Jumat, 17 Januari 2014

biografi pengarang di Indonesia tahun 1966 keatas


1.      Taufiq Ismail



Kebangsaan
Suku bangsa
Angkatan
Angkatan '66
Penghargaan
Anugerah Seni, Pemerintah RI. (1970)



            Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat.[1] Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan. Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka. Semasa kuliah aktif sebagai Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
            Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
            Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
2.      Sutardji Calzoum Bachri

            Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941; umur 72 tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
            Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
            Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
            Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
            O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.



3.      Prof. Dr. Abdul Hadi WM

            Prof. Dr. Abdul Hadi WM  atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthari (lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946; umur 67 tahun) adalah salah satu sastrawan, budayawan dan ahli filsafat Indonesia.Ia dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusasteraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme.
            Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik diawali sejak menjadi mahasiswa, di mana Hadi menjadi redaktur Gema Mahasiswa (1967-1968) dan redaktur Mahasiswa Indonesia (1969-1974). Kemudian ia menjadi Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya (1977-1978), redaktur majalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) (1979-1981), redaktur Balai Pustaka (1981-1983) dan redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur'an.Sejak 1979 sampai awal 1990-an ia menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian Berita Buana. Tahun 1982 ia dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan ketika reformasi bergulir, dalam pemilu multi partai 1999, atas desakan rekannya Dr. H. Hamzah Haz, Abdul Hadi didesak maju sebagai wakil daerah wilayah pemilihan Jawa Timur dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 2000 ia dilantik menjadi anggota Lembaga Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat Ketua Dewan Kurator Bayt al-Qur'an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis Kebudayaan Muhammadiyah, anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan anggota Dewan Penasihat PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Keterlibatan Abdul Hadi WM dalam lingkaran aktivis Muslim telah dimulai sejak ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama menjadi mahasiswa di UGM, kemudian ikut merintis lahirnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tahun 1964 bersama-sama Amin Rais dan sahabatnya sesama penyair, Slamet Sukirnanto
            Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.
4.     Goenawan Mohamad

            Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 72 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
            Lama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, diantaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang dari Majalah Tempo. Konsep dari Catatan Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya pada akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.
            Catatan Pinggir, esei pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini terbit jilid ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (Lontar Foundation, 1994) dan Conversations with Difference (19….). . Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, “dengan raung yang tak terserap karang”.
            Kumpulan esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.
5.      Umar Kayam

            Umar Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 – meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun) adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun).
            Umar Kayam (dalam konteks percakapan antar teman biasa disapa UK), lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New York, Amerika Serikat (1963), dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965). Ia pernah menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966-1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), Diektur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanudin, Ujungpandang (1975-1976), anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), dosen Universitas Indonesia, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, senior fellow pada East-West Centre, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (1973), Ketua Dewan Film Nasional (1978-1979), Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, anggota penyantun/penasihat majalah ''Horison'' (mengundurkan diri sejak 1 September 1993), bersama-sama dengan Ali Audah, Arif Budiman, Goenawan Mohamad, Aristides Katopo, Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (1977-), Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981-) anggota Akademi Jakarta (1988-seumur hidup).
            Umar Kayam termasuk yang banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi Dirjen Radio dan Televisi, ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), dia mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif yang baru, baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni pertunjukan, mendirikan pasar seni di kampus, dan sebagainya.
            Ia juga pernah memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Umar Kayam wafat pada 16 Maret 2002 setelah menderita patah tulang paha pangkal kiri. Umar Kayam meninggalkan seorang istri dan dua anak.
6.     Remy Sylado

            Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 68 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia. Ia mengalami masa kecil dan remaja di Semarang dan Solo.Remy memiliki sejumlah nama samaran seperti "Dova Zila", "Alif Danya Munsyi", "Juliana C. Panda", "Jubal Anak Perang Imanuel", dsb di balik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, film, dsb dan juga menguasai sejumlah bahasa.
            Ia memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan puisi mbeling.Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, drama, dan tahu banyak akan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
            Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung.
            Karya

·         Orexas.
·         Gali Lobang Gila Lobang.
·         Siau Ling
·         Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa), 1999; diangkat menjadi film Ca Bau Kan yang disutradarai Nia di Nata dan dirilis tahun 2002. dll



7.      Dorothea Rosa Herliany

            Dorothea Rosa Herliany (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963; umur 49 tahun) adalah seorang penulis dan penyair Indonesia.
            Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dharma) dan tamat dari sana tahun 1987.
            Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan dan majalah Prospek di Jakarta. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang.
            Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001). Kumpulan cerpennya: Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).



8.   Hilman Hariwijaya





Nama lahir
Hilman Hariwijaya
Nama lain
Hilman Lupus
Lahir
25 Agustus 1964 (umur 49)
Description: Bendera IndonesiaJakarta
Pekerjaan
Tahun aktif
1986 - sekarang
Pasangan
Anak
Navika Tatjana



            Hilman Hariwijaya yang lahir di (lahir di Jakarta,Indonesia, 25 Agustus 1964; umur 49 tahun) ini adalah seorang penulis Indonesia. Namanya dikenal sejak menulis cerita pendek yang diberi judul Lupus di majalah Hai dibulan Desember 1986, yang kemudian dibukukan menjadi sebuah novel.
            Kini setelah ia tidak produktif lagi menulis novel, laki-laki yang mengagumi sosok penulis Arswendo Atmowiloto dan Astrid Lindgren ini merambah dunia pertelevisian dengan menulis skenario dari sinetron Cinta Fitri (Season 2 - Season 3), Melati untuk Marvel, dan lain-lain. Ia juga memroduseri film The Wall.
Karyanya :Lupus - 28 novel (1986-2007),Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003),,Olga Sepatu Roda (1992),Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
9.Sindhunata

Sindhunata di acara "Bedah Buku
Putri Cina" di Semarang, 2008
Pekerjaan
Kebangsaan
Aliran sastra
            Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., atau lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata (lahir di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia, 12 Mei 1952; umur 61 tahun) dan juga dikenal dengan panggilan populernya Rama Sindhu (atau dibaca "Romo Sindhu" dalam bahasa Jawa) adalah seorang imam Katolik, anggota Yesuit, redaktur majalah kebudayaan "BASIS". Sejak masa kecilnya hingga tamat SMA ia hidup di kampungnya di kaki Gunung Panderman. [1]
        Sindhunata pernah pula bekerja sebagai wartawan Harian Kompas, menulis komentar tentang sepak bola, dan berbagai masalah kebudayaan. Namun Sindhunata mungkin lebih dikenal sebagai penulis. Novelnya yang terkenal adalah "Anak Bajang Menggiring Angin" (1983, Gramedia).Dalam bidang organisasi, mendirikan komunitas "PANGOENTJI" (Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe, BI: Paguyuban Minum Ciu) yang melibatkan diri pada bidang seni dan budaya. Kini Sindhunata menetap di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta.
        Sindhunata lulus dari Seminarium Marianum, Lawang, Malang (1970). Pendidikan Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta (1980), Studi Teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta (1983), kemudian mendapatkan gelar doktor dari Hochschule für Philosophie, München, Jerman (1992) dan menulis disertasinya tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa.




10.                       Ahmadun Yosi Herfanda


            Ahmadun Yosi Herfanda atau juga ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH (lahir di Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, 17 Januari 1958; umur 55 tahun), adalah seorang penulis puisi, cerpen, dan esei dari Indonesia.
Ahmadun dikenal sebagai sastrawan Indonesia dan jurnalis yang banyak menulis esei sastra dan sajak sufistik. Namun, penyair Indonesia dari generasi 1980-an ini juga banyak menulis sajak-sajak sosial-religius. Sementara, cerpen-cerpennya bergaya karikatural dengan tema-tema kritik sosial. Ia juga banyak menulis esei sastra.
            Sejak menjadi mahasiswa, Ahmadun telah aktif sebagai editor dan jurnalis. Dimulai dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (1983-1999), lalu di Harian Yogya Post (1999-1992), Majalah Sarinah (bersama Korrie Layun Rampan, 1992-1993), dan terakhir di Harian Republika Jakarta (1993-2010). Di Republika ia lebih banyak dipercaya sebagai Redaktur Sastra, namun sempat juga menjadi Koordinator Desk Opini dan Budaya, serta Asisten Redaktur Pelaksana. Karier strukturalnya tidak begitu ia perhatikan, karena kesibukannya dalam menulis karya kreatif, mengelola acara-acara sastra, dan menjadi nara sumber berbagai workshop penulisan, mengajar di sejumlah perguruan tinggi, mengisi diskusi, pentas baca puisi, serta seminar sastra di berbagai kota di tanah air dan mancanegara. Dalam perjalanan karier terakhirnya (di Republika), aktivitas sastra lebih banyak menyedot kecintaannya daripada kerja jurnalistik.
            Karya-karya Ahmadun dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri, antara lain, Horison, Ulumul Qur'an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antologi puisi Secreets Need Words (Ohio University, A.S., 2001), Waves of Wonder (The International Library of Poetry, Maryland, A.S., 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Inggris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam "Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman" (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
            Beberapa buku karya Ahmadun yang telah terbit sejak dasawarsa 1980-an, antara lain:
  • Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980),
  • Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah, Ende, 1984),
·         Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika Indonesia, 1986), dll

0 komentar:

Posting Komentar