1.
Taufiq
Ismail
|
||
Kebangsaan
|
||
Suku bangsa
|
||
Angkatan
|
Angkatan '66
|
|
Penghargaan
|
Anugerah Seni, Pemerintah RI.
(1970)
|
|
Taufiq
Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam
dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat.[1]
Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang,
dan Yogyakarta,
SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan.
Taufiq tumbuh dalam keluarga guru
dan wartawan
yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan
dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi
cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha
ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Semasa kuliah aktif sebagai Aktivis Pelajar
Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan
Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi
guru di SKP Pamekar dan SMA
Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi
manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di
berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan
DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan
Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS
Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina
Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41
tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima
1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees
AFSIS di New
York, 1974-1976.Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
2.
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji
Calzoum Bachri (lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941; umur 72 tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas
Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas
Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis
dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat
dalam majalah Horison dan Budaya
Jaya serta ruang
kebudayaan Sinar Harapan dan Berita
Buana.
Dari
sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian
Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari
kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam
mantra.
Pada musim
panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing
Program di Iowa
City, Amerika Serikat dari Oktober
1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan
memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah
sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam
bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly
Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters
in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend
jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979,
Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam
sastra di Bangkok, Thailand.
O
Amuk Kapak merupakan
penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966
sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang
dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
3.
Prof. Dr. Abdul Hadi WM
Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik diawali sejak menjadi mahasiswa, di mana Hadi menjadi redaktur Gema Mahasiswa (1967-1968) dan redaktur Mahasiswa Indonesia (1969-1974). Kemudian ia menjadi Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya (1977-1978), redaktur majalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) (1979-1981), redaktur Balai Pustaka (1981-1983) dan redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur'an.Sejak 1979 sampai awal 1990-an ia menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian Berita Buana. Tahun 1982 ia dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan ketika reformasi bergulir, dalam pemilu multi partai 1999, atas desakan rekannya Dr. H. Hamzah Haz, Abdul Hadi didesak maju sebagai wakil daerah wilayah pemilihan Jawa Timur dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 2000 ia dilantik menjadi anggota Lembaga Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat Ketua Dewan Kurator Bayt al-Qur'an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis Kebudayaan Muhammadiyah, anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan anggota Dewan Penasihat PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Keterlibatan Abdul Hadi WM dalam lingkaran aktivis Muslim telah dimulai sejak ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama menjadi mahasiswa di UGM, kemudian ikut merintis lahirnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tahun 1964 bersama-sama Amin Rais dan sahabatnya sesama penyair, Slamet Sukirnanto
Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.
4.
Goenawan
Mohamad
Goenawan
Soesatyo Mohamad (lahir di Batang,
29 Juli 1941; umur 72 tahun)
adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah
Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang
dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
Lama
kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya
yang sudah diterbitkan, diantaranya kumpulan puisi dalam Parikesit
(1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda,
Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret
Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan
Kita (1980). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan
populer adalah Catatan Pinggir, sebuah
artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang dari Majalah
Tempo. Konsep dari Catatan Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar
ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir
mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya pada akhir
tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap
pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.
Catatan
Pinggir, esei pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini terbit jilid
ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer
Lindsay, dalam Sidelines (Lontar
Foundation, 1994) dan Conversations with Difference (19….). . Kritiknya
diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia.
Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, “dengan raung yang tak terserap
karang”.
Kumpulan
esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang
(1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah
Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam
Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di
Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan
sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit
dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
Setelah pembredelan Tempo pada
1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi
yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen,
serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara
sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan
serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan
Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan
cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.
5. Umar Kayam
|
Umar
Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur,
30 April 1932 – meninggal
di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69
tahun) adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru
besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(1988-1997-pensiun).
Umar
Kayam (dalam konteks percakapan antar teman biasa disapa UK), lulus sarjana
muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New York, Amerika
Serikat (1963), dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965). Ia
pernah menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan
RI (1966-1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), Diektur
Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanudin,
Ujungpandang
(1975-1976), anggota MPRS
(Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara), dosen Universitas Indonesia, dosen Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, Jakarta, senior fellow pada East-West Centre, Honolulu, Hawaii, Amerika
Serikat (1973), Ketua Dewan Film Nasional
(1978-1979), Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
anggota penyantun/penasihat majalah ''Horison'' (mengundurkan
diri sejak 1 September 1993), bersama-sama dengan Ali Audah, Arif Budiman, Goenawan
Mohamad, Aristides Katopo,
Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (1977-), Ketua
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981-) anggota Akademi
Jakarta (1988-seumur hidup).
Umar
Kayam termasuk yang banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan
yang melibatkan dirinya. Ketika menjadi mahasiswa di
Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam
terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi Dirjen Radio dan
Televisi, ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi
semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), dia
mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada
saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai
sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk
penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif
yang baru, baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni pertunjukan,
mendirikan pasar seni di kampus, dan sebagainya.
Umar Kayam wafat pada 16 Maret 2002 setelah menderita
patah tulang paha pangkal kiri. Umar Kayam meninggalkan seorang istri dan dua
anak.
6.
Remy Sylado
Yapi Panda
Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong) atau lebih
dikenal dengan nama pena Remy Sylado (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 68 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia.
Ia mengalami
masa kecil dan remaja di Semarang dan Solo.Remy memiliki sejumlah nama samaran
seperti "Dova Zila", "Alif Danya Munsyi",
"Juliana C. Panda", "Jubal Anak Perang Imanuel",
dsb di balik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, film, dsb dan juga menguasai sejumlah bahasa.
Ia memulai
karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi,
dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya
menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang
dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan puisi
mbeling.Selain menulis
banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis,
drama, dan tahu banyak akan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
Remy juga
dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama
yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa,
selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya
didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung.
Karya
·
Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa), 1999; diangkat menjadi film Ca Bau Kan yang
disutradarai Nia di Nata dan dirilis
tahun 2002. dll
|
|
7.
Dorothea Rosa Herliany
Dorothea Rosa
Herliany (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963; umur 49
tahun) adalah seorang penulis dan penyair Indonesia.
Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia
melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma,
Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dharma) dan tamat
dari sana tahun 1987.
Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan
menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula
membantu harian Sinar
Harapan dan majalah Prospek di Jakarta. Kini ia
mengelola penerbit Tera di Magelang.
Ia menulis
sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari
yang Mengalir (1990), Kepompong
Sunyi (1993), Nikah
Ilalang (1995), Mimpi
Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill
the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001). Kumpulan
cerpennya: Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).
8. Hilman Hariwijaya
Nama
lahir
|
Hilman Hariwijaya
|
|
Nama lain
|
Hilman Lupus
|
|
Lahir
|
||
Pekerjaan
|
||
Tahun
aktif
|
1986 -
sekarang
|
|
Pasangan
|
||
Anak
|
Navika Tatjana
|
|
Kini setelah ia tidak produktif lagi menulis novel, laki-laki yang mengagumi sosok penulis Arswendo Atmowiloto dan Astrid Lindgren ini merambah dunia pertelevisian dengan menulis skenario dari sinetron Cinta Fitri (Season 2 - Season 3), Melati untuk Marvel, dan lain-lain. Ia juga memroduseri film The Wall.
Karyanya :Lupus - 28 novel (1986-2007),Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003),,Olga Sepatu Roda (1992),Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
9.Sindhunata
Pekerjaan
|
|
Kebangsaan
|
|
Aliran sastra
|
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., atau lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata (lahir di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia, 12 Mei 1952; umur 61 tahun) dan juga dikenal dengan panggilan
populernya Rama Sindhu (atau dibaca "Romo Sindhu" dalam bahasa Jawa) adalah
seorang imam Katolik, anggota Yesuit, redaktur majalah kebudayaan "BASIS". Sejak masa kecilnya hingga tamat SMA ia hidup di kampungnya di kaki Gunung Panderman. [1]
Sindhunata
pernah pula bekerja sebagai wartawan Harian Kompas, menulis
komentar tentang sepak bola, dan berbagai
masalah kebudayaan. Namun
Sindhunata mungkin lebih dikenal sebagai penulis. Novelnya yang terkenal adalah "Anak
Bajang Menggiring Angin" (1983, Gramedia).Dalam bidang organisasi, mendirikan komunitas "PANGOENTJI" (Pagoejoeban
Ngoendjoek Tjioe, BI: Paguyuban Minum Ciu) yang melibatkan diri pada bidang seni dan budaya.
Kini Sindhunata
menetap di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta.
Sindhunata
lulus dari Seminarium Marianum, Lawang, Malang (1970). Pendidikan Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta (1980), Studi Teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta (1983), kemudian mendapatkan gelar doktor dari Hochschule für Philosophie,
München, Jerman (1992) dan menulis disertasinya tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa.
10.
Ahmadun Yosi
Herfanda
Ahmadun Yosi
Herfanda atau juga
ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH (lahir di Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, 17 Januari 1958; umur 55 tahun), adalah seorang penulis puisi, cerpen, dan esei dari Indonesia.
Ahmadun dikenal
sebagai sastrawan Indonesia dan jurnalis yang banyak menulis esei
sastra dan sajak
sufistik. Namun, penyair Indonesia dari generasi 1980-an ini juga banyak
menulis sajak-sajak sosial-religius. Sementara, cerpen-cerpennya bergaya
karikatural dengan tema-tema kritik sosial. Ia juga banyak menulis esei sastra.
Sejak menjadi
mahasiswa, Ahmadun telah aktif sebagai editor dan jurnalis. Dimulai dari Harian
Kedaulatan
Rakyat Yogyakarta
(1983-1999), lalu di Harian Yogya
Post (1999-1992),
Majalah Sarinah (bersama Korrie Layun Rampan,
1992-1993), dan terakhir di Harian Republika Jakarta (1993-2010). Di Republika ia lebih banyak dipercaya sebagai Redaktur Sastra, namun
sempat juga menjadi Koordinator Desk Opini dan Budaya, serta Asisten Redaktur
Pelaksana. Karier strukturalnya tidak begitu ia perhatikan, karena kesibukannya
dalam menulis karya kreatif, mengelola acara-acara sastra, dan menjadi nara
sumber berbagai workshop penulisan, mengajar di sejumlah perguruan tinggi,
mengisi diskusi, pentas baca puisi, serta seminar sastra di berbagai kota di
tanah air dan mancanegara. Dalam perjalanan karier terakhirnya (di Republika), aktivitas sastra lebih banyak menyedot kecintaannya
daripada kerja jurnalistik.
Karya-karya
Ahmadun dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit
di dalam dan luar negeri, antara lain, Horison, Ulumul
Qur'an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antologi puisi Secreets Need Words (Ohio
University, A.S., 2001), Waves of Wonder (The
International Library of Poetry, Maryland, A.S., 2002), jurnal Indonesia and The
Malay World (London, Inggris, November 1998), The Poets’ Chant (The
Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali
sajak-sajaknya dibahas dalam "Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara
Jerman" (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir
Kepala dan Seekor Kucing, memenangkan salah satu penghargaan dalam
Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam
Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan
tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Beberapa buku
karya Ahmadun yang telah terbit sejak dasawarsa 1980-an, antara lain:
- Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980),
- Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah, Ende, 1984),
·
Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika Indonesia, 1986), dll
0 komentar:
Posting Komentar