BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kompositum
atau bentuk majemuk adalah penggabungan dua bentuk kata atau lebih. Bentuk ini
terdiri atas verba majemuk dan verba nominal. Verba majemuk adalah deret dua
kata atau lebih menghasilkan makna yang masih dapat diruntut dari makna
komponennya yang tergabung (Moeliono, 2001: 22).
Kata terjun dan kata payung dapat digabungkan menjadi terjung payung. Makna perpaduan ini masih dapat ditelusuri dari makna kata terjun dan kata payung, yaitu melakukan terjun dari udara dengan memakai semacam payung. Hasil perpanduan dua verba seperti ini dinamakan verba majemuk. Penanda lain verba majemuk adalah urutannya tetap dan tidak dapat dipertukarkan tempatnya.
Kata terjun dan kata payung dapat digabungkan menjadi terjung payung. Makna perpaduan ini masih dapat ditelusuri dari makna kata terjun dan kata payung, yaitu melakukan terjun dari udara dengan memakai semacam payung. Hasil perpanduan dua verba seperti ini dinamakan verba majemuk. Penanda lain verba majemuk adalah urutannya tetap dan tidak dapat dipertukarkan tempatnya.
Contoh berikut dapat dilihat di bawah ini.
1) terjun payung tidak dapat menjadi payung terjun
2) siap tempur tidak dapat menjadi tempur siap
3) tatap muka tidak dapat menjadi muka tatap
Verba nominal pada dasarnya mempunyai ciri yang sama dengan verba majemuk. Suami-istri merupakan verba nominal karena maknanya masih dapat diuraikan dari makna kata suami dan istri. Hal ini sangat jelas berbeda dengan idiom. Idiom juga terbentuk melalui proses penggabungan beberapa kata. Perbedaan antara verba majemuk dan nomina majemuk dengan idiom terdapat pada penulusuran makna kata yang membentuknya. Jika makna verbal majemuk dan nominal majemuk masing dapat diuraikan, makna idiom tidak dapat diuraikan secara langsung dari masing-masing makna yang tergabung. Kata naik dapat digabungkan dengan darah sehingga terbentuk naik darah. Perpaduan dua kata ini menimbulkan makna baru dan tidak ada hubungannya dengan darah yang naik.
Berdasarkan panjang-pendeknya, verba majemuk dan verba nominal berbeda dengan idiom. Perpaduan bentuk majemuk pada umumnya terdiri atas dua kata. Tatap muka, bunuh diri, dan maju mundur merupakan contoh verba majemuk dan uang pangkal, anak cucu, dan cetak coba merupakan contoh verba nominal. Akan tetapi, perpaduan pada bentuk idiom dapat terdiri dari dua kata atau lebih. Kata bertepuk sebelah tangan, bermain api, dan memancing di air keruh adalah bentuk-bentuk idiom.
1) terjun payung tidak dapat menjadi payung terjun
2) siap tempur tidak dapat menjadi tempur siap
3) tatap muka tidak dapat menjadi muka tatap
Verba nominal pada dasarnya mempunyai ciri yang sama dengan verba majemuk. Suami-istri merupakan verba nominal karena maknanya masih dapat diuraikan dari makna kata suami dan istri. Hal ini sangat jelas berbeda dengan idiom. Idiom juga terbentuk melalui proses penggabungan beberapa kata. Perbedaan antara verba majemuk dan nomina majemuk dengan idiom terdapat pada penulusuran makna kata yang membentuknya. Jika makna verbal majemuk dan nominal majemuk masing dapat diuraikan, makna idiom tidak dapat diuraikan secara langsung dari masing-masing makna yang tergabung. Kata naik dapat digabungkan dengan darah sehingga terbentuk naik darah. Perpaduan dua kata ini menimbulkan makna baru dan tidak ada hubungannya dengan darah yang naik.
Berdasarkan panjang-pendeknya, verba majemuk dan verba nominal berbeda dengan idiom. Perpaduan bentuk majemuk pada umumnya terdiri atas dua kata. Tatap muka, bunuh diri, dan maju mundur merupakan contoh verba majemuk dan uang pangkal, anak cucu, dan cetak coba merupakan contoh verba nominal. Akan tetapi, perpaduan pada bentuk idiom dapat terdiri dari dua kata atau lebih. Kata bertepuk sebelah tangan, bermain api, dan memancing di air keruh adalah bentuk-bentuk idiom.
A.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar nelakang diatas
diharapkan kita akan mengetahui
tentang :
a. Verba Majemuk
a. Verba Majemuk
b. Jenis –Jenis Kompositum
BAB II
PEMBAHASAN
A.
VERBA MAJEMUK
Verba
majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses penggabungan satu kata
dengan kata yang lain. Dalam verba majemuk, penjejeran dua kata atau lebih itu
menumbuhkan makna yang secara langsung masih bisa ditelusuri dari makna
masing-masing kata yang tergabung.
Idiom juga merupakan perpaduan dua kata atau lebih, tetapi makna dari makna-makna masing-masing kata yang tergabung. Kata naik misalnya, dapat dipadukan dengan kata darah sehingga menjadi naik darah.
Kalau dipakai formula untuk membedakan idiom dengan verba majemuk, maka perbedaan itu adalah:
Idiom : A + B menimbulkan makna C
Verba majemuk : A + B menimbulkan makna AB
Salah satu ciri lain dari verba majemuk adalah ahwa urutan komponennya seolah-olah telah menjadi satu sehingga tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Karena keeratan hubungannya verba majemuk juga tidak dapat dipisahkan oleh kata lain. Bentuk *temu wicara, *siap guna tempur, dan *tatap dengan muka.
Verba majemuk juga dibedakan dari idiom panjang-pendeknya bentuk. Biasanya verba majemuk pendek dan umumnya terbatas pada dua kata.
Verba majemuk harus pula dibedakan dari frasa verba. Frasa verba juga terdiri dari dua kata atau lebih. Berdasarkan bentuk morfologisnya, verba majemuk terbagiatas (1) verba majemuk dasar, (2) verba majemuk berafiks, dan (3) verba majemuk berulang. Berdasarkan komponen-komponennya, verba majemuk terbagi atas (i) verba majemuk bertingkat, dan (ii) verba majemuk setara. Verba majemuk bertingkat adalah verba majemuk yang salah satu komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat jelas apabila apabila verba majemuk itu diparafrasekan. Contohnya:
jumpa pers = jumpa dengan pers
haus kekuasaan = haus akan kekuasaan
verba majemuk setara ialah verba majemuk yang kedua komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat pada parafrase sebagai berikut:
timbul tenggelam = timbul dan tenggelam
jatuh bangun = jatuh dan bangun
Jelaslah bahwa bukan satu komponen yang menjadi inti, tetapi kedua-duany. Dari parafrase tersebut terlihat bahwa hubungan kedua komponen bersifat koordinatif.
1. Verba Majeuk Dasar
Yang dimaksud dengan verba majemuk dasar ialah verba majemukyang tidak verafiks dan tidak mengandung komponen berulang, serta dapat berdiri sendiri dalam frase, klausa, atau kalimat. Ada tiga pola verba majemuk dasar yang paling umum yaitu (a) komponen pertama berupa verba dasar dan komponen kedua berupa nomina dasar, seperti mabuk laut; (b) komponen pertama berupa adjectiva dan komponen kedua berupa verba, sepert kurang makan; (c) kedua komponen berupa verba dasar seperti hancur lebur.
2. Verba Majemuk Berafiks
Verba majemuk berafiks ialah verba majemuk yang mengandung afiks tertentu. Verba majemuk berafiks dapat dibagi menjadi tiga kelomok.
Idiom juga merupakan perpaduan dua kata atau lebih, tetapi makna dari makna-makna masing-masing kata yang tergabung. Kata naik misalnya, dapat dipadukan dengan kata darah sehingga menjadi naik darah.
Kalau dipakai formula untuk membedakan idiom dengan verba majemuk, maka perbedaan itu adalah:
Idiom : A + B menimbulkan makna C
Verba majemuk : A + B menimbulkan makna AB
Salah satu ciri lain dari verba majemuk adalah ahwa urutan komponennya seolah-olah telah menjadi satu sehingga tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Karena keeratan hubungannya verba majemuk juga tidak dapat dipisahkan oleh kata lain. Bentuk *temu wicara, *siap guna tempur, dan *tatap dengan muka.
Verba majemuk juga dibedakan dari idiom panjang-pendeknya bentuk. Biasanya verba majemuk pendek dan umumnya terbatas pada dua kata.
Verba majemuk harus pula dibedakan dari frasa verba. Frasa verba juga terdiri dari dua kata atau lebih. Berdasarkan bentuk morfologisnya, verba majemuk terbagiatas (1) verba majemuk dasar, (2) verba majemuk berafiks, dan (3) verba majemuk berulang. Berdasarkan komponen-komponennya, verba majemuk terbagi atas (i) verba majemuk bertingkat, dan (ii) verba majemuk setara. Verba majemuk bertingkat adalah verba majemuk yang salah satu komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat jelas apabila apabila verba majemuk itu diparafrasekan. Contohnya:
jumpa pers = jumpa dengan pers
haus kekuasaan = haus akan kekuasaan
verba majemuk setara ialah verba majemuk yang kedua komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat pada parafrase sebagai berikut:
timbul tenggelam = timbul dan tenggelam
jatuh bangun = jatuh dan bangun
Jelaslah bahwa bukan satu komponen yang menjadi inti, tetapi kedua-duany. Dari parafrase tersebut terlihat bahwa hubungan kedua komponen bersifat koordinatif.
1. Verba Majeuk Dasar
Yang dimaksud dengan verba majemuk dasar ialah verba majemukyang tidak verafiks dan tidak mengandung komponen berulang, serta dapat berdiri sendiri dalam frase, klausa, atau kalimat. Ada tiga pola verba majemuk dasar yang paling umum yaitu (a) komponen pertama berupa verba dasar dan komponen kedua berupa nomina dasar, seperti mabuk laut; (b) komponen pertama berupa adjectiva dan komponen kedua berupa verba, sepert kurang makan; (c) kedua komponen berupa verba dasar seperti hancur lebur.
2. Verba Majemuk Berafiks
Verba majemuk berafiks ialah verba majemuk yang mengandung afiks tertentu. Verba majemuk berafiks dapat dibagi menjadi tiga kelomok.
a. Verba majemuk berafiks yang
pangkalnya berupa bentuk majemuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam kalimat
disebut verba majemuk terikat.
b. Verba majemuk berafiks yang
pangkalnya berupa bentuk majemuk yang dapat berdiri sendiri disebut verba
majemuk bebas.
c. Verba majemuk berafiks yang
komponennya telah berafiks lebih dahulu
3. Verba majemuk berulang
Verba majemuk dalam bahasa Indonesia dapat direduplikasi jika kemajemukannya bertingkat dan jika intinya adalah bentuk verba yang dapat direduplikasikan pula. Hanya komponen verba yang mengalami reduplikasikan pula.
Contoh:
Naik pangkat naik-naik pangkat
Pulang kampung pulang-pulang kampung
Dari contoh diatas tampaklah bahwa hanya komponen verba yang mengalami reduplikasi.
B. HUBUNGAN KETRANSITIFAN DENGAN AFIKSASI
Ada keterkaitan antara ketransitifan dengan afiksasi. Berikut ini didaftarkan kaidah mengenai hubungan tersebut.
1. Verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiksasi dapat bersifat transitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: makan, minum, mandi, tidur.
2. Verba yang bersifat ber- bersifat tak transitif. Contoh: berjalan, berjemur, berdasarkan, bermandikan.
3. Verba yang berafiks meng- tanpa sufiks dapat bersifat tarnsitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: membeli, membawa, mendarat, merakyat.
4. Semua verba yang bersufiks –i, kecuali verba tertentu sepertimenyerupai dan memadai, bersifat transitif. Contoh: merestui, memukuli, menugasi, mendekati.
5. Semua verba yang bersufiks –kan dan berprefiks meng-, kecuali merupakan, selalu bersifat transitif. Contoh: mengerjakan, membelikan, menyerahkan.
6. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba taktransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan dan –i merupakan verba ekatransitif.
7. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba ekatransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan sering tergolong verba dwitransitif.
8. Jikan bentuk [meng-+ Dasar] adalah verba ekatransitif, maka pasangannya dengan akhiran –in umumnya tetap ekatransitif.
C. FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA
Verba dapat diperluas dengan menambahkan unsur-unsur tertentu, tetapi hasil perluasan ini masih tetap ada pada tataran sintaksis yang sama.
1. Pengertian Farasa Verbal
Farasa verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi bentuk ini tidak merupakan klausa. Perlu ditegaskan bahwa unsur pengisi subjek, objek, dan pelengkap tidak termasuk dalam frasa verbal.
a. Kesehatannya sudah membaik.
b. Pesawat itu akan mendarat.
c. Anak-anak itu tidak harus pergi sekarang.
Kontruksi yang dicetak miring adalah frasa verbal.
2. Jenis-jenis farasa verbal
Dilihat dari konstruksinya, frasa verbal terdiri atas verba inti dan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba tersebut.
a. Frasa Endosentrik Atribut
Frasa verbal yang endosentrik atribut terdiri atas inti verba dan pewatas yang ditempatkan dimuka atau belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang dibelakang dinamakan pewatas belakang.
b. Frasa Endosentrik Koordinatif
Wujud frasa endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Tentu saja, sebagai verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan dan pewatas belakang.
D. FUNGSI VERBA DAN FRASA VERBAL
Jika ditinjau dari segi fungsinya, verba (maupun frasa verbal) terutama menduduki fungsi predikat. Walaupun demikian verba dapat pula menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, dan keterangan.
1. Verba dan Frasa Verbal sebagai Predikat
Contoh:
a. kaca jendela itu pecah.
b. Orang tuanya bertani.
c. Kedua sahabat itu berpeluk-pelukan
Verba majemuk dalam bahasa Indonesia dapat direduplikasi jika kemajemukannya bertingkat dan jika intinya adalah bentuk verba yang dapat direduplikasikan pula. Hanya komponen verba yang mengalami reduplikasikan pula.
Contoh:
Naik pangkat naik-naik pangkat
Pulang kampung pulang-pulang kampung
Dari contoh diatas tampaklah bahwa hanya komponen verba yang mengalami reduplikasi.
B. HUBUNGAN KETRANSITIFAN DENGAN AFIKSASI
Ada keterkaitan antara ketransitifan dengan afiksasi. Berikut ini didaftarkan kaidah mengenai hubungan tersebut.
1. Verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiksasi dapat bersifat transitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: makan, minum, mandi, tidur.
2. Verba yang bersifat ber- bersifat tak transitif. Contoh: berjalan, berjemur, berdasarkan, bermandikan.
3. Verba yang berafiks meng- tanpa sufiks dapat bersifat tarnsitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: membeli, membawa, mendarat, merakyat.
4. Semua verba yang bersufiks –i, kecuali verba tertentu sepertimenyerupai dan memadai, bersifat transitif. Contoh: merestui, memukuli, menugasi, mendekati.
5. Semua verba yang bersufiks –kan dan berprefiks meng-, kecuali merupakan, selalu bersifat transitif. Contoh: mengerjakan, membelikan, menyerahkan.
6. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba taktransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan dan –i merupakan verba ekatransitif.
7. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba ekatransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan sering tergolong verba dwitransitif.
8. Jikan bentuk [meng-+ Dasar] adalah verba ekatransitif, maka pasangannya dengan akhiran –in umumnya tetap ekatransitif.
C. FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA
Verba dapat diperluas dengan menambahkan unsur-unsur tertentu, tetapi hasil perluasan ini masih tetap ada pada tataran sintaksis yang sama.
1. Pengertian Farasa Verbal
Farasa verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi bentuk ini tidak merupakan klausa. Perlu ditegaskan bahwa unsur pengisi subjek, objek, dan pelengkap tidak termasuk dalam frasa verbal.
a. Kesehatannya sudah membaik.
b. Pesawat itu akan mendarat.
c. Anak-anak itu tidak harus pergi sekarang.
Kontruksi yang dicetak miring adalah frasa verbal.
2. Jenis-jenis farasa verbal
Dilihat dari konstruksinya, frasa verbal terdiri atas verba inti dan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba tersebut.
a. Frasa Endosentrik Atribut
Frasa verbal yang endosentrik atribut terdiri atas inti verba dan pewatas yang ditempatkan dimuka atau belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang dibelakang dinamakan pewatas belakang.
b. Frasa Endosentrik Koordinatif
Wujud frasa endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Tentu saja, sebagai verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan dan pewatas belakang.
D. FUNGSI VERBA DAN FRASA VERBAL
Jika ditinjau dari segi fungsinya, verba (maupun frasa verbal) terutama menduduki fungsi predikat. Walaupun demikian verba dapat pula menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, dan keterangan.
1. Verba dan Frasa Verbal sebagai Predikat
Contoh:
a. kaca jendela itu pecah.
b. Orang tuanya bertani.
c. Kedua sahabat itu berpeluk-pelukan
2. Verba dan Frasa Verbal sebagai Subjek
Contoh:
a. Membaca telah memperluasa wawasan fikirannya.
b. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
Contoh:
a. Membaca telah memperluasa wawasan fikirannya.
b. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
3. Verba dan Frasa Verbal sebagai Objek
Contoh:
a. Dia sedang mengajarkan menari pada adik saya.
b. Mereka menekuni membaca Quran pada pagi hari.
Contoh:
a. Dia sedang mengajarkan menari pada adik saya.
b. Mereka menekuni membaca Quran pada pagi hari.
4. Verba dan Frasa Verbal sebagai Pelengkap
Contoh:
a. Dia sudah berhenti merokok.
b. Mertuanya merasa tidak bersalah.
5. Verba dan Frasa Verbal sebagai Keterangan
Contoh:
a. Ibu sudah pergi berbelanja.
b. Paman datang berkunjung minggu yang lalu.
Contoh:
a. Dia sudah berhenti merokok.
b. Mertuanya merasa tidak bersalah.
5. Verba dan Frasa Verbal sebagai Keterangan
Contoh:
a. Ibu sudah pergi berbelanja.
b. Paman datang berkunjung minggu yang lalu.
6. Verba yang Bersifat Atributif
Verba (bukan frasa) juga bersifat atributif, yaitu memberikan keterangan tambahan pada nomina. Dengan demikian sifat itu ada pada tataran frasa.
a. Anjing tidur tak boleh diganggu.
b. Emosi tak terkendali sangat merugikan.
Verba (bukan frasa) juga bersifat atributif, yaitu memberikan keterangan tambahan pada nomina. Dengan demikian sifat itu ada pada tataran frasa.
a. Anjing tidur tak boleh diganggu.
b. Emosi tak terkendali sangat merugikan.
7. Verba yang Bersifat Apositif
Verba dan perluasannya dapat juga bersifat apositif, yaitu sebagai keterangan yang ditambhakan atau diselipkan.
a. Pekerjaannya, mengajar, sudah ditanggalkan.
b. Sumber pencarian penduduk desa itu, bertani dan berternak, sudah lumayan.
E. DAFTAR CONTOH DASAR VERBA DAN VERBA
1. Dasar terikat
acu dadak
ajar duyun
benam gores
Verba dan perluasannya dapat juga bersifat apositif, yaitu sebagai keterangan yang ditambhakan atau diselipkan.
a. Pekerjaannya, mengajar, sudah ditanggalkan.
b. Sumber pencarian penduduk desa itu, bertani dan berternak, sudah lumayan.
E. DAFTAR CONTOH DASAR VERBA DAN VERBA
1. Dasar terikat
acu dadak
ajar duyun
benam gores
2. Verba asal
ada lalu
bangkit masuk
gugur lulus
3. Verba turunan
berdasarkan mempertanyakan
dibebani terpenuhi
dibebaskan terlupakan
v LEKSEM
Adalah
semua bentuk kata yang diasosiasikan dan berada dalam pemakaian secara umum.
Ciri leksem munurut
Kridalaksana:
1. satuan terkecil dalam leksikon
2. satuan yang berperan sebagai input
dalam proses morfologis
3. bahan baku dalam proses morfologis
4. unsur yang diketahui dari bentuk yang
adanya setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang
lepas dari morfem afiks
5. bentuk yang tidak tergolong proleksem
atau partikel
Sedangkan
menurut Lyons, leksem
adalah unit-unit abstrak yang terjadi dalam bentuk-bentuk infeksional yang
berbeda-beda, menurut kaidah-kaidah sintaksis.
menurut Matthews, leksem
adalah satuan leksikal abstrak terkecil –baik simple, ubahan (derived),
maupun kompleks—dari bentuk-bentuk kata dalam paradigma (infleksional).
v PEMBENTUKAN KATA
Afikasasi
1. Simulfiks
adalah afiks yang perwujudan segmentalnya dileburkan pada bentuk dasar. Contoh
: ngopi. (Kridalaksana, 1996:29). Sedangkan menurut Ramlan simulfiks
dimaknai sebagai afiks terpisah : ke-an.
2. Sirkumfiks
adalah kasus sebuah prefiks dan sebuah sufiks melekat bersama-sama atau
serentak pada bentuk dasar.
3. Superfikas/suprafiks
adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental. Contoh : suwe-suwi.
Perbedaan maknanya ditentukan berdasarkan perubahan bunyi vokal dan panjang
pendeknya vokal diucapkan.
4. Interfiks
adalah jenis infiks yang muncul di antara dua unsur. Contoh : Indonesianologi.
5. Tranfiks
adalah jenis afiks yang terselip di sepanjang bentuk dasar yang menyebabkan
bentuk dasar menjadi terbelah-belah. Contoh : (Bahasa Arab) k-t-b katab
kitab katib.
Partikelisasi
Adalah kata yang dibentuk dengan memberikan penambahan partikel (-lah, -kah).
Klitikisasi
Adalah kata yang dibentuk dengan memberikan penambahan klitik (-ku, -mu, -nya).
Proleksemisasi
Adalah kata yang dibentuk dengan
memberikan penambahan proleksem (swa-, panca-).
Reduplikasi
Lihat halaman 3 (kata ulang) dan halaman
(4) reduplikasi.
Ditinjau
dari bagian yang diulang, reduplikasi dibedakan atas :
1.
pengulangan akar (dwilingga)
: rumah-rumah
2.
pengulangan awal (dwipurwa)
: lelaki
3.
pengulangan akhir (dwiwasana)
: manari-nari
4.
pengulangan yang disertai perubahan bunyi (dwilingga salin swara)
: bolak-balik
5.
trilingga : dag-dig-dug
Selain
itu, reduplikasi juga dapat diklasifikasikan dalam
1.
reduplikasi fonologis : dada, pipi, kuku
2.
reduplikasi morfologis : rumah-rumah
3.
reduplikasi sintaksis :
jangan-jangan
4.
reduplikasi idiomatis : kuda-kuda,
mata-mata
Dilihat
dari proses pembentukannya :
1.
pengulangan terhadap bentuk dasar
: pohon-pohon
2.
pengulangan terhadap bentuk
berafiks
: berbatu-batu
3.
afiksasi terhadp bentuk ulang
: tali-temali
4.
pengulangan terhadap bentuk
akronim
: parpol-parpol
5.
pengulangan terhadap kata
majemuk :
mata air-mata air
Abreviasi/penyingkatan/akronimisasi
Adalah pembentukan kata dengan menggabungkan bagian dari beberapa kata.
Hasilnya antara lain:
1. singkatan (contoh : dll., TU)
2. akronim (contoh : orba, orla)
3. pemenggalan (contoh : bu, pak, dik)
4. lambang (contoh : Na dari natrium, Ne dari neon)
5. kontraksi (contoh : tak)
Makna reduplikasi dapat berupa :
1. intensif/sungguh-sungguh
: bongkar-bongkar
2. deintensif/sambil
lalu/dengan seenaknya : tidur-tiduran
3. iteratif/berkali-kali/frekuentif
: keliling-keliling
4. resiprokal/berbalasan
: cubit-cubitan
5. banyak
: kaya-kaya
6. berjenis-jenis
: sayur-mayur
7. kepastian
: sehat-sehat
8. ketidakpastian :
untung-untungan
9. yang dianggap :
leluhur
10. tidak
tentu
: siapa-siapa
11. bertindak
seperti
: bapak-bapak
12. menyerupai/tiruan
: langit-langit
13. meremehkan
: dia-dia
14. dramatisasi
: kami-kami
15. agak :
kekanak-kanakan
16. intensitas
kualitatif/paling
: sekuat-kuatnya
17. kolektif/kumpulan
: ketiga-tiganya
18. ‘banyak’ yang
diterangkan
: pandai-pandai
Komponisasi
Adalah pembentukan leksem baru dengan
penggabungan dua leksem atau lebih.
Leksem + leksem komponisasi kata
majemuk.
Kompositum
1. Non idiomatis
Makan
masih sama dengan makna masing-masing komponennya.
Contoh
: adu lari, akal budi.
2. Idiomatis
Maknanya
tidak sama dengan makna masing-masing komponennya.
Contoh
: banting tulang, buah bibir.
3. Semi-idiomatis
Salah
satu komponennya bermakna khas dan hanya pada konstruksi itu saja.
Contoh
: anak angkat.
Jenis Kompositum :
1. Subordinatif substantif
Adalah
kompositum yang tidak berafiks atau tidak berpartikel di antara kedua unsurnya.
Contoh
: anak sungai.
2. Subordinatif atributif
Adalah
kompositum ini sebagian besar juga berfungsi secara prediktif dan sebagai
satuan maknanya tergantung dari nomina di luar kompositum.
Contoh
: bebas becak.
3. Koordinatif
Adalah
yang hubungan antarunsurnya bersifat koordinatif.
Contoh
: gegap gempita.
4.
Berproleksem
Adalah
kompositium yang salah satu unsurnya berupa proleksem.
Contoh
: asusila.
Derivasi balik
Adalah proses morfologis/pembentukan kata yang menyebabkan terjadinya perubahan
kosakata.
Derivasi zero
Adalah proses morfologis yang mengubah
status sebuah leksem sebagai input menjadi kata tunggal sebagai output tanpa
perubahan bentuk.
Metanalisis
Adalah sutau peristiwa terjadi bentuk
baru melalui proses pemenggalan yang tidak dapat dijelaskan secara historis.
Karena, peristiwa ini terjadi atau timbul di luar analisis. Contoh : pakat
sepakat.
Morfofonemik
Adalah peristiwa fonologis yang terjadi
karena pertemuan morfem dengan morfem (dalam bahasa Indonesia, ialah pertemuan
morfem dasar dan morfem afiks)
Jenis proses morfofonemik:
1. Pemunculan
fonem
2. Pengekalan
fonem
3. Pemunculan
fonem dan pengekalan fonem
4. Pergeseran
fonem
5. Perubahan dan
pergeseran
fonem
6. Pelesapan
fonem
7. Peluluhan
fonem
8. Penyisipan
fonem secara
historis
9. Pemunculan
fonem berdasarkan pola bahasa asing
10. Variasi fonem bahasa
sumber
B. TEORI MORFOLOGIS TENTANG GEJALA MORFOFONOLOGI
a. M. Ramlan
Ramlan
menyebut morfofonologi sebagai morfofonemik.
Morfofonemik
mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan
morfem dengan morfem lain (Ramlan, 1987: 83).
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga
proses morfofonemis yaitu :
1) Proses
perubahan fonem
Proses perubahan fonem terjadi sebagai
akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya.
Fonem /N/ pada kedua morfem itu berubah menjadi /m, n, ñ, ŋ/
2) Proses
penambahan fonem
Proses penambahan fonem terjadi sebagai
akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya yang
terdiri atas satu suku.
3) Proses
hilangnya fonem
Pertemuan morfem meN- dan peN-
dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l, r, y, w, dan nasal/,
mengakibatkan fonem /N/ hilang.
Pertemuan morfem ber-, per-, dan ter-
dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/ dan bentuk dasar yang suku
pertamanya berakhir dengan /r/, mengakibatkan fonem /r/ hilang.
Pertemuan morfem meN- dan peN-
dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem /p, t, s, k/, mengakibatkan
fonem-fonem itu hilang.
b.
Samsuri
Samsuri
(1981: 201) menyatakan bahwa morfofonemik adalah studi tentang
perubahan-perubahan pada fonem-fonem yang disebabkan oleh hubungan dua morfem
atau lebih serta pemberian tanda-tandanya.
Morfofonemik digolongkaan menjadi enam
jenis yaitu asimilasi, disimilasi, metatesis, penambahan, pengguguran, dan
peloncatan.
1) Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan nasal menjadi
nasal sealat yang mengikutinya. Misalnya, perubahan-perubahan fonem nasal yang
berujud /m/ di depan fonem /b/, /n/ di depan fonem /d/, /n/ di depan fonem /j/,
dan /n/ di depan fonem /g/.
2) Disimilasi
Disimilasi merupakan kebalikan dari
asimilasi. Misalnya, fonem /m/ tidak diikuti /p/ melainkan /t/, fonem /n/ tidak
diikuti oleh /t/ melainkan /p/ dst.
3) Metatesis
Pembalikan susunan fonem-fonem suatu
morfem terjadi bila morfem mengadakan kombinasi atau urutan dengan morfem yang
lain. Misalnya :
4) Penambahan
fonem
Penambahan fonem jika suatu morfem
berhubungan dengan morfem yang lain.
5) Pengguguran
fonem
Pengguguran fonem jika suatu morfem
berhubungan dengan morfem yang lain.
6) Perubahan
fonem-fonem prosodi atau peloncatan
Perubahan ini terjadi pada susunan
fonem-fonem prosodi yang disebabkan oleh hubungan morfem yang satu dengan yang
lain. Perubahan ini dipengaruhi oleh peloncatan tekanan, nada dan panjang.
Simpulan :
Gejala
morfofonologi dalam bahasa Indonesia antara lain proses perubahan fonem atau
asimilasi, proses penambahan fonem, proses penghilangan fonem atau pengguguran
fonem, disimilasi, metatesis, dan peloncatan fonem.
Proses
morfologis dalam bahasa Indonesia meliputi afiksasi, reduplikasi, abreviasi,
dan komposisi. Dalam tugas kali ini, saya akan membandingkan pengertian
komposisi serta beberapa jenis komposisi menurut enam ahli. Saya menggunakan
tujuh buku sebagai sumber dan akan membandingkan penjelasan mengenai komposisi
dalam buku-buku tersebut. Dalam bahasa Indonesia, pendapat para ahli mengenai
komposisi sangat beragam dan ada juga ahli yang bahkan masih meragukan bahwa
dalam bahasa Indonesia memang ada komposisi. Jadi, di bawah ini akan saya
uraikan perbandingan pendapat-pendapat tersebut.
Ciri-ciri yang membedakan kata
majemuk dari frase:
1. Ketaktersisipan, yaitu komponen-komponen kompositum
tersebut tidak dapat disisipi apa pun. Harimurti member contoh kata alat
negara. Kata ini masih bisa disisipi partikel dari sehingga menjadi alat
dari negara. Jadi, kate ini bukan kata majemuk, melainkan frase.
2. Ketakterluasan, yaitu komponen-komponen kompositu
tersebut tidak dapat diafiksasi dan dimodifikasi. Jika terjadi perluasan, itu
pun hanya mungkin untuk semua komponen sekaligus. Contoh yang diberikan adalah kereta
api yang dapat dimodifikasi menjadi perkeretaapian.
3. Ketakterbalikan, yaitu komponen-komponen tersebut
tidak dapat dipertukarkan. Menurutnya, bapak ibu, pulang pergi, dan lebih
kurang bukanlah komposisi melainkan frase koordinatif karena dapat
dibalikkan. Arif bijaksana, hutan belantara, dan bujuk rayu barulah
disebut kompositum karena tidak dapat dibalikkan.
Jadi,
menurut Harimurti, jika tidak memenuhi ciri-ciri di atas, bentuk tersebut bukan
kompositum, melainkan frase.
Banyak pendapat mengenai kompositum. Harimurti menyebutkan
bahwa ada variasi dalam kata majemuk, yaitu kata majemuk kompleks seperti memukul
mundur, menembak mati, dan bersatu padu, dan kata majemuk simpleks
seperti anak sungai, lemah semangat, dan daya juang. Oleh karena
itu, Karimurti membuat bagan kata majemuk yang hasilnya diuraikan seperti di
bawah ini:
Kata majemuk leksem tunggal + kata berafiks
Contoh: lomba mengarang
Salah asuhan
Kata majemuk kata bereduplikasi + leksem tunggal
Contoh: keras-keras lemah
Tua-tua keladi
Kata majemuk leksem tunggal + frase
Contoh: mabuk bungan raya
Kata majemuk kompositum dalam kompositum
Contoh: tanah tumpah darah
Menurut Harimurti, kompositum juga harus dibedakan dari
idiom dan semi-idiom. Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan
makna komponen-komponennya. Semi-idiom ialah konstruksi yang salah satu
komponennya mengandung makna khas yang ada dalam konstruksi itu saja. Konsep
idiom dan semi-isiom ini juga dapat terjadi dalam kompositu. Karena itu,
Harimurti memberikan contoh-contoh yang dapat membantu kita membedakan
kompositum idiomatic dan semi-idiomatis.
Kompositum non-idiomatis, contohnya: adu lari, akal budi,
alih tugas, anak cucu, dan jual beli. Kompositum semi idiomatis,
contohnya: anak angkat, banting harga, gatal tangan, dan harga diri.
Kompositum idiomatis contohnya: banting tulang, buah bibir, bulan madu,
jantung hati, dan darah daging. Harimurti
lalu melakukan pengklasifikasian kompositum menjadi lima golongan:
1.
Kompositum subordinatif substantif (tipe A)
2.
Kompositum subordinatif atributif (tipe B)
3.
Kompositum koordinatif (tipe C)
4.
Kompositum berproleksem (tipe D)
5.
Kompositum sintetis (tipe E)
Contoh
yang diberikan Harimurti untuk tipe-tipe di atas antara lain sebagai berikut:
a) Tipe A: anak air, bibir cawan, buah hati, kepala
keluarga, mata panah, perut bumi, suku kata, dan tangan baju.
b) Tipe B: banyak akal, banyak bicara, bebas tugas, berat
hati, gelap hati, hilang akal, campur tangan, buruk hati, datang bulan, mati
rasa, naik gaji, kurang darah, lepas tangan, panjang umur, ringan tangan, patah
tulang, senang hati, tipis harapan, tunarungu, dan tebal muka.
c) Tipe C: adat istiadat, aman sejahtera, panjang lebar,
besar kecil, ayah ibu, basah kuyup, anak cucu, dan ambil alih. Di
sini disebutkan contoh ayah ibuyang berpola ‘a pria, b wanita’.
Jika dibandingkan dengan bapak ibu, sebenarnya contoh ini tidak
berbeda, namun konteks kalimatlah yang membedakan kedua kata ini sebagai
kompositum dan frase.
d) Tipe D: asusila, bilingualisme, metafisika,
makro-ekonomi, dan semifinal.
e) Tipe E: geofisika, sentimeter, dan psikologi.
Dalam
tabelnya di bagian akhir, Harimurti membagi kompositum subordinatif menjadi
bagian yang lebih khusus, yaitu:
a) Subordinatif bebas:
Idiom kutu buku dan kambing hitam
Non-idiom basah kuyup dan peran serta
b) Subordinatif terikat:
Idiom banting tulang dan darah dingin
Non-idiom limpah ruah dan salah guna
c) Kompositum yang mengandung pengulangan satu padu,
hina dina, kaya raya, dan adat istiadat.
Begitu
juga dengan kompositum koordinatif, Harimurti membaginya menjadi:
a) Koordinatif bebas:
Idiom tanah air dan darah daging
Non-idiom sunyi senyap dan cantik jelita
b)Koordinatif terikat:
Idiom tidak ada contoh
Non-idiom sebar luas, kembang biak, lipat
ganda
c)
kompositum berproleksem amoral, antar-bangsa, hipotaksis, dan paranormal.
Jadi, Harimurti membedakan kompositum dan frase melalui
proses pembentukannya dan unsur-unsur pembentuknya. Karena itu, dalam buku
Harimurti, terdapat istilah paduan leksem, berbeda dengan ahli lainnya yang
hanya menyebutkan komposisi atau kata majemuk. Konsep kata mejemuk dalam buku
Harimurti dengan buku ahli lainnya sebenarnya tidak begitu berbeda. Marilah
kita lihat komposisi dalam buku yang lain.
Pengertian komposisi atau pemajemukan menurut Muslich ialah
bergabungnya dua morfem dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang
baru. Hasil proses pemajemukan disebut bentuk majemuk. Dalam hal ini, Muslich
berbeda pendapat dengan Harimurti yang menyebutkan bahwa hasil dari proses
pemajemukan disebut kompositum yang merupakan calon kata majemuk. Dengan kata
lain, Harimurti membedakan kata majemuk dengan kompositum, sedangkan Muslich
tidak membedakannya. Namun, muslich menyebut kata majemuk sebagai bentuk
majemuk.
Perbedaan antara frase dan bentuk majemuk menurut Muslich
adalah konstruksi katanya. Muslich menunjukkan bahwa suatu konstruksi kata
benda dan kata kerja, contoh: adik tidur, memiliki dua kemungkinan,
yaitu fungsi predikatif dan fungsi atributif. Fungsi predikatif terjadi apabila
frasa tersebut dapat disisipi bentuk yang menyatakan aspek (misalnya akan,
telah, dan sedang). Fungsi atributif dapat disisipi bentuk yang
atau tidak. Sebagai contoh, adik tidur yang dapat disisipi
(menjadi adik yang tidur) merupakan frase dan kamar tidur (tidak
dapat disisipi) merupakan bentuk majemuk. Kemudian, konstruksi kata
benda, contoh: kaki tangan memiliki fungsi posesif atau koordinatif.
Fungsi posesif tersebut ditandai dengan adanya bentuk –nya atau kata milik
yang dapat disisipi, sedangkan fungsi koordinatif dapat disisipi bentuk dan.
Berbeda halnya dengan kata majemuk yang tidak dapat disisipi
bentuk atau unsur lain seperti yang terdapat dalam frasa. Unsur tersebut
jika diberi afiks dianggap sebagai satu kesatuan bentuk. Dilihat dari
sifat unsur, bentuk majemuk umumnya belum pernah mengalami proses morfologis,
contoh: kamar kerja dan terima kasih. Lalu, konstruksinya juga
tidak dapat dibalik, seperti kamar mandi tidak bisa dibalik menjadi mandi
kamar. Karena itu, menurut Muslich, dalam bahasa Indonesia memang terdapat
bentuk majemuk karena secara konstruktif bentuk majemuk ini dapat dibedakan
dengan frase.
Menurut Muslich, bentuk-bentuk majemuk tertentu mudah sekali
dikenalsebab artinya memang benar-benar “berbeda”, atau sama sekali tak
berhubungan dengan arti dari setiap unsur pembentuknya (2009:60). Contoh bentuk
ini adalah kambing hitam, meja hijau, dan gulung tikar. Bentuk-bentuk
inilah yang dalam buku Harimurti disebut kompositum idiomatis. Bentuk-bentuk
lain yang dianggap sebagai kata majemuk antara lain pisang goreng dan
singkong rebus.
Muslich membagi tiga jenis bentuk majemuk berdasarkan
hubungan unsur0unsur pendukungnya:
(1) Bentuk majemuk unsur pertama diterangkan (D) oleh unsur
kedua (M);
(2) Bentuk majemuk yang unsur pertama menerangkan (M) unsur
kedua (D);
(3) Bentuk majemuk yang unsur-unsurnya tidak saling
menerangkan, tetapi hanya merupakan rangkaian yang sejajar (kopulatif), biasa
disebut dwandwa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kompositum
atau bentuk majemuk adalah penggabungan dua bentuk kata atau lebih. Bentuk ini
terdiri atas verba majemuk dan verba nominal. Verba majemuk adalah deret dua
kata atau lebih menghasilkan makna yang masih dapat diruntut dari makna
komponennya yang tergabung (Moeliono, 2001: 22).
Verba
majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses penggabungan satu kata
dengan kata yang lain. Dalam verba majemuk, penjejeran dua kata atau lebih itu
menumbuhkan makna yang secara langsung masih bisa ditelusuri dari makna
masing-masing kata yang tergabung.
Jenis Kompositum :
1. Subordinatif substantif
Adalah
kompositum yang tidak berafiks atau tidak berpartikel di antara kedua unsurnya.
Contoh
: anak sungai.
2. Subordinatif atributif
Adalah
kompositum ini sebagian besar juga berfungsi secara prediktif dan sebagai
satuan maknanya tergantung dari nomina di luar kompositum.
Contoh
: bebas becak.
3. Koordinatif
Adalah
yang hubungan antarunsurnya bersifat koordinatif.
Contoh
: gegap gempita.
4.
Berproleksem
Adalah
kompositium yang salah satu unsurnya berupa proleksem.
Contoh
: asusila.
B. Saran
Makalah kami ini masih jauh dari kata sempurna untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari para pembaca sekalian demi kesempurnaan
makalah kami ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal, dan Junaiyah H.M.
2009. Morfologi, Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: PT Gramedia
Widiarsarana Indonesia.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi
Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1987.
Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
________. 2009. Pembentukan
Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, Masnur. 2009. Tata
Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta:
Bumi Aksara.
Parera, Jos Daniel. 2007. Bahasa
Morfologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan, M. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif.
Yogyakarta: C.V Karyono.
0 komentar:
Posting Komentar