1.
Pengertian Wakaf
Menurut bahasa Wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis
(tertahan), altasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).[5] disebut pula dengan al-habs (al-ahbas,
jamak). Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam,
cegah, rintangan, halangan, “tahanan,” dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa (al-habs)
dengan al-mal (harta) berarti wakaf (ahbasa al-mal).[6]
Penggunaa kata al-habs dengan arti wakaf terdapat dalam beberapa
riwayat. Yaitu :
Pertama,
dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Umar yang menjelaskan bahwa Umar
Ibn al-Khatab datang kepada Nabi saw. Meminta petunjuk pemanfaatan tanah
miliknya di Khaibar. Nabi saw. Bersabda:
ان شئت حبست اصلها وتصدقت بها
“Bila engkau
menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasinya (manfaatnya)!”[7]
Kedua, dalam hadits riwayat Ibn Abbas (yang
dijadikan alasan hukum oleh Imam Abu Hanifah) dijelaskan bahwa Nabi Muhammad
saw. bersabda :
لاحبس عن فوائض الله[8]
“Harta yang sudah berkedudukan sebagai tirkah (harta pusaka) tidak lagi
termasuk benda wakaf.”
Dalam hadits
dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah jariah (shadaqat jariyah)
dan al-habs (harta yang pokoknya dikelola dan hasilnya
didermakan).[9]
Oleh karena itu, nomenklatur wakaf dalam kitab-kitab haditas dan fiqih tidak
seragam.. Al-Syarkhasi dalam kitab al-Mabsuth, memberikan nomenklatur wakaf
dengan Kitab al-waqf,[10] Imam Malik menuliskannya dengan
nomenklatur Kitab Habs wa al-Shadaqat,[11]
Imam al-Syafi’I dalam al-Umm memberikan nomenklatur wakaf dengan al-Ahbas,[12] dan bahkan Imam Bukhari menyertakan
hadits-hadits tentang wakaf dengan nomenklatur Kitab al-Washaya.[13] Oleh karena itu secara nomenklatur wakaf
ddisebut dengan al-ahbas, shadaqat jariyat, dan al-waqf.
Secara normative idiologis dan sosiologis perbedaan nomenklatur wakaf tersebut
dapat dibenarkan, karena landasan normative perwakafan secara eksplisit tidak
terdapat dalam al-Quran atau al-Sunna dan kondisi masyarakat pada waktu itu
menuntut akan adanya hal tersebut. Oleh karena itu, wilayah Ijtihad dalam
bidang wakaf lebih besar dari pada wilayah Tauqifi-Nya.
Ketiga, sebab nuzul (salah satu ayat) dalam
surat an-nisaa’ dalam penjelasan Imam Syuraih adalah bahwa:
جاء محمد يبيع الحبس[14]
“Nabi Muhammad saw. menjual benda wakaf.”
Menurut
Istilah, wakaf berarti :
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه يقطع التصرف فى
رقبته على مصرف مباح موجد[15]
“Penahanan
harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan desertai dengan kekal zat/benda
dengan memutuskan (memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas
Mushrif (pengelola) yang dibolehkan adanya.[16]
Atas dasar
sejumlah riwayat tersebut, nomenklatur wakaf dalam kitab-kitab hadits dan
fikih tidaklah seragam. Al-Syarkhasi dalam kitab al-Mabsut memberikan
nomenklatur wakaf dengan al-Wakaf, Imam al- Syafi’i dalam al-Um memberikan
nomenklatur wakaf dengan al-Ahbas,[17]
dn bahkan Imam Bukhari menyertakan hadits-hadits tentang wakaf dengan
nomenklatur Kitab al-Washaya.[18] Oleh karena itu, secara teknis, wakaf
disebut dengan al-ahbas, shadaqah jariyah, dan al-wakaf
Keragaman
nomenklatur wakaf terjadi karena tidak ada kata wakaf yang eksplisit dalam
Al-Quran dan hadits. Hal ini menunjukan bahwa wilayah ijtihad dalam bidang
wakaf lebih besar dari pada wilayah tawqifi.
2.
Ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
dengan Wakaf
Seperti telah diuangkapkan di muka, bahwa secara
eksplisit tidak ditemukan ayat al-Quran yang mengatur tentang wakaf, namun
secara implisit cukup banyak ayat-ayat yang bisa jadi dasar hukum tentang
wakaf, yaitu beberapa ayat tetang infak diantaranya :
1. Qur’an
: al Hajj : 77
(يايها
الدين امنوا اركعوا واسجدوا) (اى ارجعوا من تكبر قيام الانسانية الى
توضع الحيوانية ودلة النباتية ( واعبدوا ربكم) بسائر ما
كلفكم به خالصا لوجهه (وافعلو الخير) واجبا ومندوبا واتوجهوا
الى الله تعالى فى جميع احوالكم (لعلكم تفلحون) اى لتضفروا
بنعيم الجنة اىافعلوا هده كلها وانتم راجعون بها الفلاح غير متيقنين[19]
Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan
sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.
2.
Qur’an : al Baqarah : 261
(مثل
الدين ينفقون امولهم فى سبيل الله كمثل حبت انبتت سبع سنا بل ) اى سفة
صدقاة الدين ينفقون اموا لهم فى دين الله كصفة حبة اخرجت سبع سنا بل
او المعنى مثل الدين ينفقون اموالهم فى وجوه الخيرات من الوجب والنفل كمثل
زراع اخرجث ساقا تشعب منه سبع شعب فى كلى واحدة منها سنبلة (فى كلى
سنبلة مائة حبة ) كما يشاهد دلك فى الدرة والدخن بل فيهما اكثر من دلك
(والله يضعف ) فوق دلك (لمن يشاء ) على لايضيق عليه ما
يتفضل به من التضعيف (والله وا سع ) ائ لا يضيق عليه ما يتفضل به من
التضعيف (عليم ) بنية المنفق وبمن يستحق ىالمضاعفة[20]
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas
(kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
3.
Qur’an Ali Imran : 92
لن تنالوا الير حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء
فان الله به عليم
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
قال ابو حعفر يعنى بدلك جل ثناه
: لن تدركو ايها المومنون
البر : وهو البر من الله الدى يطلبونه
منه بطاعتهم اياه وعباد تهم له ويرجونه منه, ودلك تفضله عليهم بادخالهم جنة, وصرف
عدابه عنهم.
حدثن ابو كريب قال: حدثن وكيع عن
شريك عن ابى اسحاق عن عمرو بن ميمون في قوله : لن تنالوا البر, فل ألجنة.
قال ابو جعفر : فتاويل الكلام لن تنالوا
ايها المومنون : جنة ربكم
حتى تنفقوا مما تحبون يقول : حتى
تتصدقوا مما تحبون وهوون ان نكون لكم من نفيس اموالكم
Kutipan Al-Quran
surat Ali Imran ayat 92 tersebut benar-benar menyentuh. Ternyata menafkahkan
harta yang kita cintai merupakan salah satu jalan sekaligus syarat untuk
menyempurnakan semua kebajikan lain yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan.
Bisa jadi seseorang telah banyak berbuat baik. Tampaknya dengan
menafkahkan sebagian hak milik yang sangat dicintai untuk perjuangan di jalan
Allah, barulah akan sampai kepada kebajikan/keshalehan yang sempurna.
Sabab Nuzul ayat
tersebutadalah, Seperti diterangkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Buchori, Muslim, Tarmidzi, dan An-Nasa’i, yang diterima dari Anas bin
Malik, Beliau menrangkan :
Abu Tholhah diantara
salah seorang Sahabat Nabi yang paling banyak memiliki kebun kurmanya di
Madinah, salah satunya kebun kurma Bairuha, kebun tersebut berhadapan
dengan Masjid tempat Nabi sembahyang dan Nabi sering keluar masuk memakan kurma
tersebut dan meminum airnya yang harum.
Ketika turun ayat
tersebut (Ali Imran : 92) Tholhah langsung mendatangi Rasull lalu ia
berkata, :Ya Rasulullah, sesungguhnya kekayaan yang sangat kucintai yaitu kebun
kurma Bairuha, karena ada perintah dari Allah melalui ayat tadi,
kusedekahkan bairuha ini kepadamu Ya Rasulullah.
Mendengar ucapan Abu
Tholhah, Rasulullah berkata, wahai Tholhah sungguh engkau beruntung, kebun
kurma itu membawa keberuntungan, kalau begitu alangkah baiknya disedekahkan
kebun kurma itu kepada karib kerabatmu. Timpal Abu Tholhah, ya Rasulullah akan
kusedekahkan harta itu sesuai dengan petunjukmu Ya Rasulullah.
Kemudian dalam
Riwayat Abi Hatim dari Muhammad bin Al-Munkodir, beliau berkata, bahwa ketika
turun ayat Ali Imran ke 92, datang sahabat Zaid bin Haritsyah membawa seekor
kuda yang bernama Sibul, Zaid tidak memiliki lagi kekayaan lain selain
kuda itu.
Beliau berkata, Ya
Rasulullah saya datang akan menyerahkan kuda ini untuk kepentingan agama,
Rasull menjawab “Aku menerima sedekahmu” wahai Zaid.
Selanjutnya oleh
Rasulullah ditunggangkan diatas punggung kuda itu Usamah bin Zaid anaknya Zaid,
lantas Rasull melihat muka Zaid agak muram masih merasa berat hati melepaskan
kuda kesayangannya.
Namun Rasulullah melanjutkan perkataannya. Sesungguhnya
Allah telah menerima sedekah engakau Zaid.
Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan dari beberapa hadits Nabi
yang menyinggung masalah shadaqah jariyah, yaitu :
عن ابى هريرة ان رسول الله صلى عليه و سلم قال : ادا مات
ابن ادم انقطع عمله الا من ثلث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح
يدعوله (رواه مسلم )
Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw
bersabda : “Apabila anak Adam (manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya,
kecuali tiga perkara:
Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh
yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)
Penafsiran
shadaqah jariyah dalam hadits tersebut dikataakan asuk dalam pemebahasan wakaf,
seperti yang diuangkapkan seorang Imam
دكره باب الوقف لانه فسر العلماء
الصدقة الجارية بالوقف
Hadit tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf, karena para ulama
menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf[21].
Hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya
ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang
ada di Khaibar :
عن ابن عمر رضى الله عنهما ان عمر بن الخطاب اصاب ارضا
بخيبر فئاتى النبي صلى الله عليه وسلم يستئامره فيها فقال : يا رسول
الله انى اصبت ارضا بخيبر لم اصب مالا قط انفس عندى منه فما تئامرنى
به قال : ان شئت حبست اصلها فتصدقت بها عمر انه لا يباع ولا يوهب ولا
يرث وتصدق بها فى الفقراء وفى القربى وفى الرقاب وفى سبيل الله وابن
السبيل والضيف لاجناح على من وليها ان ياكل منها با المعرف ويطعم غير متمول
(رواه مسلم )
Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar Ra.
Memperoleh sebidang tanah d Khaibar kemudian menghadap kepada Rasulullah untukm
memohon petunjuk Umar berkata : Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah
di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah engkau
perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan
(pokoknya) ntanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar menyedekahkannya
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil
dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah
wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya)
atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta (HR. Muslim).
Pada sabda Nabi yang lainnya disebutkan :
عن ابن عمر قال : قال عمر للنبي صلى الله عليه وسلم ان
مائة سهم لى بخيبر لم اصب مالا قط اعجب الي منها قد اردت ان اتصدق بها فقال
النبي صلعم : احبس اصلها وسبل ثمرتها (رواه ألبخارى و مسلم
Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi
Saw, saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah
mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin
menyedekahkannya. Nabi Saw mengatakan kepada Umar : Tahanlah (jangan jual,
hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk
sabilillah” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Bertitik tolak dari
beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menyinggung tentang akaf tersebut
nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang
diterapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini
diletakan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abudi, khususnya yang
berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan
lain-lain.
Meskipun demikian,
ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih
Islam. Sejak masa Khulafaur Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan
mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum
(ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam
ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti
qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.
Oleh karenanya,
ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal
tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru,
dinamis, fururistik dan berorientasi pada masa depan. Sehingga dengan demikian,
ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup
besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran
wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas,
khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.
Memang, bila ditijau
dari kekuatan sandaan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang
bersifrat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu
besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak.
Sehingga dengan demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam wilayah ijtihadi,
dengan sendirinya menjadi pendukung non manajerial yang bisa dikembangkan
pengelolaannya secara optimal.
3.
Perwakafan Dalam Undang-Undang Di Indonesia
1. Wakaf
sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu
dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.
2. Wakaf merupakan perbuatan
hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat.
4.
Regulasi Perwakafan di Indonesia
1. Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tantang Wakaf
3. Peraturan pemerintah
No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004
4. Peraturan pemerintah
No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik[22]
Benda
Tidak Bergerak yang Dapat Diwakafkan
1. Hak atas tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah
terdaftar maupun yang belum terdaftar.
2. Bangunan atau bagian bangunan
yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.
3. Tanaman dan beda lain yang
berkaitan dengan tanah
4. Hal milik atas satuan rumah
sesuai dengan peraturan perundag-undangan yang berlaku.
5. Benda tidak bergerak lain
yang sesuai dengan sejarah dan peraturan perundang-unagan.
5.
Benda Bergerak yang dapat Diwakafkan
1. Uang Rupiah
2. Logam Mulia
3. Surat Berharga
4. Benda bergerak lain yang
berlaku
5. Kendaraan
6. Hak atas kekayaan
intelektual
7. Hak sewa sesuai ketentuan
syariah dan peraturan perunda-undanga yang berlaku.
E. Unsur-Unsur Wakaf
1. Wakif
2. Nadzir
3. Harta Benda Wakaf
4. Peruntukan Wakaf
5. Jangka Waktu Wakaf
6. Sighat Wakaf/Akad
6.
W a k I f
1. Wakif perseorangan (dewasa,
sehat, dan cakap) Organisasi
(Pengurus memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, bergerak dalam bidang
sosial/pendidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
2. Badan Hukum (Pengurus
memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, Badan Hukum sah, bergerak dalam
bidang sosial/pendidikan/keagamaan Islam dan kemasyarakatan
3. Pemilik sah harta benda
yang akan diwakafkan.
7.
N a d z I r
1.
Nadzir Perorangan (dewasa, sehata, cakap).
2. Organisasi
(Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, bergerrak dalam bidang
sosial/pemdidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
3.
Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, Badan Hukum
sah, bergerak dalam bidang sosial/ pendidikan/kemasyarakatan /keagamaan Islam.
4. Terdaftar
di BWI dan Kemenag (Pendaftaran dapat dilaksanakan setelah proses wakaf bagi
nadzir baru.
8.
Tugas Nadzir
1. Pengadministrasian
2. Mengelola dan mengembangkan
harta wakaf sesuai tujuan
3. Mengawasi proses
pengelolaan
4. Melaporkan hasil
pengelolaan kepada BW) dan Kemenag.
Nadzir dapat memperoleh imbalan maksimal 10 % dari hasil
pengelolaan.
9. Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
1. Calon Wakif menyerahkan
bukti kepemilikan tanah yang akan diwakafkan berupa sertifikat, Keterangan
tidak sengketa Pendaftaran tanah, Keterangan Bupati tentang kesesuaian Master
Plan untuk diteliti PPAIW.
2. PPAIW melakukan pemeriksaan
terhadap Nazir.
3. Wakif menyatakan Ikrar
Wakaf dihadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan 2 orang saksi bermaterai cukup
4. PPAIW menuangan Ikrar Wakaf
alam bentuk tertulis
5. PPAIW menuangkan membuat
AIW ditandatangani Wakif, Nazir, Saksi dan PPAIW.
6. AIW diserahkan kepada Nazir
beserta dokumen tanah.
7. PPAIW menerbitkan
pendaftaran wakaf dan mendaftarkan kepada BWI dan Menteria Agama dengan
tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8. PPAIW memberikan bukti
pendaftaran harta wakaf kepada Nazir.
9. Nazir mengurus sertifikat
tanah wakaf ke BPN.
10. Terbit Sertifikat Tanah Wakaf.
10.
Wakaf Benda Bergerak Selain Uang
1. Calon Wakif menyerahkan
dokumen bukti kepemilikan hata benda wakaf (jika ada)
2. PPAIW melakukan pemeriksaan
Nazhir.
3. Wakif menyatakan Ikrar
Wakaf di hadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan dua oang saksi.
4. PPAIW menuangkan Ikrara
Wakaf dalam bentuk tertulis
5. PPAIW membuat AIW
ditandatangani Wakif, Nazhir, saksi, PPAIW bermaterai cukup.
6. AIW disrahkan kepada Nazhir
beserta Harta Wakaf.
7. PPAIW mendaftarkan Benda
Wakaf kepada BWI dan Menag dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8. Nazhir mengurus pengalihan
bukti kepemilikan kepada Instansi terkait.
9. Terbit bukti kepemilikan
Harta Benda Wakaf.
11. Pengelolaan Waqaf
Pada
masa kini masih banyak masyarakat khususnya umat Islam belum memahami dan
mengerti keberadaan lembaga wakaf. Padahal lembaga wakaf di Indonesiatelah
dikenal dan berlangsung seiring dengan usia agama Islam masuk ke Nusantara,
yakni pada pertengahan abad ke-13 Masehi. Kenyataannya dalam perkembangannya,
lembaga wakaf belum dipahami masyarakat serta belum memberikan kontribusi yang
berarti dalam rangka peningkatan kehidupan ekonomi umat Islam. Masalah wakaf
merupakan masalah yang masih kurang dibahas secara intensif. Hal ini disebabkan
karena umat Islam hampir melupakan kegiatan-kegiatan yang berasal dari lembaga
perwakafan[1].
Wakaf sebagai wadah atau perwakafan sebagai suatu proses cara normatif di dalam
Islam dipahami sebagai suatu lembaga/institusi keagamaan yang sangat penting.
Lembaga wakaf dari kata kerja waqaf yang berarti menghentikan, berdiam di
tempat atau menahan sesuatu. Sinonim waqaf adalah habis, artinya menghentikan
atau menahan.
Syekh
Syarbaini Al-Khatib dalam kitabnya “Al-Iqna” menyatakan,wakaf ialah menahan
sejumlah harta benda yang tahan lama dan bermanfaat, dengan menetapkan
transaksi kepada yang dibenarkan agama.” Di dalam perundang-undangan
disebutkan; Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya
untuk ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dasar
hukum wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran Islam tidak dijumpai
secara tersurat dalam Al-Qur’an. Namun demikian terdapat beberapa ayat yang memberi petunjuk
dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum perwakafan. Ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari hasil
usahamu dan dari hasil-hasil (kerjamu) yang kamu keluarkan dari bumi. Janganlah
kamu pilih yang buruk-buruk di antaranya yang kamu nafkahkan (QS 2 :
267).
2.
Kamu belum mendapatkan kebijakan, sebelum kamu nafkahkan sebagian dari harta
yang kamu sukai. Apa saja yang kamu nafkahkan itu Allah mengetahuinya (QS: 3 :
92)
Sebagian
besar ulama menyatakan kedua ayat tersebut menunjukkan di antara cara
mendapatkan kebaikan adalah dengan menginfakkan sebagian harta yang dimiliki
seseorang, di antaranya melalui wakaf. Selanjutnya di zaman Rasulullah
istilah wakaf belum dikenal, yang ada istilah habs, sadaqah dan tasbil,
sebagaimana tercermin dalam enam hadist yang diriwayatkan oleh para sahabat.
Lembaga wakaf baru dikenal untuk berwakaf dipopulerkan oleh para ahli Fiqh yang
dapat disandarkan pada salah satu hadist riwayat Jamaah yang berasal dari Ibnu Umar yang menceritakan
Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia bertanya kepada Rasulullah:
“Ya
Rasulullah aku mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah aku dapat
sama sekali, yang lebih baik bagiku selainnya tanah itu, lalu apa yang hendak
engkau perintahkan kepadaku, jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan
sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkannya dengan syarat tidak
boleh diberikan dan tidak boleh diwariskan”[2]
Inilah
hadist yang menunjukkan bahwa Umar telah mewakafkan tanahnya di Khaibar untuk
kebaikan umum. Sikaf wakaf ini dilanjutkan oleh para sahabat. Umar bin Khatab
mewakafkan tanah perkebunan di Khaibar sehingga segala hasil perkebunan
tersebut dipergunakan untu kepentingan pembangunan masyarakat dan
kesejahteraan umat. Usman Bin Affan mewakafkan sumur di Kota Madinah. Sumber
air tersebut dibeli kemudian diwakafkan sehingga semua orang dapat mengambil
air dari sumur tersebut. Sejarah menyatakan tidak ada seorang pun dari sahabat
Rasulullah yang tidak melakukan wakaf, karena semua berlomba untuk mengejar pahala
sedekah jariyah yang akan mengalir ke alam barzakh dan sebagai simpanan
deposito bagi kehidupan di akhirat kelak.
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesialembaga perwakafan sering dilakukan
oleh masyarakat yang beragama Islam. Sekalipun pelaksanaan wakaf bersumber dari
ajaran Islam namun wakaf seolah-olah merupakan kesepakatan ahli hukum dan
budaya bahwa perwakafan adalah masalah hukum adat Indonesia.
Sejak masa dahulu praktek wakaf ini telah diatur oleh hukum adat yang sifatnya
tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang bersumber dari nilai-nilai
ajaran Islam[3].
Untuk mengelola wakaf diIndonesia, yang pertama-tama adalah pembentukan suatu
badan atau lembaga yang mengkordinasi secara nasional bernama Badan
Wakaf Indonesia. (BWI). Badan WakafIndonesiadi berikan tugas mengembangkan
wakaf secara produktif dengan membina Nazhir wakaf (pengelola wakaf) secara
nasional, sehingga wakaf dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Dalam pasal 47 ayat 2 disebutkan bahwa Badan WakafIndonesiabersifat
independent, dan pemerintah sebagai fasilitator. Tugas utama badan ini adalah
memberdayaan wakaf melalui fungsi pembinaan, baik wakaf benda bergerak maupun
benda yang bergerak yang ada diIndonesiasehingga dapat memberdayakan ekonomi
umat.
Disamping memiliki tugas-tugas konstitusional, BWI harus menggarap wilayah
tugas:
- Merumuskan kembali fikh wakaf baru diIndonesia, agar wakaf dapat dikelola lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa kehilangan wataknya sebagai lembaga Islam yang kekal.
- Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai kepada masyarakat.
- Menyusun dan mengusulan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada pemerintah[4]
Sesuai
dengan Undang-undang Nomor 41 / 2004 ; Tabung WakafIndonesia(adalah Nazhir
Wakaf) berbentuk badan hukum, dan karenanya, persyaratan yang insya-Allah akan
dipenuhi adalah :
a.
Pengurus badan hukum Tabung WakafIndonesiaini memenuhi persyaratan sebagai
Nazhir Perseorangan sebagaimana dimaksud pada pasal 9, ayat (1) Undang-undang
Wakaf Nomor 41/2004, dan
b.
Badan hukum ini adalah badan hukumIndonesiayang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
c.
Badan hukum ini bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan atau
keagamaan Islam
d.
Tabung Wakaf Indonesiamerupakan badan unit atau badan otonom dari dan dengan
landasan badan hukum Dompet Dhuafa REPUBLIKA, sebagai sebuah badan hukum
yayasan yang telah kredibel dan memenuhi persyaratan sebagai Nazhir Wakaf
sebagaimana dimaksud Undang-undang Wakaf tersebut[5]
Dalam
perkembangannya wakaf tidak hanya berasal dari benda-benda tetap tetapi wakaf
juga dapat berbentuk benda bergerak misalnya seperti wakaf tunai
sebagaimana menurut keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang
Wakaf Tunai[6].
Pengelolaan dana wakaf ini juga harus disadari merupakan pengelolaan dana
publik. Untuk itu tidak saja pengelolaannya yang harus dilakukan secara
profesional, akan tetapi budaya transparansi serta akuntabilitas merupakan satu
faktor yang harus diwujudkan. Pentingnya budaya ini ditegakan karena disatu
sisi hak wakif atas asset (Wakaf Tunai) telah hilang, sehingga dengan adanya
budaya pengelolaan yang professional, transparansi dan akuntabilitas, maka
beberapa hak konsumen (wakif) dapat dipenuhi, yaitu:
- hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/ jasa
- hak untuk didengar dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan
- hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Untuk
itulah, agar wakaf tunai dapat memberikan manfaat yang nyata kepada masyarakat
maka diperlukan sistem pengelolaan (manajemen) yang berstandar profesional.
Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak utama yaitu: yang pertama adalah
pemberi wakaf (wakif), kedua pengelola wakaf (Nazir), sekaligus akan bertindak
sebagai manajer investasi, dan ketiga beneficiary (mauquf alaihi).
Dalam
melakukan pengelolaan wakaf diperlukan sebuah institusi yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
- kemampuan akses kepada calon wakif
- kemampuan melakukan investasi dana wakaf
- kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary
- kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf
- mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat[7]
0 komentar:
Posting Komentar