1.
Helvy Tiana
Rosa
Helvy Tiana
Rosa (lahir di Medan, Sumatera Utara, 2 April 1970; umur 43 tahun) adalah sastrawan, Pendiri Forum Lingkar
Pena dan dosen di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Jakarta.
Meski
sudah menulis ratusan cerpen sejak kecil dan remaja, karya-karya Helvy tak
kunjung dibukukan hingga 1997. Helvy kerap berupaya mengumpulkan
cerpen-cerpennya yang berserakan di berbagai media, terutama di Majalah Annida
dan membawanya ke penerbit. Tahun 1995 ia pernah menunggu empat jam di sebuah
penerbitan sambil membawa naskahnya dan pulang dengan tangan hampa. Tahun 1996
tanpa sepengetahuan Helvy, cerpen-cerpen Helvy yang berserakan itu diterbitkan
oleh Ummah Media, Malaysia dan diakui sebagai karya dari Ahmad Faris Muda,
dosen di Universiti Kebangsaan Malaysia.
Helvy sempat ingin menempuh jalur hukum, namun karena rumit dan berbelit-belit
serta membutuhkan biaya untuk pengacara, ia kemudian hanya bisa menuliskan
tentang hal tersebut di koran-koran.
Tahun
1997 akhirnya Majalah Annida melalui Penerbit Pustaka Annida dan menerbitkan
karya Helvy: Ketika Mas Gagah Pergi. Buku ini membawanya mewakili Indonesia
untuk pertama kalinya dalam Short Story Writing Program yang diadakan Majelis
Sastra Asia Tenggara, 1998. Tahun 1999 Helvy diundang mengikuti Pertemuan
Sastrawan Nusantara di Johor Bahru, Malaysia. Tahun 2000 cerpennya tentang
Aceh: “Jaring-Jaring Merah”yang ditulis sebelum reformasi 1998, terpilih
sebagai salah satu cerpen terbaik Majalah Horison dalam satu dekade
(1990-2000). Tahun 2000 ia diundang mengikuti Kongres Cerpen I Indonesia di
Yogyakarta dan Pertemuan Sastrawan Nusantara XI di Brunei Darussalam (2001).
Tahun 2001 Helvy diundang membacakan puisinya pada acara Baca Puisi Tiga
Generasi di Taman Ismail Marzuki, bersama Toety Herati, Leon Agusta, Afrizal
Malna, Isbedy Stiawan dan Dorothea Rosa Herliany. Pada tahun yang sama
Helvy melanjutkan kuliah pascasarjana di Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Indonesia. Salah satu dosen yang mengajarnya adalah penyair
terkemuka Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Pada tahun itu pula
bersama Taufiq Ismail, WS Rendra, Hamid Jabbar, Emha
Ainun Najib Helvy diundang ke Banda Aceh dalam acara Sastrawan Bicara Siswa
Bertanya.
Tahun
2002 bersama Martin Aleida, ia diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan
cerpen-cerpennya di Taman Ismail Marzuki. Helvy diundang ke Kairo, Mesir untuk
mengisi acara Simposium Budaya di Universitas Al Azhar Mesir (2002),
bekerjasama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
ICMI. Saat itu pula
ia meresmikan berdirinya Forum Lingkar Pena Mesir, dengan Ketua Habiburrahman El Shirazy. Bersama dengan
teman-temannya di FLP, Habiburrahman mengikuti workshop penulisan yang waktu
itu disampaikan Helvy dan Ahmadun Y. Herfanda, diadakan oleh FLP Mesir dan
ICMI.
Helvy menjadi sastrawan Indonesia
pertama yang diundang membentangkan makalah dalam Singapore Writers Festival
bersama sastrawan lain dari puluhan negara (2003). Ia juga diminta menjadi juri
kehormatan Golden Point Award, suatu ajang penghargaan sastra bergengsi di Singapura.
2. Sitor
Situmorang
|
|
Pekerjaan
|
Penulis
|
Kebangsaan
|
Indonesia
|
Suku
bangsa
|
Batak
|
Aliran
sastra
|
Puisi
|
Sitor Situmorang (lahir di Harianboho, Tapanuli
Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923; umur 89 tahun)
adalah wartawan,
sastrawan,
dan penyair Indonesia.
Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang
yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII.
Sitor dilahirkan dengan nama Raja
Usu. Dia menempuh pendidikan pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga
serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Batavia (kini Jakarta). Pada tahun 1950-1952, Sitor
sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris. Selanjutnya, ia memperdalam ilmu memperdalam ilmu sinematografi
di Universitas California pada tahun 1956-57.
Waktu kelas dua SMP, Sitor
berkunjung ke rumah abangnya di Sibolga dan menemukan buku Max Havelaar karya
Multatuli.l Buku itu selesai dibaca dalam 2-3 hari tanpa putus, walau
penguasaan bahasa Belandanya belum memadai. Isi buku menyentuh kesadaran
kebangsaannya. Ia menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari Max
Havelaar ke dalam bahasa Batak. Sejak itu, minat dan pehatian terhadap sastra
makin tumbuh, dan dibarengi aspirasi "kelak akan menjadi pengarang".
Teeuw menyebutkan bahwa Sitor
Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil
Anwar. Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir
tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno, benar-benar
melepaskan kesetiaanya kepada Angkatan '45 khususnya Chairil Anwar, pada masa
ini.
0 komentar:
Posting Komentar