuman di Pulau Buru, Pram menulis kwartet Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru dan baru bisa dinikmati secara bebas beberapa tahun setelah rejim orba jatuh melalui gerakan Reformasi 1997. Dalam kwratet itu Pram melukiskan masa awal tumbuhnya nasionalisme untuk melawan pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda melalui sinergi tokoh Nyai Ontosoroh, seorang gundik Belanda, Tuan Melema, dan anak pribumi bernama Minke.
Semangat perlawanan dimulai ketika hak asasi mereka diinjak-injak kaum penjajah. Annelis, kekasih sekaligus istri Minke dan anak kesayangan Nyai direnggut secara paksa oleh hukum kolonial. Annelis diambil paksa harus meninggalkan tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintainya di Hindia Belanda.
Mochtar Lubis
Terkenal sebagai wartawan surat kabar yang dipimpinnya adalah : Indonesia raya dan dilarang terbit pada tahun 1958. Ia sendiri sejak tahun 1956 ditahan denga tuduhan yang bukan-bukan, hampir 9 tahun ia disekap oleh rezim pemerintahan SEKARNO dan dikeluarkan pada tahun 1966. Setelah keluar ia bersama H.B. Yassin , Taufik Ismail, arief Budiman, Goenawan, Mohammad. Dll menerbitkan dan memimpin majalah Sastra “ HORISON “.
Ia lahir di Padang tanggal 7 Maret 1922. Buku romannya yang pertama berjudul “ Tak Ada Esok “ (1950), “ Jalan Tak Ada Ujung “ (1952) dan mendapat hadih sastra nasional dari BMKN. Roman ketiga berjudul “ Senja di Jakarta “ menceritakan tentang kehidupan politik kotor pada Koruptor, manipulator, dan propiteur di Jakrta dengan latar belakang kehidupan rakyat jelata.
Roman “ Jalan Tak Ada Ujung “ menceriterakan kehidupan jiwa seseirang guru yang senantiasa dalam ketakutan pada masa revolusi. Roman ke 4 berjudul “ Tanah Gersang “ 1966 menceriterakan tentang motif kejahatan anak-anak yang tidak mendapat cinta dan perhatian yang cukup dari orang tuanya.
Ia juga menulis cerpen dan esai (sering menggunakan “ SAUTRI) , kumpulan cerpen yang ditulisnya yaitu “ SI JAMAL “ dan “ PEREMPUAN “
Utuy Tatang Sontani
Lahir di Cianjur tahun 1920. Terkenal sebagai pengarang drama. Drama pertama berupa drama sajak berjudul “ Suling “ 1948. Drama kedua berjudul Bunga Rumah Makan 1948 “Awal dan Mira“ 1952 yang mendapat hadiah dari sastra nasional BMKN . Namun drama Utuy yang terkuat dan terbaik berjudul “ Selamat jalan anak kufur “. Romannya yang berjudul “ TAMBERA “ yang sampai sekarang dianggap salah satu roman terpenting angkatan 45.
Sitor Situmorang
Lahir di Harianboho, Tapanuli tanggal 2 ktober 1942. Mulai terkenal tahun 1953, ketika menulis sajak, drama, cerpen, esai, dll. Sajaknya pertama berjudul “ Surat Kertas Hijau “ 1954. Sajaknya kedua berjudul “Dalam Sajak“ 1955.
Ada jugamnerbitkan darama yang berjudul “ Jalan Mutiara “ 1945 dan kumpulan cerpennya yang berjudul “Pertempuran dan Salju “ di Paris 1956, sajak yang dibuatnya berjudul “ Lagu Gadis Italia “.
Kerling danau dipagi hari
Lonceng Gereja bukit Italia
Jika musimmu tiba nanti
Jemoputlah abang diteluk napoli
…………………………………
…………………………………
Menjelang akhir tahun lima puluhan , ia aktif dalam dunia politik praktis, tahun 1959 ia menjadi ketua pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajaknya di ganti dalam kumpulan bahasa gombastis dan slogan-slogan murah, sajaknya termuat dalam kumpulan yang berjudul “ Zaman Baru “ 1962 dan tahun 1966 ia ditahan dan disangka terlibat gestapi PKI.
Aoh K. Hadimadja
Nama samarannya Karlan Hadi, muncul didunia sastra pada masa sebelum perang. Sajaknya dimuat dalam majalah “ Poedjangga Baroe “, yang banyak menyanyikan keindaha alam. Pada masa Jepang ia menulis sajak-sajaknya yang religius 1952 dimuatnya dalam kumpulan Zahra.
Tahun 1952, ia juga menulis sandiwara berjudul sejumlah repootasi literernya dalammanusia dan tanahnya. Ia pun menjadi pemimpin sejarahan mingguan mimbar di Medan.
Ia membukukan kegitan dalam buku berjudul beberapa paham angkatan 45 1952), ia pun menulis bahasnya dimuat dalam polemiknya dengan Hamka dan Bakri Siregar dengan H.B. Yassin dan sajak karang penyair muda Sumatera.
Ia lahir pada tanggal 15 September 1911. Tahun 1953 ia menjadi pengawal Radio HILVERSUM NEDERLAND dan BBC LONDON.
M. Balfas dan Rusman Sutia Sumarga
Lahir di Jakarta tanggal 25 Desember 1922 ia terkenal sebagi prosis. Cerpennya “ ANAK REVOLUSI “ yang jadi perhatian orang-orang, yang diumumkanpertama kalinya dimajalah Bema Suasana 1948. Anak Revolusi dibukukan dengan judul Lingkaran Retak 1952.
Tahun 1953 ia bersama Sudjati S.S. mendidrikan majhalah Kisah, di Kuala Lumpur ia menuliskan roman berjudul Retak 1964 dan sandiwara berjudul “ tamu Malam “ . Rustam lahir di Subang tanggal 5 Juli 1917, pada tahun 1946 cerpen “ Gadis Bekasi “ ia mendapat hadiah, cetpen yang berjudul Terhempas dan terkandas 1851. Cerpen Sunda yang diterbitkan berjudul “ Korban Romabtik “ dan “ Kalung oleh Balai Pustaka 1964.
Trisno Sumardjo
Lahir di Surabaya tanggal 6 Desember 1916, dikenal sebagai pelukis dan bersama dengan S. Soedjojono menerbitkan majalah seniman 1947, di Solo buku pertamanya terbit 1952 berjudul “ Kata hati dan Perbuatan . Tahun 1953 menerbitkan Cita Taruna dan menrbitkan sandiwara legoris 1957. Bukunya berjudul “ RUMAH RAJA “ tahun 1962, cerpennya berjudul Daun Kering dan tahun 1968 berjudul “ Wajah Yang Berubah “, 1966 saja-sajaknya satu berjudul SILHUET tahun 1963, bersama para pengarang mengumumkan “ Manifes Kebudayaan “.
Terjemahan sastra yaitu : Drama “ Shakespear, Prahara 1952, Mana suka, 1952, Impian ditengah Musim 1954, Romeo dan Julia 1955, antonius dan Cleopatra 1963 dan sejumlah sonetanya. Ia pun menerjemahkan dongeng peumpamaan 1959 dari pujangga Perancis Jean da la Fontaine dan Dokter Zhivago 1959 dari pengarang Rusia Boris Pasternak dll.
Ia meninggal di Jakrta 20 April 1969 sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama dalam usianya 53 tahun.
Dodong Djiwa Pradja
Dodong sudah melukis sejak sekitar tahun 1948. Sajaknya Cita-Cita yang dimuat dalam majalah GEMA SUASANA takala masih diasuh oleh CHAIRIL ANWAR, merupakan salah satu sajak yang jernih.
Ia dilahirkan di Garut tanggal 28 September 1928. Selain menulis sajak ia juga menulis cerpen dan esai. Citra puisi pada sajaknya menemukan bentuknya yang sederhana, orisinil dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan saslah seorang penyair Indonesia terkuat selain Rendra.
Salah satu sajaknya yang dibuat pada tahun 1963 adalah :
NYANYIAN PAGI HARI
Dekapan pada hati, rumput-rumputmu, gunung-gunungmu
Tuang dan basuh muka dengan linang embunmu
Nyaman air, tercuci kaki berderai kerikil kali
Lebih indah dari impian, kenyataan diluar impian
…………………………………………………………….
…………………………………………………………….
Dekaplah, dekapkan pada hati
Rumput hijaumu
Gunung birumu
Dan langitmu yang bagai telur
Meskipun ia telah menulis sajak yang cukup banyak tapi ia belum berhasil membukukannya.
Harjadi Hartowardojo
Nama lengkapnya Harjadi Sulaeman Hartowardojo, mulai mengumpulkan sajaknya sekitar tahun 1950. Sebagian besar dari sajak pada masa-masa itu kemucian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku yang berjudul LUKA BAYANG, kumpulan sajak-sajaknya tahun 1950 – 1953 – 1963.
Harjadi dilahirkan di Prambanan tanggal 18 Maret 1930. Ia pernah bekerja pada redaksi majalah Pujangga Baru ( sesudah perang ) . Kemudian hidup sebagai wartawan di berbagai majalah dipenerbitan antara lain: Garuda, Siasat, surat kabar Pedoman dan membantu berbagai majalah. Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakrta. Ia tamatan Fakultas Publikasti dan Fakultas Psikologi. Ejak tahun 1968 pada bulan Juni, Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.
Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakarta. Ia tamatan Falkutas Publikastik, dan Fakultas Psikologi. Sejak tahun 1968 ( Juni ), Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.
Salah satu keryanya adalah :
ANJING MAKAN AKAR KAYU
Mari bone
Beta cari gadis, cari nona,
Beta tukar sirih pinang
Bersama melangkah, bersama berlagu
Menunggu bulan naik bulan terang
Siku beta main di dada
Semalam saja, besok
Berpasar sejam
Dansa, hail
Melangkah, hail
berputar dalam lingkaran
berbaris
Tangan berkepit-kepit
Sahut hormati beta punya lagu
Asa asu bukae hau baat
……………………………….
……………………………….
Selain menulis sajak ia juga menulis esei, serpen, dan roman. Esei terbaiknya di tulis pada tahun pertama lima puluhan. Cerpen-cerpennya masih berserakan, majalah-majalah yang memuatnya Roman yang dibuatnya berjudul MUNAFIK mendapat ajakan ikatan Penerbit Indonesia ( IKAPI ) Jawa Barat 1967.
Dalam romannya Harjadi melukiskan konfik tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi yang berlainan agama dan juga ras. Didalam masyarakat kampung yang tradisional dengan cara berpikir.
Meskipun disana sini roman ini menunjukkan kekurangan dalam kmposisi ceritanya, namun roman ini mempunyai daya saran / daya pengikat yang mencekam hampir secara magis, yang membuktikan ia sebagai penulis prosa.
MR. Rustandi Kartakusama
MH. Rustandi Kartakusama larih di Ciamis tanggal 21 Juli 1921. Beliau banyak sekali ,enulis esai. Esai-esainya ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelekar, memberikan latar belakang yang luas. Meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan lapang dada. Sikap dan pendapat beliau banyak orang tidak setuju, akan tetapi esai-esainya tetap berharga untuk dibaca. Beliau muncul dengan hasil karya dan buah tangannya pada akhit tahun empat puluhan dan beliau tidaklah tepat disebut angkatan 45’ sebab karya beliau sangat berbeda dengan angkatan 45’ dari segi bentuk atau isinya dan beliau sendiripun tidak mengaku sebagai angkatan 45’.
Adapun hasil karya beliau sebagai berikut :
a. Esai-esai tentang sastra, seni, dan filsafat diantaranya :
“Adam dan Si Anak Hilang “, “ Homo Faber “, “ Surat dari Cidadap Girang “, dimuat dalam majalah kebudayaan Indonesia. Dan esia-esai lainnya tentang “Ciliung “ dimuat dalam majalah gelanggang / siasat.
b. Drama yang terbit pada tahun 1950.
- Sajaknya Prabu dan Putri yang disebutnya “ Sebuah Tragedi “, ini merupakan sanduran dari sebuah cerita Pandji yang menceritakan bahwa segi percakapan tokoh-tokohnya nampak kecendrungan kepada pemikiran filosofis, percakapan tentang hidup, mati, ada dan tidak ada, keabadian, bahagia, dan lain-lain. Dan drama ini sulit dipentaskan.
- Drama yang lain berjudul “ Merah Semua Putih Semua “ ( 1961 ). Yang menceritakan atau melatar belakangi masa revolusi fisik melawan Belanda, yang berbentuk novela.
c. Dari drama beliau juga menulis scenario yang berjudul “ Lagu Kian Mendjauh “ ( 1959 ). Menceritakan tentang kehidupan seorang seniman musik yang mana dalam kehidupannya terlibat cinta terhadap seorang gadis orkes yang di pimpinnya.
d. Beliau juga menulis sajak, yang berjudul sebagai berikut :
- Rekaman dari Tudjuh Daerah ( 1951 ) ini merupakan sajak yang paling tebal terbit di Indonesia.
- Sajak yang berdasarkan kisah-kisah lama dari Lutung Kasarung, dari kisah “ Singasari “ dalam Kartanagara dan kisah “ Adam Dan Hawa “ daalm Paradise Lost dan lain-lain.
PARA PENGARANG WANITA
1. Ida Nasution.
Ida Nasution adalah pengarang esai yang berbakat dalam menulis esai yang dimuat dalam majalah-majalah. Tapi nasib beliau malang karena menjadi korban revolusi dan hilang dalam perjalanan Jakarta Bogr ( 1948 ).
2. Walujati.
Lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1942. Mulai menulis sajak pada masa-masa awal revolusi, sajak berjudul “ Berpisah “ merupakan sejak romantik yang mendapat pujian dari Chairil Anwar. Dan pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman yang berjudul “ Pudjani “ dan masih banyak lagi roman yang beliau tulis tak kunjung terbit.
3. St. Nuraini.
Lahir di Padang tanggal 6 Juli 1930. Beliau mnulis sajak, cerpen, esai, dan menterjemahkan hasil sastra asing. Salah satu sajak beliau yang sangat lembut dan halus sekali melukiskan perasaan sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.
4. S. Rukiah.
Lahir di Purwarkarta tanggal 25 April 1972, beliau juga menulis sajak dan bahkan dimuat dalam bukunya “ Tandus “ ( 1952 ) mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk puisi. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul “ Kejatuhan DaN Hati “ ( 1950 ) yang mengisahkan tentang perasaan wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus tetapi kemudian terpaksa kawin dengan pedagang pilihan ibunya.
5. Suwarsih Djojopuspito
Lahir di Bogor tanggal 20 April 1912. Hasil karyanya berupa roman yang ditulis dalam bahasa Belanda berjudul “ Buiten Het Gareel (diluar garus)” terbitan tahun 1941. Roman ini menceritakan kehidupan kaum pergerakan nasional Indonesia, terutama di lingkungan perguruan pertikelir (taman siswa) pada tahun tiga puluhan. Sebelum beliau menulis roman bahasa belanda beliau menulis roman dengan bahasa sunda akan tetapi roman ini ditolak Balai Pustaka. Lalu beberapa tahun kemudian beliau (1959) menerbitkan roman yang berbahasa Sunda tahun 1937 berjudul “ Marjanah “. Setelah itu beliau menulis cerpen yang pertama berjudul “ Tudjuh Tjerita Pendek “ (1951) yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954). Dan banyak lagi kumpulan-kumpulan cerpen yang belum dibukukan.
BEBERAPA PENGARANG LAIN
Kecuali para pengarang yang tadi sudah dibicarakan, masih banyak lagi para pengarang lain yang memulai atau mengajukan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945 – 1953. Misalnya Barus Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 15 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen yang berjudul Sepanjang Jalan. Dengan beberapa cerita lain (1953). Sk. Muljadi (lahir di Madiun tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya yang berjudul Kuburan (1951). Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915), menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Kisah Swajarnya (1952), S. Mundingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menebitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952).
Muhannad Dimyati yang kadang-kadang menggunakan nama samaran Badaruzzaman (larih di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpualn cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa (1951), R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949), dan Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung (1949) dan lain-lain.
Di samping itu ada pula pengarang-pengarang yang belum berhasil menerbitkan buah tangannya menjadi buku. Karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu. Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli tanggal 5 Oktober 1920), P Sengojo atau Suripman (lahir 1927), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun 1928), Muh Ali (Lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung Murbaningrad atau Sri Amarjati Murbaningsih yang ke semuanya nama samaran Suradal A. Manan (lahir di Kulur, Yogyakarya, tanggal 13 Agustus 1924), Sirulllah Kaelani yang kadang-kadang menggunakan nama S.K Insankamil (lahir di Ciledung, Cerebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius Marpaung (lahir di Porsea 1928), Harijadi S. Hartowaddojo (lahir di Prambanan 18 Maret 1930), Abas Kartadinata (Lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya1922) dan lain-lain.
P. Sengojo
Nama sebenarnya ialah Suriman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926. Kalau menulis sejak ia menggunakan nama samaran P. Sengojo atau Piet Sengodjo. Nama Suripman dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen.
Sajak-sajaknya surrealistis. Batas antara kenyataan dan angan-angan demikian titpis sehingga kabur-berbaur. Dalam sajak-sajaknya suasana samar-samar dan remang-remang, dunia yang maya terasa mendasari. Dalam beberapa hal ia melakukan percobaan-percobaan dengan bahasa, keluar dari kebiasaan yang umum.
MENCARI ANGIN
Perahu yang melancar di atas ke permukaan air yang kemilau dalam cahaya surya bermain ---------------
Aku yang merasa tenang dalam kegirangan yang meresap dari pohon di hadapan --------
Burung yang terbang lalu melayang di atas embusan angin---------------------
Aku dan engkau yang tiada berpandangan lagi, dan alam bebas melepaskan kita berdua---
Makin yang berharap menimbulkan bahagia ----------------------------
Ah, kita berdua telah saling percaya.
( Gelanggang / Siasat, 1953)
Lebih tenang dan lebih tajam, mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun 1952 – 1953 – 1954 memnuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta dengan judul umum Pecahan Bertebaran. Dalam esai-esainya itu ia menunjukkan bahwa di samping mempunyai erudisi yang luas, ia merupakan seorang yang waspada-tajam melihat situasi nyata yang hidup di sekelilingnya. Ia pun menunjukkan minat yang besar terhadap sastra dan nilai-nilai kebudayaan lama (Jawa).
Cerpen-cerpennya jumlahnya tidak banyak. Umumnya melukiskan kehidupan kampung dan pedesaan, di mana impian seorang naturalis tidak menemukan kenyataan. Banyak yang absurd.
M. Ali
Nama lengakpnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturanan India. Ia menulis sajak, cerpen dan sandiwara. Banyak dimuat dalam majalah-majalah Pudjangga Baru, Zenith, Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Konfrontasi, Indonesia dan lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwara yang terbaik kemudian dibukukan dalam sebuh kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959). Dalam karangan-karangannya tampak sekali perhatiannya terdahap masalah-masalah sosial dan kehidupan masyarakat. Sandiwara radio yang dimuat dalam buku itu berjudul “ Lapar ‘ merupakan gambaran tentang orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apapun juga miliknya untuk sekedar penangasel perut termasuk menjual anak dan dirinya sendiri. Dalam sebagian sajaknya, juga maslah ketuhanan dan keyakinan agama menjadi perhatiannya.
KEPADA GADIS CINTAWATI
Apakah hidup ini, jika tiada mati ?
Dan betapa Mati kija bukan kebangkitan kembali ?
Setelah kau berkisah tentang kasih dan benci ?
Sudah kugali lubang di bumi
Buat tempatku tinggal abadi
Segala berkata : inilah mimpi !
Musim-musim silih berganti
Wangi senja warena-wareni
Menyanyikan kebesaran mati
Dan orang ini ……………..
Yang mengebung-mengempis mengisi hari
Akan menyerah kepada mati
Dan bila kubangun rumah di sini
batu demi batu kususun rapi
atas napas ke napas yang menggendor sepi
Cintawati, kukasihi engkau, seperti murai
Ngagumi fajar dan embun pagi
Dan aku tahu : kau pun pasti hilang kembali
Kecuali yang dimuat dalam hitan atas Putih itu, masih benyak lagi karangan-karangannya yang belum dibukukan, baik cerpen maupun sajak. Beberapa buah karangannya yang lebih panjang dari cerpen telah diterbitkan berupa buku-buku kecil di Surabaya, antaranya 5 Tragedi (1954), Siksa dan Bayangan (1955), Persetujuan dengan Iblis (1955) dan Kubur Tak Bertanda (1955). Umumnya nilainya di bawah karangan-karangan yang dimuat dalam Hitam atas Putih
.
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang masih mengingatkankta kepada sastra Melayu. Bahsa yang dipeergunakannya ialah bahsa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra.
Khairil Anwar segera mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengojo, Dodong Djiwapraja, S. Rukiah, Walujati, Harijadi S. Hartowardoyo, Moch. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan gaya menyoal-baru yang segera mendapat pengikut luas.
Dengan munculnya kenyataan itu, banyak orang yang berpendapat bahwa sesuatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada mulanya angkatan ini disebut Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Khairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan dan lain-lain. Pada tahun 1948 Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.
Tetapi sementara itu, meskipun namanya sudah diperoleh, sendi-sendi dan landasan idealnnya belum lagi dirumuskan. Baru pada tahun 1950, “Surat Kepercayaan Gelanggang“ dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama “Gelanggang Seniman Merdeka“, yang didirikan tahun 1947.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kalau kami bicara tentang kebudyaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudyaan baru yang sehat.
……………………………………………………………….
Jakarta 18 Februari 1950
Sebegitu banyak yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ’45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ’45 hanyalah lanjutan dari yang sudah dirintis angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru.
Pada tahun 1952, H.B. Jassin mengumumkan sebuah essai berjudul “Angkatan ‘45” yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan ’45. Jassin mengatakatan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan ’45 ini dengan para pengarang Pujanggga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Essai itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan karangan Jassin berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (1954).
Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai mulo ( SMP ) dan itu pun tidak tamat kemudian ia belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi.
Dari esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani dan secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam).
Sajaknya yang termasyhur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang memberist dan individualis berjudul AKU (ditempat lain diberi judul “Semangat”). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebgai “binatang jalang”, sebutan yang segera menjadi terkenal.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau.
Tak perlu sedus edan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa ‘ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Selain seorang individualis, Khairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, Kerawang – Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, erita Buat Dien Tamaela, dan lain-lain.
DIPONOGORO
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagus menjadi api
Di depan sekali Tuan menenti
Tak gentar. Laean banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini baaaarisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Biansa di atas ditinda
Sungguh pun dalam ajal baaaaaru tercapai
Jika hidup haarus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinismengejek nili-nilaioral, termasuknilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya yang berjudul Doa dan Isa menunjukkan peerasaan keagaaan yang mendalam.
DO’A
Kepada Pemeluk Teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar sudah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat romantis sepeti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi.
Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara yang diumumkan lam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lian ternyata berdasarkan sajak-sjak orang lain tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta, Rumahku dan lain-lain.
Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya.
Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950). Yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Avin. Tulisan-utlisan Khairil yang tidak dimuat dalam ketiga kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan kata pengantar H.B. Jassin berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Dan sajaknya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing di antaranya di dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia, Hindi, dan lain-lain.
Asrul Sani dan Rivai Apin
Penyair kawan seangkatan Chairil Anwar yang bersama sama mendirikan “ Gelanggang Seniman Merdeka “ ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menenrbitkan kumpulaan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950).
Asrul Sani lahir di Riau Sumatera Barat tanggal 10 Juni 1926, ia pertama kali mengumumkan sajak dan karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia , tahun 1948.
Asrul Sani seorang sarjana ke Dokteran Hewan yang kemudian menjadi Direktu Akedemi Tater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai DPRGR/MPRS Wakil Seniman.
Sajak-sajak Asrul Sani sangat merdu (melodius). Kata-katanya memberikan citra (image) yang lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya Matera dan Surat dari Ibu menunjukkan pandangan hidupnya yang moralis.
MANTERA
Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari ke mari!
Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati.
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa.
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tidak takut pada hitam,
Tiada takut pada kelam
Pitam dan kelam punya aku.
…………………………………………
Dalam sajak itu dia mengaku bahwa dirinya sebagai “laksamana dari lautan” dan “panglima dari segala burung rajawali yang menutup segala kota sambil menyebarkan api, supaya janda-janda tidak diprkosa” dan supaya “budak-budak tidur di pangkuan bunda.”
Cerpen-cerpen Asrul Sani melukiskan betapa halus perasaannya pada manusia; meluiskan kehidupan manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaan sendiri. Beberapa cerpen karangan Asrul Sani yang terkenal antara lain yang berjudul “ Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Si Penyair Belum Pulang, Perumahan Bagi Fadjria Novari, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat, Museum, Panen “ , dll.
Rivai Apin lahir di Padang Panjang tanggal 30 Agustus 1927. Sajak-sajaknya tidak semerdu sajak-asajak Asrul, tetapi berat dengan masalah yang mau sungguh-sungguh. Sejak masih duduk di sekolah menegang ia telah mengumumkan sajak-sajak dalam majalah-majalah terkemuka. Ia pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema suasana, Gelanggang, dan Zenith. Tahun 1954 ia melaksasnakan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya. Ia keluar dari redaksi Gelanggan dan beberapa waktu kemudian ia masuk kelingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Idrus
Lahir di Padang tanggal 21 September 1921. Ia pelopor angkatan 45, lulus dari sekolah menengah, ia bekerja dari menjadi redaktur Balai Pustaka. Di sanalah ia mulai menaruh perhatian kepada sastra. Pada zaman Jepang ia menulis beberapa cerita romantik tentang pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya seperti “ Ave Maria “ dan dramanya Kejahatan Membalas Dendam. Tapi, ketika melihat kesengsaraan dan kemelaratan rakyat di bawah kaki Dai Nippon, ia meninggalkan cerita romantic, dan mulai menuliskan cerita-cerita yang melukiskan ralitaskehidupan sehaari-hari. Sesudah masa revolusi tuliannya diumumkan dengan judul umum ‘Corat-Coret di Bawah Tanah’. Cerita ini melukiskan tentang kehidupan rakyat di jaman Jepang secara sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasarnya diperlihatkan dalam karangannya Surabaya, sampai-sampai ia di sebut “ Kontra Revolusi “.
Karangan-karanagan itu keudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul ‘Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ (1948). Cerita lainnya adalah Aki (1940) yang merupakan kidah simboliknya dengan maut. Di samping itu ada sebuah sandiwara dengan judul ‘Keluarga Surono’ (1948) terbit di Medan.
Ketika Idrus memimpin majalah kebudayaan dengan nama Indonesia, ia menulis tentang para pengarang antara lain, “Sultan Takdir Alisyahbana sebagai pengarang roman. Ia juga memuat roman Autobiografisnya berjudul ‘Perempuan dan Kebangsaan’ (1949), tapi roman ini dianggap gagal.
Setelah keluar dari Balai Pustaka ia bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways). Tahun 1953 ia muncul dengan cerpennya dalam majalah Kisah. Di lapangan penerjemahannya ia berjasa telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton Chekhov (1883 – 1923), pengaran Belgia William Elsshot (1882) dll.
Kemudian ia pindah ke Kuala Lumpur dan mendirikan perusahaan penerbitan. Buku yang diterbirkannya yaitu, ‘Dengan Mata Terbuka’ (1961), ‘Hati Nurani Manusia’ (1963).
Achadiat K. Mihardja
Meskipun pada zaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah Gelombang Zaman, nama Achdiat tidak peernah disebut-sbut dalam dunia sastra sampai ia muncul dengan romannya Atheis (1948). Ia dilahirkan di garut pada tanggal 6 Maret 1911.
Roman itu melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh Utamanya seorang pemuda kelahiran desa bernama Hasan. Pada masa kecilnya hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama Islam dan pengikut suatu aliran tarikat tapi ketika ia bekerja di kota, jauhlah ia dengan kehidupan agama.
Apaagi ketika akhirnya bertemu dengan kawan sekolahnya yangbenama Rusli yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai seorang ateis. Hasan yang kesadaraan agamanya hanya secara tradisional saja mudah sekali terombang-ambing. Perkataan-perkatan Rusli yang berpandangan Marxis mengguncangkan imannya. Terutama keeetika ia jtuh cinta kepada seorang janda muda bernama Kaartini, kawan Rusli, yang menuuuuurrt analisis Rusli menjadikorban kekejman kelas: Kartini keeeetika masih gadis dikawinkan oleh olrang atuanya dengan arab yang menjadilintah daraat.
Hasan terombang-ambing jiwnya: menjaaaai atheis tidakdan kemjai seorng beragama yang taat pun tidak lagi. Dalaamsuasamna terombang ambingitu I amneglami berbagai cobaan ula: kekurag ajaran Anawaruang menyebabkan Hasan selal hidup dalamcemburu terus-terusan karena kelihatan maumengganggu Kaartini, hubungan dengan orang tuanya yang memburuk, ketakutannya akansiksa neraka danlain-lain
Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orosinil. Sebelumnya tak pernah ada roman seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back bukan untuk pertama kali dipergunakan dalam penulisan roman Indonnesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit 1920 juga menggunakan cara flash-back. Tetapi cara Achdiat menggunakan flash-back sangat menarik: Atheis dibuka dengan suatu adegan ”si aku” pengarang bersama Kartini mencari berita tentang Hasan. Hasan ketika itu sudah mati. Kemudian, si aku mengisahkan pertemuan dengan Hasan yang memberikan karangan berdasarkan pengalaman hidupnya. Maka mulailah cerita Hasan sampai hubungan dengan orang tuanya mencapai krisis.
Tentang roman etis ini seorang sarjana sastra Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan berjudul Roman Ateis (1963).
Dia pernah bekerja menjadi pemimpin Balai Pustaka, kemudian pindah ke Jawatan Kebudayaan sampai pensiun. Tahun 1959 ia mengajar sastra modern di Fakultas Sastra UI dan tahun 1962 mengajr drama Indonesia modern di The Asutralian National University, Canbera.
Achdiat bukan pengarang yang produktif. Beberapa tahun lamanya seelah Atheis ia hanya menerbitkan Polemik Kebudyaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik sebelum perang dan drama anak berjudul Bentrokan dalam Asmara (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula karya sastranya berjudul Keretakan dan Ketenangan yang merupakan cerpen dan drama satu babak dan mendapat hadih sastra nasional dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955 – 1956.
Dalam cerpennya dan dramanya itu, Achdiat secara halus dan tajam melukiskan o-ka-ba (Orang Kaya Baru) yang penuh kesibukan dan kegermelapan, tetapi sesungguhnya kosong dan hampa. Tahun 1961 terbit cerpen Kesan dan Kenangan.
Pramoedya Ananta Toer
Dilahirkan di Blora pada tanggal 2 Pebruari 1925, mulai mengarang sejak zaman Jepang dan masa revolusi, Kranji dan Bekasi Jatuh (1947). Meskipun demikian, baru menaaarik perhaaatian duna sastra Indonesia tahun 1949 ketika cerpennya Blora yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara pengaran yang diadkan oleh Balai Pustaka. Blora ditulis dalam gaya yang sangat padat dan menyenakkan. Cerpen itu kemudian bersaaaaaaaama duauah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjaran ditebitkan menjadi sebuah bkkuu berjudl Subuh (1950).
Roman Keluarga Gerilya (1950) dan cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama sama beberapa cerpen yang ditulisnya sebelumnya diterbitkan dalam buku yang berjudul Percikan Revolusi (1950).
Perburuan ialah sebuah cerita fiksi (rekaan) yang berdasarkan pemberontakan PETA yang gagal terhadap Jepang, karena salah satu orang di antara shodancho yang akan berontak itu berkhianat. Selanjutnya Pram membahas kesetiaan manusia: ketika shodancho Hardo yang menyamar sebagai kere bertemu dengan bakal mertuanya, dengan ayahnya, ia hanya menemukan kekecewaan saja. Bakal metuanya berkhianat lapor pada Jepang dan ayahnya yang dicopot dari kekdudukanya sebagai weddaan menjadi penjudi. Semua peerisitwa itu dipadatkan pengarnag terjadi dalam temp shai semalam.
Juga dalam roman Keluarga Gerilya peristiwa-peristiwa yang terjaadi dipadatkan dahanya dalam tiga malam saja. Keterangan di bawah judul bukunya, “Kisah keluaaarga manusia dalam tiga hari tiga mlam saja.”
Pram ialah seorang yang sangat produktif menulis, tak henti-hentinya ia menulis, Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951 – 1952) merupakan pengalamannya selama dipenjara; Cerita dari Blora 1952 mendapat hadiah sastra nasional BMKN. Tahun 1952 menerbitkan kumpulan cerpennya Di Tepi Kali Bekasi 1950. Sebuah roman yang melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Krawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam 1951, Gulat di Jakarta 1953, Korupsi 1954, Midah si Manis Bergigi Emas 1954, Cerita dari Jakarta 1957, dll.
Dalam cerpennya Dia yang Menyerah yang dimuat dalam buku Cerita dari Blora. Pram melukiskan sebuah keluarga yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun 1948. Dalam cerita itu ia mengutuk PKI. Tetapi, sikapnya terhadap PKI berubah sejak pertengahan tahun 1950-an.
Pada awal tahun 1960 ia sudah masuk menjadi seorang anggota pimpinan LEKRA yaitu sebagai seksi seni sastra dari Lekra dan memimpin grup Lentera yang melalui surat kabar Bintang Minggu tak habis-habisnya menyerang para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka dengan berbagai fitnah dan insinuasi. Karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing yaitu : Inggris, Belanda, Rusia, Cina, dan Jepang dll.
Semasa menjalani hukuman di Pulau Buru, Pram menulis kwartet Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru dan baru bisa dinikmati secara bebas beberapa tahun setelah rejim orba jatuh melalui gerakan Reformasi 1997. Dalam kwratet itu Pram melukiskan masa awal tumbuhnya nasionalisme untuk melawan pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda melalui sinergi tokoh Nyai Ontosoroh, seorang gundik Belanda, Tuan Melema, dan anak pribumi bernama Minke.
Semangat perlawanan dimulai ketika hak asasi mereka diinjak-injak kaum penjajah. Annelis, kekasih sekaligus istri Minke dan anak kesayangan Nyai direnggut secara paksa oleh hukum kolonial. Annelis diambil paksa harus meninggalkan tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintainya di Hindia Belanda.
Mochtar Lubis
Terkenal sebagai wartawan surat kabar yang dipimpinnya adalah : Indonesia raya dan dilarang terbit pada tahun 1958. Ia sendiri sejak tahun 1956 ditahan denga tuduhan yang bukan-bukan, hampir 9 tahun ia disekap oleh rezim pemerintahan SEKARNO dan dikeluarkan pada tahun 1966. Setelah keluar ia bersama H.B. Yassin , Taufik Ismail, arief Budiman, Goenawan, Mohammad. Dll menerbitkan dan memimpin majalah Sastra “ HORISON “.
Ia lahir di Padang tanggal 7 Maret 1922. Buku romannya yang pertama berjudul “ Tak Ada Esok “ (1950), “ Jalan Tak Ada Ujung “ (1952) dan mendapat hadih sastra nasional dari BMKN. Roman ketiga berjudul “ Senja di Jakarta “ menceritakan tentang kehidupan politik kotor pada Koruptor, manipulator, dan propiteur di Jakrta dengan latar belakang kehidupan rakyat jelata.
Roman “ Jalan Tak Ada Ujung “ menceriterakan kehidupan jiwa seseirang guru yang senantiasa dalam ketakutan pada masa revolusi. Roman ke 4 berjudul “ Tanah Gersang “ 1966 menceriterakan tentang motif kejahatan anak-anak yang tidak mendapat cinta dan perhatian yang cukup dari orang tuanya.
Ia juga menulis cerpen dan esai (sering menggunakan “ SAUTRI) , kumpulan cerpen yang ditulisnya yaitu “ SI JAMAL “ dan “ PEREMPUAN “
Utuy Tatang Sontani
Lahir di Cianjur tahun 1920. Terkenal sebagai pengarang drama. Drama pertama berupa drama sajak berjudul “ Suling “ 1948. Drama kedua berjudul Bunga Rumah Makan 1948 “Awal dan Mira“ 1952 yang mendapat hadiah dari sastra nasional BMKN . Namun drama Utuy yang terkuat dan terbaik berjudul “ Selamat jalan anak kufur “. Romannya yang berjudul “ TAMBERA “ yang sampai sekarang dianggap salah satu roman terpenting angkatan 45.
Sitor Situmorang
Lahir di Harianboho, Tapanuli tanggal 2 ktober 1942. Mulai terkenal tahun 1953, ketika menulis sajak, drama, cerpen, esai, dll. Sajaknya pertama berjudul “ Surat Kertas Hijau “ 1954. Sajaknya kedua berjudul “Dalam Sajak“ 1955.
Ada jugamnerbitkan darama yang berjudul “ Jalan Mutiara “ 1945 dan kumpulan cerpennya yang berjudul “Pertempuran dan Salju “ di Paris 1956, sajak yang dibuatnya berjudul “ Lagu Gadis Italia “.
Kerling danau dipagi hari
Lonceng Gereja bukit Italia
Jika musimmu tiba nanti
Jemoputlah abang diteluk napoli
…………………………………
…………………………………
Menjelang akhir tahun lima puluhan , ia aktif dalam dunia politik praktis, tahun 1959 ia menjadi ketua pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajaknya di ganti dalam kumpulan bahasa gombastis dan slogan-slogan murah, sajaknya termuat dalam kumpulan yang berjudul “ Zaman Baru “ 1962 dan tahun 1966 ia ditahan dan disangka terlibat gestapi PKI.
Aoh K. Hadimadja
Nama samarannya Karlan Hadi, muncul didunia sastra pada masa sebelum perang. Sajaknya dimuat dalam majalah “ Poedjangga Baroe “, yang banyak menyanyikan keindaha alam. Pada masa Jepang ia menulis sajak-sajaknya yang religius 1952 dimuatnya dalam kumpulan Zahra.
Tahun 1952, ia juga menulis sandiwara berjudul sejumlah repootasi literernya dalammanusia dan tanahnya. Ia pun menjadi pemimpin sejarahan mingguan mimbar di Medan.
Ia membukukan kegitan dalam buku berjudul beberapa paham angkatan 45 1952), ia pun menulis bahasnya dimuat dalam polemiknya dengan Hamka dan Bakri Siregar dengan H.B. Yassin dan sajak karang penyair muda Sumatera.
Ia lahir pada tanggal 15 September 1911. Tahun 1953 ia menjadi pengawal Radio HILVERSUM NEDERLAND dan BBC LONDON.
M. Balfas dan Rusman Sutia Sumarga
Lahir di Jakarta tanggal 25 Desember 1922 ia terkenal sebagi prosis. Cerpennya “ ANAK REVOLUSI “ yang jadi perhatian orang-orang, yang diumumkanpertama kalinya dimajalah Bema Suasana 1948. Anak Revolusi dibukukan dengan judul Lingkaran Retak 1952.
Tahun 1953 ia bersama Sudjati S.S. mendidrikan majhalah Kisah, di Kuala Lumpur ia menuliskan roman berjudul Retak 1964 dan sandiwara berjudul “ tamu Malam “ . Rustam lahir di Subang tanggal 5 Juli 1917, pada tahun 1946 cerpen “ Gadis Bekasi “ ia mendapat hadiah, cetpen yang berjudul Terhempas dan terkandas 1851. Cerpen Sunda yang diterbitkan berjudul “ Korban Romabtik “ dan “ Kalung oleh Balai Pustaka 1964.
Trisno Sumardjo
Lahir di Surabaya tanggal 6 Desember 1916, dikenal sebagai pelukis dan bersama dengan S. Soedjojono menerbitkan majalah seniman 1947, di Solo buku pertamanya terbit 1952 berjudul “ Kata hati dan Perbuatan . Tahun 1953 menerbitkan Cita Taruna dan menrbitkan sandiwara legoris 1957. Bukunya berjudul “ RUMAH RAJA “ tahun 1962, cerpennya berjudul Daun Kering dan tahun 1968 berjudul “ Wajah Yang Berubah “, 1966 saja-sajaknya satu berjudul SILHUET tahun 1963, bersama para pengarang mengumumkan “ Manifes Kebudayaan “.
Terjemahan sastra yaitu : Drama “ Shakespear, Prahara 1952, Mana suka, 1952, Impian ditengah Musim 1954, Romeo dan Julia 1955, antonius dan Cleopatra 1963 dan sejumlah sonetanya. Ia pun menerjemahkan dongeng peumpamaan 1959 dari pujangga Perancis Jean da la Fontaine dan Dokter Zhivago 1959 dari pengarang Rusia Boris Pasternak dll.
Ia meninggal di Jakrta 20 April 1969 sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama dalam usianya 53 tahun.
Dodong Djiwa Pradja
Dodong sudah melukis sejak sekitar tahun 1948. Sajaknya Cita-Cita yang dimuat dalam majalah GEMA SUASANA takala masih diasuh oleh CHAIRIL ANWAR, merupakan salah satu sajak yang jernih.
Ia dilahirkan di Garut tanggal 28 September 1928. Selain menulis sajak ia juga menulis cerpen dan esai. Citra puisi pada sajaknya menemukan bentuknya yang sederhana, orisinil dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan saslah seorang penyair Indonesia terkuat selain Rendra.
Salah satu sajaknya yang dibuat pada tahun 1963 adalah :
NYANYIAN PAGI HARI
Dekapan pada hati, rumput-rumputmu, gunung-gunungmu
Tuang dan basuh muka dengan linang embunmu
Nyaman air, tercuci kaki berderai kerikil kali
Lebih indah dari impian, kenyataan diluar impian
…………………………………………………………….
…………………………………………………………….
Dekaplah, dekapkan pada hati
Rumput hijaumu
Gunung birumu
Dan langitmu yang bagai telur
Meskipun ia telah menulis sajak yang cukup banyak tapi ia belum berhasil membukukannya.
Harjadi Hartowardojo
Nama lengkapnya Harjadi Sulaeman Hartowardojo, mulai mengumpulkan sajaknya sekitar tahun 1950. Sebagian besar dari sajak pada masa-masa itu kemucian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku yang berjudul LUKA BAYANG, kumpulan sajak-sajaknya tahun 1950 – 1953 – 1963.
Harjadi dilahirkan di Prambanan tanggal 18 Maret 1930. Ia pernah bekerja pada redaksi majalah Pujangga Baru ( sesudah perang ) . Kemudian hidup sebagai wartawan di berbagai majalah dipenerbitan antara lain: Garuda, Siasat, surat kabar Pedoman dan membantu berbagai majalah. Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakrta. Ia tamatan Fakultas Publikasti dan Fakultas Psikologi. Ejak tahun 1968 pada bulan Juni, Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.
Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakarta. Ia tamatan Falkutas Publikastik, dan Fakultas Psikologi. Sejak tahun 1968 ( Juni ), Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.
Salah satu keryanya adalah :
ANJING MAKAN AKAR KAYU
Mari bone
Beta cari gadis, cari nona,
Beta tukar sirih pinang
Bersama melangkah, bersama berlagu
Menunggu bulan naik bulan terang
Siku beta main di dada
Semalam saja, besok
Berpasar sejam
Dansa, hail
Melangkah, hail
berputar dalam lingkaran
berbaris
Tangan berkepit-kepit
Sahut hormati beta punya lagu
Asa asu bukae hau baat
……………………………….
……………………………….
Selain menulis sajak ia juga menulis esei, serpen, dan roman. Esei terbaiknya di tulis pada tahun pertama lima puluhan. Cerpen-cerpennya masih berserakan, majalah-majalah yang memuatnya Roman yang dibuatnya berjudul MUNAFIK mendapat ajakan ikatan Penerbit Indonesia ( IKAPI ) Jawa Barat 1967.
Dalam romannya Harjadi melukiskan konfik tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi yang berlainan agama dan juga ras. Didalam masyarakat kampung yang tradisional dengan cara berpikir.
Meskipun disana sini roman ini menunjukkan kekurangan dalam kmposisi ceritanya, namun roman ini mempunyai daya saran / daya pengikat yang mencekam hampir secara magis, yang membuktikan ia sebagai penulis prosa.
MR. Rustandi Kartakusama
MH. Rustandi Kartakusama larih di Ciamis tanggal 21 Juli 1921. Beliau banyak sekali ,enulis esai. Esai-esainya ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelekar, memberikan latar belakang yang luas. Meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan lapang dada. Sikap dan pendapat beliau banyak orang tidak setuju, akan tetapi esai-esainya tetap berharga untuk dibaca. Beliau muncul dengan hasil karya dan buah tangannya pada akhit tahun empat puluhan dan beliau tidaklah tepat disebut angkatan 45’ sebab karya beliau sangat berbeda dengan angkatan 45’ dari segi bentuk atau isinya dan beliau sendiripun tidak mengaku sebagai angkatan 45’.
Adapun hasil karya beliau sebagai berikut :
a. Esai-esai tentang sastra, seni, dan filsafat diantaranya :
“Adam dan Si Anak Hilang “, “ Homo Faber “, “ Surat dari Cidadap Girang “, dimuat dalam majalah kebudayaan Indonesia. Dan esia-esai lainnya tentang “Ciliung “ dimuat dalam majalah gelanggang / siasat.
b. Drama yang terbit pada tahun 1950.
- Sajaknya Prabu dan Putri yang disebutnya “ Sebuah Tragedi “, ini merupakan sanduran dari sebuah cerita Pandji yang menceritakan bahwa segi percakapan tokoh-tokohnya nampak kecendrungan kepada pemikiran filosofis, percakapan tentang hidup, mati, ada dan tidak ada, keabadian, bahagia, dan lain-lain. Dan drama ini sulit dipentaskan.
- Drama yang lain berjudul “ Merah Semua Putih Semua “ ( 1961 ). Yang menceritakan atau melatar belakangi masa revolusi fisik melawan Belanda, yang berbentuk novela.
c. Dari drama beliau juga menulis scenario yang berjudul “ Lagu Kian Mendjauh “ ( 1959 ). Menceritakan tentang kehidupan seorang seniman musik yang mana dalam kehidupannya terlibat cinta terhadap seorang gadis orkes yang di pimpinnya.
d. Beliau juga menulis sajak, yang berjudul sebagai berikut :
- Rekaman dari Tudjuh Daerah ( 1951 ) ini merupakan sajak yang paling tebal terbit di Indonesia.
- Sajak yang berdasarkan kisah-kisah lama dari Lutung Kasarung, dari kisah “ Singasari “ dalam Kartanagara dan kisah “ Adam Dan Hawa “ daalm Paradise Lost dan lain-lain.
PARA PENGARANG WANITA
1. Ida Nasution.
Ida Nasution adalah pengarang esai yang berbakat dalam menulis esai yang dimuat dalam majalah-majalah. Tapi nasib beliau malang karena menjadi korban revolusi dan hilang dalam perjalanan Jakarta Bogr ( 1948 ).
2. Walujati.
Lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1942. Mulai menulis sajak pada masa-masa awal revolusi, sajak berjudul “ Berpisah “ merupakan sejak romantik yang mendapat pujian dari Chairil Anwar. Dan pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman yang berjudul “ Pudjani “ dan masih banyak lagi roman yang beliau tulis tak kunjung terbit.
3. St. Nuraini.
Lahir di Padang tanggal 6 Juli 1930. Beliau mnulis sajak, cerpen, esai, dan menterjemahkan hasil sastra asing. Salah satu sajak beliau yang sangat lembut dan halus sekali melukiskan perasaan sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.
4. S. Rukiah.
Lahir di Purwarkarta tanggal 25 April 1972, beliau juga menulis sajak dan bahkan dimuat dalam bukunya “ Tandus “ ( 1952 ) mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk puisi. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul “ Kejatuhan DaN Hati “ ( 1950 ) yang mengisahkan tentang perasaan wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus tetapi kemudian terpaksa kawin dengan pedagang pilihan ibunya.
5. Suwarsih Djojopuspito
Lahir di Bogor tanggal 20 April 1912. Hasil karyanya berupa roman yang ditulis dalam bahasa Belanda berjudul “ Buiten Het Gareel (diluar garus)” terbitan tahun 1941. Roman ini menceritakan kehidupan kaum pergerakan nasional Indonesia, terutama di lingkungan perguruan pertikelir (taman siswa) pada tahun tiga puluhan. Sebelum beliau menulis roman bahasa belanda beliau menulis roman dengan bahasa sunda akan tetapi roman ini ditolak Balai Pustaka. Lalu beberapa tahun kemudian beliau (1959) menerbitkan roman yang berbahasa Sunda tahun 1937 berjudul “ Marjanah “. Setelah itu beliau menulis cerpen yang pertama berjudul “ Tudjuh Tjerita Pendek “ (1951) yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954). Dan banyak lagi kumpulan-kumpulan cerpen yang belum dibukukan.
BEBERAPA PENGARANG LAIN
Kecuali para pengarang yang tadi sudah dibicarakan, masih banyak lagi para pengarang lain yang memulai atau mengajukan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945 – 1953. Misalnya Barus Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 15 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen yang berjudul Sepanjang Jalan. Dengan beberapa cerita lain (1953). Sk. Muljadi (lahir di Madiun tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya yang berjudul Kuburan (1951). Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915), menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Kisah Swajarnya (1952), S. Mundingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menebitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952).
Muhannad Dimyati yang kadang-kadang menggunakan nama samaran Badaruzzaman (larih di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpualn cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa (1951), R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949), dan Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung (1949) dan lain-lain.
Di samping itu ada pula pengarang-pengarang yang belum berhasil menerbitkan buah tangannya menjadi buku. Karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu. Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli tanggal 5 Oktober 1920), P Sengojo atau Suripman (lahir 1927), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun 1928), Muh Ali (Lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung Murbaningrad atau Sri Amarjati Murbaningsih yang ke semuanya nama samaran Suradal A. Manan (lahir di Kulur, Yogyakarya, tanggal 13 Agustus 1924), Sirulllah Kaelani yang kadang-kadang menggunakan nama S.K Insankamil (lahir di Ciledung, Cerebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius Marpaung (lahir di Porsea 1928), Harijadi S. Hartowaddojo (lahir di Prambanan 18 Maret 1930), Abas Kartadinata (Lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya1922) dan lain-lain.
P. Sengojo
Nama sebenarnya ialah Suriman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926. Kalau menulis sejak ia menggunakan nama samaran P. Sengojo atau Piet Sengodjo. Nama Suripman dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen.
Sajak-sajaknya surrealistis. Batas antara kenyataan dan angan-angan demikian titpis sehingga kabur-berbaur. Dalam sajak-sajaknya suasana samar-samar dan remang-remang, dunia yang maya terasa mendasari. Dalam beberapa hal ia melakukan percobaan-percobaan dengan bahasa, keluar dari kebiasaan yang umum.
MENCARI ANGIN
Perahu yang melancar di atas ke permukaan air yang kemilau dalam cahaya surya bermain ---------------
Aku yang merasa tenang dalam kegirangan yang meresap dari pohon di hadapan --------
Burung yang terbang lalu melayang di atas embusan angin---------------------
Aku dan engkau yang tiada berpandangan lagi, dan alam bebas melepaskan kita berdua---
Makin yang berharap menimbulkan bahagia ----------------------------
Ah, kita berdua telah saling percaya.
( Gelanggang / Siasat, 1953)
Lebih tenang dan lebih tajam, mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun 1952 – 1953 – 1954 memnuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta dengan judul umum Pecahan Bertebaran. Dalam esai-esainya itu ia menunjukkan bahwa di samping mempunyai erudisi yang luas, ia merupakan seorang yang waspada-tajam melihat situasi nyata yang hidup di sekelilingnya. Ia pun menunjukkan minat yang besar terhadap sastra dan nilai-nilai kebudayaan lama (Jawa).
Cerpen-cerpennya jumlahnya tidak banyak. Umumnya melukiskan kehidupan kampung dan pedesaan, di mana impian seorang naturalis tidak menemukan kenyataan. Banyak yang absurd.
M. Ali
Nama lengakpnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturanan India. Ia menulis sajak, cerpen dan sandiwara. Banyak dimuat dalam majalah-majalah Pudjangga Baru, Zenith, Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Konfrontasi, Indonesia dan lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwara yang terbaik kemudian dibukukan dalam sebuh kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959). Dalam karangan-karangannya tampak sekali perhatiannya terdahap masalah-masalah sosial dan kehidupan masyarakat. Sandiwara radio yang dimuat dalam buku itu berjudul “ Lapar ‘ merupakan gambaran tentang orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apapun juga miliknya untuk sekedar penangasel perut termasuk menjual anak dan dirinya sendiri. Dalam sebagian sajaknya, juga maslah ketuhanan dan keyakinan agama menjadi perhatiannya.
KEPADA GADIS CINTAWATI
Apakah hidup ini, jika tiada mati ?
Dan betapa Mati kija bukan kebangkitan kembali ?
Setelah kau berkisah tentang kasih dan benci ?
Sudah kugali lubang di bumi
Buat tempatku tinggal abadi
Segala berkata : inilah mimpi !
Musim-musim silih berganti
Wangi senja warena-wareni
Menyanyikan kebesaran mati
Dan orang ini ……………..
Yang mengebung-mengempis mengisi hari
Akan menyerah kepada mati
Dan bila kubangun rumah di sini
batu demi batu kususun rapi
atas napas ke napas yang menggendor sepi
Cintawati, kukasihi engkau, seperti murai
Ngagumi fajar dan embun pagi
Dan aku tahu : kau pun pasti hilang kembali
Kecuali yang dimuat dalam hitan atas Putih itu, masih benyak lagi karangan-karangannya yang belum dibukukan, baik cerpen maupun sajak. Beberapa buah karangannya yang lebih panjang dari cerpen telah diterbitkan berupa buku-buku kecil di Surabaya, antaranya 5 Tragedi (1954), Siksa dan Bayangan (1955), Persetujuan dengan Iblis (1955) dan Kubur Tak Bertanda (1955). Umumnya nilainya di bawah karangan-karangan yang dimuat dalam Hitam atas Putih
.
1. Krisis Sastra
Indonesia
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar fsikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.
Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti : Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jossin dalam majalah mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.
2. Sastra Majalah
Sejak tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran begitu juga dengan penerbitan buku lainnya seperti pembangunan, dan lainnya.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti gelanggang atau siasat, mimbar Indonesia, Zhenit, pujangga baru dan lain-ain. karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah” istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.
Persoalan lahirnya angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam simposium sastra tahun 1955, Harijadi S. Hartowardoyo memberikan sebuah prosaran yang berjudul “Puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar” juga dalam simposium-simposium di Jogyakarta, Solo dan kota-kota lain ada kecendrungan pikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angakatan Chairil Anwar yang populer dengan nama angkatan 45 itu dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960 Ajib Rosyidi memberikan sebuah prasaran tentang “sumbangan angkatan terbaru sastrawan Indonesia kepada perkembangan kesusastraan Indonesia “Dalam prasaran itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45. Lebih lanjut dalam prasaran itu dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang tergolong pada angkatan terbaru merupakln sintesin dari dua sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh fakultas tahun 1963, Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya berjudul “soal periodisasi dalam sastra Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif menulis pada periode 1950 ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagi titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa berkurang. Pandangan keluar negeri tidak hanya Eropa melainkan keseluruh Dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan Indonesia sendiri.
Berbeda dengan para pengarang punjangga baru dan angkatan 45, para pengarang periode 50 ini lebih menitik beratkan pada penciptaan hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.
Dalam hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah kisah.
Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit nomor, ruangan kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah seni (terbit hanya setahun) majalah konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya (terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.
Termasuk kepada para pengaran dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M. Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang.
3. Beberapa Pengarang
NUGROHO NOTOSUSANTO
Nugroho Notosusanto terkenal sebagi penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tidak merasa mendapat kepuasaan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Kumulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). kemudian disusul oleh Tiga Kota (1959). Kumpulan cerpennya yang ketika berjudul Rasa Sajange (1963) yang antara lain memuat cerpannya yang paling berhasil berjudul “Jembatan”.
Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel tituler, kemudian Brigader Jenderal.
Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Nugroho salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyalami situasi jamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan tentang cerita pendek.
A.A. Navis
A.A. Navis lebih tepat digolongkan kepada angakatan ‘45. Ia lahir di Padangpanjang 17 November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.
Kumpulan cerpen navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasional dan penuh prikemanusiaan.
Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam.
TRISNOYUWONO
Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Kumpulan cerpennya yang pertama laki-laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan Perang” yang dijadikan judul kumpulan ini sangat kuat dan mengesan. Tak kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap sebagai cerpennya terakhir ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965),
Salah sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya menjadi sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri (1962). Roman ini dibuat film oleh Asrul Sani sebagai sutradara dan roman ini telah pula menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah Sastra Yamin.
Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.
IWAN SIMATUPANG
Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak, kemudian esai. Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya, juga roman-romannya, tidaklah terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang biasa. Drama absurd Eugene Ionesco dan lain-lainnya yang sesudah Perang Dunia kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja di Eropa. Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar’, “Taman’, RT Nol/RW Nol’.
Di antara cerpen-cerpennya patut disebut ‘lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyalam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar.
Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga cerpen-cerpen, esai dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.
TOHA MOHTAR
Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra atau kebudayaan!) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengejutkn dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1958.
Sebagai roman Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya maka ia terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu. Roman ini tidaklah menandingi Pulang yang ditulisnya lebih dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain yang berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).
SUBAGIO SASTROWARDOJO
Subagio Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. ‘Perawan Tua’ merupakan salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.
MOTINGGO BOESJE
Motinggo Boesje lahir di Kupang kota, Lampung tanggal 12 November 1937. Buku yang ditulis dan diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen dan drama. Drama-Drama yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti cara penulisan drama Utuy T. Sontani.
Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Ketika ia mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya yang ditulis kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain.
Sebelum menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya kemudian dibukukan antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat Untuk Anakku (1963), Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.
Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah roman. Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963) mengungkapkan suatu persoalan sosial 1944 (1962) merupakan roman sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-roman Motinggo yang lain. Misalnya : Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, 1963), Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.
PARA PENGARANG LAIN
1. Rijono Pratikto (lahir di tegal tanggal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen permulaannya kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951). Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai ‘cerita-cerita serem’. Cerpen semacam ini dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-karangan Rijono yang masih tersimpan antara lain fragmen roman dalam persiapan” seperti ‘Gua (dalam Indonesia), ‘Dua Manusia Sepanjang Bukit’ (dalam Gelanggang/Siasat) dan lain-lain.
2. SM. Ardan yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932) mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajaknya dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).
3. Sukanto SA. lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen. Tetapi sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).
4. Alex A.xandre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (Lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934), menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira (=cerita sindiran) tentang ‘kisah-kisah dari negeri Kambing’. Tuhan 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul mendung yang disebutnya “sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah tangga’.
5. Bokor Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934). Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak. tanah Kesayangan merupakan sebuah roman yang mengambik jaman penjajahan Jepang sebagai latar belakangnya
4. Beberapa Penyair
TOTO SUDARTO BACHTIAR
Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Ceribon, tanggal 12 Oktober 1929) telah mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal “Ibukota Senja” ditulisnya tahun 1951.
Sebagian besar sajak-sajaknya telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul Suara (1956) dan Etsa (1958). “Kumpulan sajak 1950-1955” telah menyebabkan penyairnya mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair terbaik tahun 1955-1956.
Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya ‘tanah air dan laut semua suara’ dan ‘ tanah air penyair dan pengembara’.
TENTANG KEMERDEKAAN
Dalam sajaknya yang berjudul ‘Keterangan’ ia merasa perlu memberi penjelasan kepada H.B. Jassin kritikus sastra terkemuka, bahwa kuburan penyair “Hanyalah nisan kata-katanya selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur,...”, tulisannya hanya nasib jari yang lemah”...” Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia menyeret langkahnya/Sampai di mana dia akan tiba/Tetapi dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak.
Kepada Chairil Anwar ia merasa perlu membuat pernyataan ; Aku makin menjauh/dari tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Dibawah langit remaja biru pengap melanda’ (dalam sajak berjudul ‘Pernyataan).
Kepada penyair perancis Guillaume Apolllinaire (1880-1918) ia berkata : “Ya Guillaume, tak apa kita bercinta/Tak putus-putus, asal rindu dendamnya/Aku waspada juga pada tangan waktu/Pada khianat yang mencekikku bila ‘ku alpa’.....”.
Dalam sajaknya ‘Pahlawan tak Dikenal’ ia melukiskan seorang pemuda yang gugur tertembak pada hari ‘pahlawan tanpa mengetahui untuk apa.
Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau karangan-karangan lain ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan Anton Chekhov, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway dan lain-lain.
WS. RENDRA
Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 Nopember 1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini.
Sajak-sajaknya yang permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanak-kanak Jawa dan pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahun-tahuin itu banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H.
Kemudian sajak-sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Balada orang-orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra nasional untuk puisi tahun 1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul “Terbunuhnya Atmo Karpo”.
Sajak-sajaknya sebagian telah diterbitkan dalam Rendra : 4 Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam “Kakawin-Kawin’, ‘malam stanza’, ‘nyanyian dari jalanan’ dan sajak-sajak dua belas perak’. Sajak-sajak yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan kematangan dan kesederhanaan pengucapannya, antara lain ‘Nyanyian Angsa’, Khotbah’, ‘Bluess untuk Bonnie, dan lain-lain.
Selain menulis sajak, Rendra pun menulis cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul ia Sudah Bertulang (1963). Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak sebagai sutradara, pemain dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan drama-drama asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya pengarang drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Prancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890) beberapa drama pendeknya dan lain-lain.
RAMADHAN KH
Lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927, baru tampi namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen, kemudian menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia lorca ke dalam bahasa Idonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Karya-karya penting lorca sudah diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit dramanya Yerman saja (1959). Yang lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya drama ‘Rumah Bernada Alba’ dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajak-sajak Lorca terpenting seperti Cancioes dan Romancero Gitano.
Sajaknya sendiri ditulisnya ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita (1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari B.K.M.N. tahun 1957-1958 untuk puisi.
DENDANG SAYANG
I
Di Cikajang ada gunung
Lembah lenggang nyobek hati,
Bintang pahlawan di dada,
Sepi di atas belati,
Kembang rampe di kuburuan
Selalu jauh kekasih
Romannya berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO tahun 1968.
KIRDJOMULJO
Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair Indonesia yang banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance Perjalan I. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya tidak pernah terbit, meskipun kono naskahnya sudah disiapkan penyairnya.
Kirdjomuljo juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu yang berjudul ‘Nona Maryam’ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan drama buah tangan W.S. Rendra berjudul ‘Orang-orang di Tikungan Jalanan (1955). Dua tiga buah lagi pernah dimuat dalam majalah Budaya Yogyakarta, diantaranya ‘Penggali Intan’ (1957).
Belakangan ini Kirdjomuljo pun ada menulis cerpen dan roman, yang sudah terbit berjudul Cahaya di Mata Emi (1968) dan di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang sangat lamban benar gayanya.
BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
Hartojo Andangdjaya (1930), M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sriwibawa (1932), A.D. Donggo (1932), Surachman R.M. (1936), Ayatrohaedi (1939), Mansur Samin (1930), dan lain-ain.
Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-sajaknya dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia pun banyak menerjemahkan sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia, antaranya Tukang kebun buah tangan penyair India Rabindranath Tagore.
SONNET BUAT IKA
Siapakah kau, mengikuti daku dari bukit ke bukit.
tidakkah tahu, dari puncak ni tinggal nampak gugusan alit
rumah yang duli berkilau
kebun yang dulu menghijau
Pulanglah. Jangan lagi kau bisiki suatu kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
manangkap nyanyian indah
memburu mimpi putih di pagi merah
Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, dibukit lain itu
biru puncak memanggil daku
Pulanglah, Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu.
(dari Gelanggang/siasat 1945)
M. Hussyn Umar (Lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931) kecuali menulis sajak, banyak menulis cerpen dan drama radio.
SENJA DI TANAH ABANG
Untuk Ati
Lusuh kaki membawa daki
bukan jalan-jalan, bukan leha-leha, tapi lari
lari dokar, lari trem, lari beca
abang-abang buru-buru mencari rumah dan jalan-jalannya
ada yang menghindar kelam
atau ada yang datang menyongsong malam
Di gerbong kosong, dengkul jembatan
aku cium bau orang-mayat terdampar yang enggan mati
aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup
hanyut tergayut-gayut di aliran pergi penuh daki
yang penuh penuh matahari lemah pudar bertolak ini
dari pusat satu hari kekalahan yang bertubi-tubi
pelan-pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
dan baunya yang memaksa datang harapan-harapan yang enggan
dan malam ini pun sinah akan berdanda lagi
mengibar bendera yang aus bolong dalam pengakuan
Lusuh kaki masih menghadap daki
Matahari menjanjikan satu hari lagi
satu hari lagi
yang tidak buat mati, tidak buat mimpi
untuk cari,
untu lari, untuk ...................
(dari Zenit, 1953)
Odeh Suardi (lahir di Sumedang tanggal 6 September 1930) menulis sajak-sajak yang diilhami oleh agama yang dipeluknya, agama Kristen. Ia menulis sajak dalam majalah-majalah Zenith, gelanggang/siasat, Seni, Mimbar Indonesia dan lain-lain.
Sugiarta Sriwibawa (lahir di Solo tanggal 31 Maret 1932) menulis sajak-sajak yang berat karena permasalahan dan nadanya. Sajak-sajaknya dikumpulkan dalam kumpulan berjudul Lentera jalan yang sampai sekarang belum terbit. Sugiarta banyak penulis cerpen dengan gayanya yang lirikal dan puitis, juga menulis pandangan-pandangan tentang seni dan sastra di samping menerjemahkan cerpen-cerpen dan esai-esai tentang seni dan sastra.
Surachman R.M. (lahir di Cibatu, garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia terkenal pula sebagai penulis yang banyak menulis sajak dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya berbahasa Sunda telah terbit berjudul Surat Kayas (1968).
MENGAPA HARUS GELISAH
Mengapa harus gelisah, saudara
mengapa kita harus gelisah
Hujan tumpah terus-terusan
Beban ancaman menekan
Bencana tetap berulang. Saudara
bencana bekal tetap berulang
Di satu subuh tanggul bedah
Air menampar atap rumah
Ditenung jadi lautan, sudara
ditenung daratan jadi lautan
Ke mana larinya binatang weluku
(pedoman kita sepanjang waktu)
Tak Bisa Kita Mengeluh, Saudara
tak bisa lagi kita mengeluh,
Bila Ternak Terseret hanyut
Benda Tak Sempat Terangkut
Sumbangan Hilang Di Jalan, Saudara
sumbangan sering hilang di jalan
Percuma Saja Orang Dermakan
Beras, Selimut, Obat-obatan
Kami Tahan Lapar Dan Dingin, Saudara
kami coba tahan lapar dan dingin
Namun Si Bungsu Kupu Biru
Dan Abangnya Belum Ketemu
Siapa jadinya yang salah, saudara
siapa lagi jadinya yang salah
Tiap musim kami beramai-ramai
Dikerahkan menambal tanggul sungai
(dari Horison, 1966)
Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939) menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sudan, ia pun seorang penyair yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran, ibunda, dan segala yang dekat dengan hidupnya.
IBU
teduh tanjung wangi jadi pusat rindu
teduh ibu perbawa pantang menundung
jika di dunia cumalah ibu dan bapa
akan bisa kukuasai seluruh jagat raya
tapi ibu sebelum aku pergi memperingati
jika hidup cuma melepas nafsu sendiri
akhirnya lupa pada ibunda
menyesal menunggu balik ke asal
menyesallah yang jadi cucuku tunggal
(dari Siasat Baru, 1959).
Sajak yang berjudul ‘Di kebun Binatang’ yang ditulisnya dalam bahasa Sunda telah menyebabkan Ayatrohaedi mendapat Hadiah Sastra Piagam Moh. Ambri 1966. Dalam bahasa Sunda, Ayatruhaedi telah menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Hujan Munggaran (1960) dan sebuah roman pendek berjudul Kobogoh Tere (1967). Cerpen-cerpennya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam seri proyek 16 halaman balai Pustaka, antara lain Warisan (1964) dan Yang tersisih (1964).
5. Drama
Setelah beberapa tahun lamanya penulisan drama Indonesia hampir-hampir hanya mengenal Utuy. T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun 50-an munculah beberapa nama baru dalam penulisan drama Indonesia, seperti Motinggo Boesje, W.S.Rendra dan Kirdjomuljo.
Untuk tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang drama-dramanya mendapat hadiah dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian P.P. dan K. yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje untuk dramanya Malam Jahanam. Kedua, M. Jusa Biran untuk dramanya Oung Besar, dan yang ketiga Nasjah Djamin dengan dramanya Sekelumit Nyanyian Sunda.
NASJAH DJAMIN
Nasjah Djamin lahir di Medan tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskannya di Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun sampai awal tahun 50-an ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada seni lukis dari pada sebagai penulis.
Drama ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-titik Hitam’ dengan judul ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul/Jembatan Gondolayu’ (dimuat dalam majalah Budaya) ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ asalnya merupakan sebuah cerpen yang kemudian dikerjakan menjadi drama dan dibukukan tahun 1962 dengan judul yang sama. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Dibawah Kaki Pak Dirman (1967). Dalam cerpennya Nasjah banyak bertindak sebagai juru bicara kesenian dan seniman modern yang hidup Bohemien dan menimbulkan berbagai ketegangan dengan sekelilingnya karena perbedaan visa dan ukuran nilai.
Selain itu Nasjah juga menulis roman seperti Hilanglah Si Anak Hilang (1963). Roman ini menceritakan perjuangan seorang pelukis individualis yang hilang dari lingkungan keluarga karena menemukan konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran. Romannya yang lain berjudul ‘Helai-helai Sakura Gugur’ (1964), Gairah Untuk hidup dan untuk mati (1968) dan Malam Kualalumpur (1968).
H.M. JUSA BIRAN
Nama lengkapnya Hadji Misbach Jusa Biran, lahir di Rangkasbitung tahun 1933, ia terkenal mula-mula karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan “Seniman Senin” yang dimuat dalam majalah Aneka tahun 50-an, ketika itu ia sudah bergerak dalam lapangan perfilman. Dengan menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun beberapa lamanya mengisi ruangan ‘Komedi di Jakarta’ dalam edisi Minggu Harian Abadi, melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta. Dari sketsa-sketsa inilah kemudian ia menulis cerita yang dibuat Film, “Ardjawi Ke Ibukota”.
Dramanya Oung Besar mengisahkan seorang tokoh politik yang terkenal sebagai Oung Besar yang sebenarnya bernama Karim, ia mendapat sukses karena pidato-pidatonya yang ia sendiri tdak mengerti isinya, keseluruhannya komidi ini merupakan sebuah sindiran terhadap kehidupan politik dan kaum politis Indonesia, ini menunjukkan bahwa ia seorang yang punya homur yang hidup.
Setelah itu Misbach masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul ‘Setelah jam Menjelang Maut’ (1968) yang pernah dimainkan dimuka Televisi. Romannya Menyusuri Jejak Berdarah (1968) merupakan penulisan dari cerita Film yang juga telah dibuatnya sendiri.
b. Para Pengarang Wanita
N.H. DINI
N.H. Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936. Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’ dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)
Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi disekelilingnya . Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.
Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.
Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul namaku Hiroko, setelah dari Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah diselesaikannya berjudul la Barka.
Kecuali Nh. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih daripada menyebut nama-namanya saja
.
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar fsikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.
Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti : Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jossin dalam majalah mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.
2. Sastra Majalah
Sejak tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran begitu juga dengan penerbitan buku lainnya seperti pembangunan, dan lainnya.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti gelanggang atau siasat, mimbar Indonesia, Zhenit, pujangga baru dan lain-ain. karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah” istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.
Persoalan lahirnya angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam simposium sastra tahun 1955, Harijadi S. Hartowardoyo memberikan sebuah prosaran yang berjudul “Puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar” juga dalam simposium-simposium di Jogyakarta, Solo dan kota-kota lain ada kecendrungan pikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angakatan Chairil Anwar yang populer dengan nama angkatan 45 itu dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960 Ajib Rosyidi memberikan sebuah prasaran tentang “sumbangan angkatan terbaru sastrawan Indonesia kepada perkembangan kesusastraan Indonesia “Dalam prasaran itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45. Lebih lanjut dalam prasaran itu dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang tergolong pada angkatan terbaru merupakln sintesin dari dua sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh fakultas tahun 1963, Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya berjudul “soal periodisasi dalam sastra Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif menulis pada periode 1950 ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagi titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa berkurang. Pandangan keluar negeri tidak hanya Eropa melainkan keseluruh Dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan Indonesia sendiri.
Berbeda dengan para pengarang punjangga baru dan angkatan 45, para pengarang periode 50 ini lebih menitik beratkan pada penciptaan hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.
Dalam hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah kisah.
Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit nomor, ruangan kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah seni (terbit hanya setahun) majalah konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya (terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.
Termasuk kepada para pengaran dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M. Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang.
3. Beberapa Pengarang
NUGROHO NOTOSUSANTO
Nugroho Notosusanto terkenal sebagi penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tidak merasa mendapat kepuasaan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Kumulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). kemudian disusul oleh Tiga Kota (1959). Kumpulan cerpennya yang ketika berjudul Rasa Sajange (1963) yang antara lain memuat cerpannya yang paling berhasil berjudul “Jembatan”.
Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel tituler, kemudian Brigader Jenderal.
Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Nugroho salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyalami situasi jamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan tentang cerita pendek.
A.A. Navis
A.A. Navis lebih tepat digolongkan kepada angakatan ‘45. Ia lahir di Padangpanjang 17 November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.
Kumpulan cerpen navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasional dan penuh prikemanusiaan.
Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam.
TRISNOYUWONO
Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Kumpulan cerpennya yang pertama laki-laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan Perang” yang dijadikan judul kumpulan ini sangat kuat dan mengesan. Tak kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap sebagai cerpennya terakhir ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965),
Salah sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya menjadi sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri (1962). Roman ini dibuat film oleh Asrul Sani sebagai sutradara dan roman ini telah pula menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah Sastra Yamin.
Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.
IWAN SIMATUPANG
Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak, kemudian esai. Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya, juga roman-romannya, tidaklah terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang biasa. Drama absurd Eugene Ionesco dan lain-lainnya yang sesudah Perang Dunia kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja di Eropa. Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar’, “Taman’, RT Nol/RW Nol’.
Di antara cerpen-cerpennya patut disebut ‘lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyalam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar.
Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga cerpen-cerpen, esai dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.
TOHA MOHTAR
Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra atau kebudayaan!) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengejutkn dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1958.
Sebagai roman Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya maka ia terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu. Roman ini tidaklah menandingi Pulang yang ditulisnya lebih dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain yang berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).
SUBAGIO SASTROWARDOJO
Subagio Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. ‘Perawan Tua’ merupakan salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.
MOTINGGO BOESJE
Motinggo Boesje lahir di Kupang kota, Lampung tanggal 12 November 1937. Buku yang ditulis dan diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen dan drama. Drama-Drama yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti cara penulisan drama Utuy T. Sontani.
Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Ketika ia mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya yang ditulis kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain.
Sebelum menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya kemudian dibukukan antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat Untuk Anakku (1963), Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.
Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah roman. Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963) mengungkapkan suatu persoalan sosial 1944 (1962) merupakan roman sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-roman Motinggo yang lain. Misalnya : Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, 1963), Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.
PARA PENGARANG LAIN
1. Rijono Pratikto (lahir di tegal tanggal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen permulaannya kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951). Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai ‘cerita-cerita serem’. Cerpen semacam ini dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-karangan Rijono yang masih tersimpan antara lain fragmen roman dalam persiapan” seperti ‘Gua (dalam Indonesia), ‘Dua Manusia Sepanjang Bukit’ (dalam Gelanggang/Siasat) dan lain-lain.
2. SM. Ardan yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932) mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajaknya dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).
3. Sukanto SA. lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen. Tetapi sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).
4. Alex A.xandre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (Lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934), menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira (=cerita sindiran) tentang ‘kisah-kisah dari negeri Kambing’. Tuhan 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul mendung yang disebutnya “sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah tangga’.
5. Bokor Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934). Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak. tanah Kesayangan merupakan sebuah roman yang mengambik jaman penjajahan Jepang sebagai latar belakangnya
4. Beberapa Penyair
TOTO SUDARTO BACHTIAR
Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Ceribon, tanggal 12 Oktober 1929) telah mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal “Ibukota Senja” ditulisnya tahun 1951.
Sebagian besar sajak-sajaknya telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul Suara (1956) dan Etsa (1958). “Kumpulan sajak 1950-1955” telah menyebabkan penyairnya mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair terbaik tahun 1955-1956.
Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya ‘tanah air dan laut semua suara’ dan ‘ tanah air penyair dan pengembara’.
TENTANG KEMERDEKAAN
Dalam sajaknya yang berjudul ‘Keterangan’ ia merasa perlu memberi penjelasan kepada H.B. Jassin kritikus sastra terkemuka, bahwa kuburan penyair “Hanyalah nisan kata-katanya selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur,...”, tulisannya hanya nasib jari yang lemah”...” Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia menyeret langkahnya/Sampai di mana dia akan tiba/Tetapi dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak.
Kepada Chairil Anwar ia merasa perlu membuat pernyataan ; Aku makin menjauh/dari tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Dibawah langit remaja biru pengap melanda’ (dalam sajak berjudul ‘Pernyataan).
Kepada penyair perancis Guillaume Apolllinaire (1880-1918) ia berkata : “Ya Guillaume, tak apa kita bercinta/Tak putus-putus, asal rindu dendamnya/Aku waspada juga pada tangan waktu/Pada khianat yang mencekikku bila ‘ku alpa’.....”.
Dalam sajaknya ‘Pahlawan tak Dikenal’ ia melukiskan seorang pemuda yang gugur tertembak pada hari ‘pahlawan tanpa mengetahui untuk apa.
Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau karangan-karangan lain ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan Anton Chekhov, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway dan lain-lain.
WS. RENDRA
Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 Nopember 1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini.
Sajak-sajaknya yang permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanak-kanak Jawa dan pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahun-tahuin itu banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H.
Kemudian sajak-sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Balada orang-orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra nasional untuk puisi tahun 1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul “Terbunuhnya Atmo Karpo”.
Sajak-sajaknya sebagian telah diterbitkan dalam Rendra : 4 Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam “Kakawin-Kawin’, ‘malam stanza’, ‘nyanyian dari jalanan’ dan sajak-sajak dua belas perak’. Sajak-sajak yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan kematangan dan kesederhanaan pengucapannya, antara lain ‘Nyanyian Angsa’, Khotbah’, ‘Bluess untuk Bonnie, dan lain-lain.
Selain menulis sajak, Rendra pun menulis cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul ia Sudah Bertulang (1963). Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak sebagai sutradara, pemain dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan drama-drama asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya pengarang drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Prancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890) beberapa drama pendeknya dan lain-lain.
RAMADHAN KH
Lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927, baru tampi namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen, kemudian menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia lorca ke dalam bahasa Idonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Karya-karya penting lorca sudah diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit dramanya Yerman saja (1959). Yang lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya drama ‘Rumah Bernada Alba’ dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajak-sajak Lorca terpenting seperti Cancioes dan Romancero Gitano.
Sajaknya sendiri ditulisnya ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita (1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari B.K.M.N. tahun 1957-1958 untuk puisi.
DENDANG SAYANG
I
Di Cikajang ada gunung
Lembah lenggang nyobek hati,
Bintang pahlawan di dada,
Sepi di atas belati,
Kembang rampe di kuburuan
Selalu jauh kekasih
Romannya berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO tahun 1968.
KIRDJOMULJO
Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair Indonesia yang banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance Perjalan I. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya tidak pernah terbit, meskipun kono naskahnya sudah disiapkan penyairnya.
Kirdjomuljo juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu yang berjudul ‘Nona Maryam’ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan drama buah tangan W.S. Rendra berjudul ‘Orang-orang di Tikungan Jalanan (1955). Dua tiga buah lagi pernah dimuat dalam majalah Budaya Yogyakarta, diantaranya ‘Penggali Intan’ (1957).
Belakangan ini Kirdjomuljo pun ada menulis cerpen dan roman, yang sudah terbit berjudul Cahaya di Mata Emi (1968) dan di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang sangat lamban benar gayanya.
BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
Hartojo Andangdjaya (1930), M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sriwibawa (1932), A.D. Donggo (1932), Surachman R.M. (1936), Ayatrohaedi (1939), Mansur Samin (1930), dan lain-ain.
Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-sajaknya dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia pun banyak menerjemahkan sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia, antaranya Tukang kebun buah tangan penyair India Rabindranath Tagore.
SONNET BUAT IKA
Siapakah kau, mengikuti daku dari bukit ke bukit.
tidakkah tahu, dari puncak ni tinggal nampak gugusan alit
rumah yang duli berkilau
kebun yang dulu menghijau
Pulanglah. Jangan lagi kau bisiki suatu kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
manangkap nyanyian indah
memburu mimpi putih di pagi merah
Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, dibukit lain itu
biru puncak memanggil daku
Pulanglah, Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu.
(dari Gelanggang/siasat 1945)
M. Hussyn Umar (Lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931) kecuali menulis sajak, banyak menulis cerpen dan drama radio.
SENJA DI TANAH ABANG
Untuk Ati
Lusuh kaki membawa daki
bukan jalan-jalan, bukan leha-leha, tapi lari
lari dokar, lari trem, lari beca
abang-abang buru-buru mencari rumah dan jalan-jalannya
ada yang menghindar kelam
atau ada yang datang menyongsong malam
Di gerbong kosong, dengkul jembatan
aku cium bau orang-mayat terdampar yang enggan mati
aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup
hanyut tergayut-gayut di aliran pergi penuh daki
yang penuh penuh matahari lemah pudar bertolak ini
dari pusat satu hari kekalahan yang bertubi-tubi
pelan-pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
dan baunya yang memaksa datang harapan-harapan yang enggan
dan malam ini pun sinah akan berdanda lagi
mengibar bendera yang aus bolong dalam pengakuan
Lusuh kaki masih menghadap daki
Matahari menjanjikan satu hari lagi
satu hari lagi
yang tidak buat mati, tidak buat mimpi
untuk cari,
untu lari, untuk ...................
(dari Zenit, 1953)
Odeh Suardi (lahir di Sumedang tanggal 6 September 1930) menulis sajak-sajak yang diilhami oleh agama yang dipeluknya, agama Kristen. Ia menulis sajak dalam majalah-majalah Zenith, gelanggang/siasat, Seni, Mimbar Indonesia dan lain-lain.
Sugiarta Sriwibawa (lahir di Solo tanggal 31 Maret 1932) menulis sajak-sajak yang berat karena permasalahan dan nadanya. Sajak-sajaknya dikumpulkan dalam kumpulan berjudul Lentera jalan yang sampai sekarang belum terbit. Sugiarta banyak penulis cerpen dengan gayanya yang lirikal dan puitis, juga menulis pandangan-pandangan tentang seni dan sastra di samping menerjemahkan cerpen-cerpen dan esai-esai tentang seni dan sastra.
Surachman R.M. (lahir di Cibatu, garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia terkenal pula sebagai penulis yang banyak menulis sajak dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya berbahasa Sunda telah terbit berjudul Surat Kayas (1968).
MENGAPA HARUS GELISAH
Mengapa harus gelisah, saudara
mengapa kita harus gelisah
Hujan tumpah terus-terusan
Beban ancaman menekan
Bencana tetap berulang. Saudara
bencana bekal tetap berulang
Di satu subuh tanggul bedah
Air menampar atap rumah
Ditenung jadi lautan, sudara
ditenung daratan jadi lautan
Ke mana larinya binatang weluku
(pedoman kita sepanjang waktu)
Tak Bisa Kita Mengeluh, Saudara
tak bisa lagi kita mengeluh,
Bila Ternak Terseret hanyut
Benda Tak Sempat Terangkut
Sumbangan Hilang Di Jalan, Saudara
sumbangan sering hilang di jalan
Percuma Saja Orang Dermakan
Beras, Selimut, Obat-obatan
Kami Tahan Lapar Dan Dingin, Saudara
kami coba tahan lapar dan dingin
Namun Si Bungsu Kupu Biru
Dan Abangnya Belum Ketemu
Siapa jadinya yang salah, saudara
siapa lagi jadinya yang salah
Tiap musim kami beramai-ramai
Dikerahkan menambal tanggul sungai
(dari Horison, 1966)
Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939) menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sudan, ia pun seorang penyair yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran, ibunda, dan segala yang dekat dengan hidupnya.
IBU
teduh tanjung wangi jadi pusat rindu
teduh ibu perbawa pantang menundung
jika di dunia cumalah ibu dan bapa
akan bisa kukuasai seluruh jagat raya
tapi ibu sebelum aku pergi memperingati
jika hidup cuma melepas nafsu sendiri
akhirnya lupa pada ibunda
menyesal menunggu balik ke asal
menyesallah yang jadi cucuku tunggal
(dari Siasat Baru, 1959).
Sajak yang berjudul ‘Di kebun Binatang’ yang ditulisnya dalam bahasa Sunda telah menyebabkan Ayatrohaedi mendapat Hadiah Sastra Piagam Moh. Ambri 1966. Dalam bahasa Sunda, Ayatruhaedi telah menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Hujan Munggaran (1960) dan sebuah roman pendek berjudul Kobogoh Tere (1967). Cerpen-cerpennya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam seri proyek 16 halaman balai Pustaka, antara lain Warisan (1964) dan Yang tersisih (1964).
5. Drama
Setelah beberapa tahun lamanya penulisan drama Indonesia hampir-hampir hanya mengenal Utuy. T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun 50-an munculah beberapa nama baru dalam penulisan drama Indonesia, seperti Motinggo Boesje, W.S.Rendra dan Kirdjomuljo.
Untuk tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang drama-dramanya mendapat hadiah dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian P.P. dan K. yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje untuk dramanya Malam Jahanam. Kedua, M. Jusa Biran untuk dramanya Oung Besar, dan yang ketiga Nasjah Djamin dengan dramanya Sekelumit Nyanyian Sunda.
NASJAH DJAMIN
Nasjah Djamin lahir di Medan tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskannya di Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun sampai awal tahun 50-an ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada seni lukis dari pada sebagai penulis.
Drama ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-titik Hitam’ dengan judul ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul/Jembatan Gondolayu’ (dimuat dalam majalah Budaya) ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ asalnya merupakan sebuah cerpen yang kemudian dikerjakan menjadi drama dan dibukukan tahun 1962 dengan judul yang sama. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Dibawah Kaki Pak Dirman (1967). Dalam cerpennya Nasjah banyak bertindak sebagai juru bicara kesenian dan seniman modern yang hidup Bohemien dan menimbulkan berbagai ketegangan dengan sekelilingnya karena perbedaan visa dan ukuran nilai.
Selain itu Nasjah juga menulis roman seperti Hilanglah Si Anak Hilang (1963). Roman ini menceritakan perjuangan seorang pelukis individualis yang hilang dari lingkungan keluarga karena menemukan konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran. Romannya yang lain berjudul ‘Helai-helai Sakura Gugur’ (1964), Gairah Untuk hidup dan untuk mati (1968) dan Malam Kualalumpur (1968).
H.M. JUSA BIRAN
Nama lengkapnya Hadji Misbach Jusa Biran, lahir di Rangkasbitung tahun 1933, ia terkenal mula-mula karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan “Seniman Senin” yang dimuat dalam majalah Aneka tahun 50-an, ketika itu ia sudah bergerak dalam lapangan perfilman. Dengan menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun beberapa lamanya mengisi ruangan ‘Komedi di Jakarta’ dalam edisi Minggu Harian Abadi, melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta. Dari sketsa-sketsa inilah kemudian ia menulis cerita yang dibuat Film, “Ardjawi Ke Ibukota”.
Dramanya Oung Besar mengisahkan seorang tokoh politik yang terkenal sebagai Oung Besar yang sebenarnya bernama Karim, ia mendapat sukses karena pidato-pidatonya yang ia sendiri tdak mengerti isinya, keseluruhannya komidi ini merupakan sebuah sindiran terhadap kehidupan politik dan kaum politis Indonesia, ini menunjukkan bahwa ia seorang yang punya homur yang hidup.
Setelah itu Misbach masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul ‘Setelah jam Menjelang Maut’ (1968) yang pernah dimainkan dimuka Televisi. Romannya Menyusuri Jejak Berdarah (1968) merupakan penulisan dari cerita Film yang juga telah dibuatnya sendiri.
b. Para Pengarang Wanita
N.H. DINI
N.H. Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936. Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’ dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)
Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi disekelilingnya . Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.
Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.
Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul namaku Hiroko, setelah dari Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah diselesaikannya berjudul la Barka.
Kecuali Nh. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih daripada menyebut nama-namanya saja
.
0 komentar:
Posting Komentar