Rabu, 07 Mei 2014

makalah tentang verba dan kompositum



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Kompositum atau bentuk majemuk adalah penggabungan dua bentuk kata atau lebih. Bentuk ini terdiri atas verba majemuk dan verba nominal. Verba majemuk adalah deret dua kata atau lebih menghasilkan makna yang masih dapat diruntut dari makna komponennya yang tergabung (Moeliono, 2001: 22).
            Kata terjun dan kata payung dapat digabungkan menjadi terjung payung. Makna perpaduan ini masih dapat ditelusuri dari makna kata terjun dan kata payung, yaitu melakukan terjun dari udara dengan memakai semacam payung. Hasil perpanduan dua verba seperti ini dinamakan verba majemuk. Penanda lain verba majemuk adalah urutannya tetap dan tidak dapat dipertukarkan tempatnya.
Contoh berikut dapat dilihat di bawah ini.
1) terjun payung tidak dapat menjadi payung terjun
2) siap tempur tidak dapat menjadi tempur siap
3) tatap muka tidak dapat menjadi muka tatap
            Verba nominal pada dasarnya mempunyai ciri yang sama dengan verba majemuk. Suami-istri merupakan verba nominal karena maknanya masih dapat diuraikan dari makna kata suami dan istri. Hal ini sangat jelas berbeda dengan idiom. Idiom juga terbentuk melalui proses penggabungan beberapa kata. Perbedaan antara verba majemuk dan nomina majemuk dengan idiom terdapat pada penulusuran makna kata yang membentuknya. Jika makna verbal majemuk dan nominal majemuk masing dapat diuraikan, makna idiom tidak dapat diuraikan secara langsung dari masing-masing makna yang tergabung. Kata naik dapat digabungkan dengan darah sehingga terbentuk naik darah. Perpaduan dua kata ini menimbulkan makna baru dan tidak ada hubungannya dengan darah yang naik.
            Berdasarkan panjang-pendeknya, verba majemuk dan verba nominal berbeda dengan idiom. Perpaduan bentuk majemuk pada umumnya terdiri atas dua kata. Tatap muka, bunuh diri, dan maju mundur merupakan contoh verba majemuk dan uang pangkal, anak cucu, dan cetak coba merupakan contoh verba nominal. Akan tetapi, perpaduan pada bentuk idiom dapat terdiri dari dua kata atau lebih. Kata bertepuk sebelah tangan, bermain api, dan memancing di air keruh adalah bentuk-bentuk idiom.



A.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar nelakang diatas diharapkan kita akan  mengetahui tentang  :
 a. Verba Majemuk 
        b.      Jenis –Jenis Kompositum

BAB II
PEMBAHASAN

A.    VERBA MAJEMUK
            Verba majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses penggabungan satu kata dengan kata yang lain. Dalam verba majemuk, penjejeran dua kata atau lebih itu menumbuhkan makna yang secara langsung masih bisa ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung.
            Idiom juga merupakan perpaduan dua kata atau lebih, tetapi makna dari makna-makna masing-masing kata yang tergabung. Kata naik misalnya, dapat dipadukan dengan kata darah sehingga menjadi naik darah.
Kalau dipakai formula untuk membedakan idiom dengan verba majemuk, maka perbedaan itu adalah:
Idiom : A + B menimbulkan makna C
Verba majemuk : A + B menimbulkan makna AB
            Salah satu ciri lain dari verba majemuk adalah ahwa urutan komponennya seolah-olah telah menjadi satu sehingga tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Karena keeratan hubungannya verba majemuk juga tidak dapat dipisahkan oleh kata lain. Bentuk *temu wicara, *siap guna tempur, dan *tatap dengan muka.
            Verba majemuk juga dibedakan dari idiom panjang-pendeknya bentuk. Biasanya verba majemuk pendek dan umumnya terbatas pada dua kata.
Verba majemuk harus pula dibedakan dari frasa verba. Frasa verba juga terdiri dari dua kata atau lebih. Berdasarkan bentuk morfologisnya, verba majemuk terbagiatas (1) verba majemuk dasar, (2) verba majemuk berafiks, dan (3) verba majemuk berulang. Berdasarkan komponen-komponennya, verba majemuk terbagi atas (i) verba majemuk bertingkat, dan (ii) verba majemuk setara. Verba majemuk bertingkat adalah verba majemuk yang salah satu komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat jelas apabila apabila verba majemuk itu diparafrasekan. Contohnya:
jumpa pers                   = jumpa dengan pers
haus kekuasaan           = haus akan kekuasaan
            verba majemuk setara ialah verba majemuk yang kedua komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat pada parafrase sebagai berikut:
timbul tenggelam         = timbul dan tenggelam
jatuh bangun               = jatuh dan bangun
            Jelaslah bahwa bukan satu komponen yang menjadi inti, tetapi kedua-duany. Dari parafrase tersebut terlihat bahwa hubungan kedua komponen bersifat koordinatif.
1. Verba Majeuk Dasar
Yang dimaksud dengan verba majemuk dasar ialah verba majemukyang tidak verafiks dan tidak mengandung komponen berulang, serta dapat berdiri sendiri dalam frase, klausa, atau kalimat. Ada tiga pola verba majemuk dasar yang paling umum yaitu (a) komponen pertama berupa verba dasar dan komponen kedua berupa nomina dasar, seperti mabuk laut; (b) komponen pertama berupa adjectiva dan komponen kedua berupa verba, sepert kurang makan; (c) kedua komponen berupa verba dasar seperti hancur lebur.
2. Verba Majemuk Berafiks
Verba majemuk berafiks ialah verba majemuk yang mengandung afiks tertentu. Verba majemuk berafiks dapat dibagi menjadi tiga kelomok.
a.       Verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam kalimat disebut verba majemuk terikat.
b.      Verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang dapat berdiri sendiri disebut verba majemuk bebas.
c.       Verba majemuk berafiks yang komponennya telah berafiks lebih dahulu
3. Verba majemuk berulang
            Verba majemuk dalam bahasa Indonesia dapat direduplikasi jika kemajemukannya bertingkat dan jika intinya adalah bentuk verba yang dapat direduplikasikan pula. Hanya komponen verba yang mengalami reduplikasikan pula.

Contoh:
Naik pangkat naik-naik pangkat
Pulang kampung pulang-pulang kampung
Dari contoh diatas tampaklah bahwa hanya komponen verba yang mengalami reduplikasi.

B. HUBUNGAN KETRANSITIFAN DENGAN AFIKSASI
Ada keterkaitan antara ketransitifan dengan afiksasi. Berikut ini didaftarkan kaidah mengenai hubungan tersebut.
1. Verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiksasi dapat bersifat transitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: makan, minum, mandi, tidur.
2. Verba yang bersifat ber- bersifat tak transitif. Contoh: berjalan, berjemur, berdasarkan, bermandikan.
3. Verba yang berafiks meng- tanpa sufiks dapat bersifat tarnsitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: membeli, membawa, mendarat, merakyat.
4. Semua verba yang bersufiks –i, kecuali verba tertentu sepertimenyerupai dan memadai, bersifat transitif. Contoh: merestui, memukuli, menugasi, mendekati.
5. Semua verba yang bersufiks –kan dan berprefiks meng-, kecuali merupakan, selalu bersifat transitif. Contoh: mengerjakan, membelikan, menyerahkan.
6. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba taktransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan dan –i merupakan verba ekatransitif.
7. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba ekatransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan sering tergolong verba dwitransitif.
8. Jikan bentuk [meng-+ Dasar] adalah verba ekatransitif, maka pasangannya dengan akhiran –in umumnya tetap ekatransitif.

C. FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA
Verba dapat diperluas dengan menambahkan unsur-unsur tertentu, tetapi hasil perluasan ini masih tetap ada pada tataran sintaksis yang sama.
1. Pengertian Farasa Verbal
Farasa verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi bentuk ini tidak merupakan klausa. Perlu ditegaskan bahwa unsur pengisi subjek, objek, dan pelengkap tidak termasuk dalam frasa verbal.
a. Kesehatannya sudah membaik.
b. Pesawat itu akan mendarat.
c. Anak-anak itu tidak harus pergi sekarang.
Kontruksi yang dicetak miring adalah frasa verbal.
2. Jenis-jenis farasa verbal
Dilihat dari konstruksinya, frasa verbal terdiri atas verba inti dan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba tersebut.
a. Frasa Endosentrik Atribut
Frasa verbal yang endosentrik atribut terdiri atas inti verba dan pewatas yang ditempatkan dimuka atau belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang dibelakang dinamakan pewatas belakang.
b. Frasa Endosentrik Koordinatif
Wujud frasa endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Tentu saja, sebagai verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan dan pewatas belakang.

D. FUNGSI VERBA DAN FRASA VERBAL
Jika ditinjau dari segi fungsinya, verba (maupun frasa verbal) terutama menduduki fungsi predikat. Walaupun demikian verba dapat pula menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, dan keterangan.
1. Verba dan Frasa Verbal sebagai Predikat
Contoh:
a. kaca jendela itu pecah.
b. Orang tuanya bertani.
c. Kedua sahabat itu berpeluk-pelukan

2. Verba dan Frasa Verbal sebagai Subjek
Contoh:
a. Membaca telah memperluasa wawasan fikirannya.
b. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.

3. Verba dan Frasa Verbal sebagai Objek
Contoh:
a. Dia sedang mengajarkan menari pada adik saya.
b. Mereka menekuni membaca Quran pada pagi hari.

4. Verba dan Frasa Verbal sebagai Pelengkap
Contoh:
a. Dia sudah berhenti merokok.
b. Mertuanya merasa tidak bersalah.
5. Verba dan Frasa Verbal sebagai Keterangan
Contoh:
a. Ibu sudah pergi berbelanja.
b. Paman datang berkunjung minggu yang lalu.

6. Verba yang Bersifat Atributif
Verba (bukan frasa) juga bersifat atributif, yaitu memberikan keterangan tambahan pada nomina. Dengan demikian sifat itu ada pada tataran frasa.
a. Anjing tidur tak boleh diganggu.
b. Emosi tak terkendali sangat merugikan.

7. Verba yang Bersifat Apositif
Verba dan perluasannya dapat juga bersifat apositif, yaitu sebagai keterangan yang ditambhakan atau diselipkan.
a. Pekerjaannya, mengajar, sudah ditanggalkan.
b. Sumber pencarian penduduk desa itu, bertani dan berternak, sudah lumayan.

E. DAFTAR CONTOH DASAR VERBA DAN VERBA
1. Dasar terikat
acu dadak
ajar duyun
benam gores

2. Verba asal
ada lalu
bangkit masuk
gugur lulus

3. Verba turunan
berdasarkan mempertanyakan
dibebani terpenuhi
dibebaskan terlupakan

v  LEKSEM

Adalah semua bentuk kata yang diasosiasikan dan berada dalam pemakaian secara umum.
Ciri leksem munurut Kridalaksana:
1. satuan terkecil dalam leksikon
2. satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis
3. bahan baku dalam proses morfologis
4. unsur yang diketahui dari bentuk yang adanya setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari morfem afiks
5. bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel
Sedangkan
   menurut Lyons, leksem adalah unit-unit abstrak yang terjadi dalam bentuk-bentuk infeksional yang berbeda-beda, menurut kaidah-kaidah sintaksis.
   menurut Matthews, leksem adalah satuan leksikal abstrak terkecil –baik simple, ubahan (derived), maupun kompleks—dari bentuk-bentuk kata dalam paradigma (infleksional).

v  PEMBENTUKAN KATA

Afikasasi

1.      Simulfiks adalah afiks yang perwujudan segmentalnya dileburkan pada bentuk dasar. Contoh : ngopi. (Kridalaksana, 1996:29). Sedangkan menurut Ramlan simulfiks dimaknai sebagai afiks terpisah : ke-an.
2.      Sirkumfiks adalah kasus sebuah prefiks dan sebuah sufiks melekat bersama-sama atau serentak pada bentuk dasar.
3.      Superfikas/suprafiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental. Contoh : suwe-suwi. Perbedaan maknanya ditentukan berdasarkan perubahan bunyi vokal dan panjang pendeknya vokal diucapkan.
4.      Interfiks adalah jenis infiks yang muncul di antara dua unsur. Contoh : Indonesianologi.
5.      Tranfiks adalah jenis afiks yang terselip di sepanjang bentuk dasar yang menyebabkan bentuk dasar menjadi terbelah-belah. Contoh : (Bahasa Arab) k-t-b  katab  kitab  katib.
               

Partikelisasi

        Adalah kata yang dibentuk dengan memberikan penambahan partikel (-lah, -kah).

Klitikisasi

      Adalah kata yang dibentuk dengan memberikan penambahan klitik (-ku, -mu, -nya).

Proleksemisasi

     Adalah kata yang dibentuk dengan memberikan penambahan proleksem (swa-, panca-).





Reduplikasi
Lihat halaman 3 (kata ulang) dan halaman (4) reduplikasi.
Ditinjau dari bagian yang diulang, reduplikasi dibedakan atas :
1. pengulangan akar (dwilingga)                                                                       : rumah-rumah
2. pengulangan awal (dwipurwa)                                                                      : lelaki
3. pengulangan akhir (dwiwasana)                                                                    : manari-nari
4. pengulangan yang disertai perubahan bunyi (dwilingga salin swara)         : bolak-balik
5. trilingga                                                                                                       : dag-dig-dug

Selain itu, reduplikasi juga dapat diklasifikasikan dalam
1. reduplikasi fonologis       : dada, pipi, kuku
2. reduplikasi morfologis     : rumah-rumah
3. reduplikasi sintaksis         : jangan-jangan
4. reduplikasi idiomatis        : kuda-kuda, mata-mata

Dilihat dari proses pembentukannya :
1. pengulangan terhadap bentuk dasar                              : pohon-pohon
2. pengulangan terhadap bentuk berafiks                          : berbatu-batu
3. afiksasi terhadp bentuk ulang                                         : tali-temali
4. pengulangan terhadap bentuk akronim                          : parpol-parpol
5. pengulangan terhadap kata majemuk                              : mata air-mata air

Abreviasi/penyingkatan/akronimisasi

            Adalah pembentukan kata dengan menggabungkan bagian dari beberapa kata. Hasilnya antara lain:
                1. singkatan (contoh : dll., TU)
                2. akronim (contoh : orba, orla)
                3. pemenggalan (contoh : bu, pak, dik)
                4. lambang (contoh : Na dari natrium, Ne dari neon)
                5. kontraksi (contoh : tak)

        Makna reduplikasi dapat berupa :
1.     intensif/sungguh-sungguh                           : bongkar-bongkar
2.     deintensif/sambil lalu/dengan seenaknya : tidur-tiduran
3.     iteratif/berkali-kali/frekuentif                       : keliling-keliling
4.     resiprokal/berbalasan                                  : cubit-cubitan
5.     banyak                                                            : kaya-kaya
6.     berjenis-jenis                                                 : sayur-mayur
7.     kepastian                                                       : sehat-sehat
8.     ketidakpastian                                               : untung-untungan
9.     yang dianggap                                               : leluhur
10.   tidak tentu                                                      : siapa-siapa
11.   bertindak seperti                                           : bapak-bapak
12.   menyerupai/tiruan                                         : langit-langit
13.   meremehkan                                                   : dia-dia
14.   dramatisasi                                                    : kami-kami
15.   agak                                                                : kekanak-kanakan
16.   intensitas kualitatif/paling                           : sekuat-kuatnya
17.   kolektif/kumpulan                                         : ketiga-tiganya
18.   ‘banyak’  yang diterangkan                           : pandai-pandai

Komponisasi
Adalah pembentukan leksem baru dengan penggabungan dua leksem atau lebih.
Leksem + leksem  komponisasi  kata majemuk.

Kompositum
1.     Non idiomatis
Makan masih sama dengan makna masing-masing komponennya.
Contoh : adu lari, akal budi.
2.     Idiomatis
Maknanya tidak sama dengan makna masing-masing komponennya.
Contoh : banting tulang, buah bibir.
3.     Semi-idiomatis
Salah satu komponennya bermakna khas dan hanya pada konstruksi itu saja.
Contoh : anak angkat.



Jenis Kompositum :
1.     Subordinatif substantif
Adalah kompositum yang tidak berafiks atau tidak berpartikel di antara kedua unsurnya.
Contoh : anak sungai.
2.     Subordinatif atributif
Adalah kompositum ini sebagian besar juga berfungsi secara prediktif dan sebagai satuan maknanya tergantung dari nomina di luar kompositum.
Contoh : bebas becak.
3.     Koordinatif
Adalah yang hubungan antarunsurnya bersifat koordinatif.
Contoh : gegap gempita.
4.     Berproleksem
Adalah kompositium yang salah satu unsurnya berupa proleksem.
Contoh : asusila.

Derivasi balik
   Adalah proses morfologis/pembentukan kata yang menyebabkan terjadinya perubahan kosakata.             

Derivasi zero

Adalah proses morfologis yang mengubah status sebuah leksem sebagai input menjadi kata tunggal sebagai output  tanpa perubahan bentuk.

Metanalisis

Adalah sutau peristiwa terjadi bentuk baru melalui proses pemenggalan yang tidak dapat dijelaskan secara historis. Karena, peristiwa ini terjadi atau timbul di luar analisis. Contoh : pakat  sepakat.

Morfofonemik

Adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem (dalam bahasa Indonesia, ialah pertemuan morfem dasar dan morfem afiks)
Jenis proses morfofonemik:
1.     Pemunculan fonem                                            
2.     Pengekalan fonem                                            
3.     Pemunculan fonem dan pengekalan fonem    
4.     Pergeseran fonem                                            
5.     Perubahan dan pergeseran fonem                  
6.     Pelesapan fonem                                                              
7.     Peluluhan fonem                                                               
8.     Penyisipan fonem secara historis                   
9.     Pemunculan fonem berdasarkan pola bahasa asing
10.   Variasi fonem bahasa sumber
 
B.     TEORI MORFOLOGIS TENTANG GEJALA MORFOFONOLOGI
         a. M. Ramlan
Ramlan menyebut morfofonologi sebagai morfofonemik.
Morfofonemik mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain (Ramlan, 1987: 83).
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfofonemis yaitu :
1)    Proses perubahan fonem
Proses perubahan fonem terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya. Fonem /N/ pada kedua morfem itu berubah menjadi /m, n, ñ, ŋ/
2)    Proses penambahan fonem
Proses penambahan fonem terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri atas satu suku.
3)    Proses hilangnya fonem
Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l, r, y, w, dan nasal/, mengakibatkan fonem /N/ hilang.
Pertemuan morfem ber-, per-, dan ter- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/ dan bentuk dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /r/, mengakibatkan fonem /r/ hilang.
Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem /p, t, s, k/, mengakibatkan fonem-fonem itu hilang.

b. Samsuri
Samsuri (1981: 201) menyatakan bahwa morfofonemik adalah studi tentang perubahan-perubahan pada fonem-fonem yang disebabkan oleh hubungan dua morfem atau lebih serta pemberian tanda-tandanya.
Morfofonemik digolongkaan menjadi enam jenis yaitu asimilasi, disimilasi, metatesis, penambahan, pengguguran, dan peloncatan.
1)    Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan nasal menjadi nasal sealat yang mengikutinya. Misalnya, perubahan-perubahan fonem nasal yang berujud /m/ di depan fonem /b/, /n/ di depan fonem /d/, /n/ di depan fonem /j/, dan /n/ di depan fonem /g/.
2)    Disimilasi
Disimilasi merupakan kebalikan dari asimilasi. Misalnya, fonem /m/ tidak diikuti /p/ melainkan /t/, fonem /n/ tidak diikuti oleh /t/ melainkan /p/ dst.
3)    Metatesis
Pembalikan susunan fonem-fonem suatu morfem terjadi bila morfem mengadakan kombinasi atau urutan dengan morfem yang lain. Misalnya :
4)    Penambahan fonem
Penambahan fonem jika suatu morfem berhubungan dengan morfem yang lain.
5)    Pengguguran fonem
Pengguguran fonem jika suatu morfem berhubungan dengan morfem yang lain.
6)    Perubahan fonem-fonem prosodi atau peloncatan
Perubahan ini terjadi pada susunan fonem-fonem prosodi yang disebabkan oleh hubungan morfem yang satu dengan yang lain. Perubahan ini dipengaruhi oleh peloncatan tekanan, nada dan panjang.
Simpulan :
Gejala morfofonologi dalam bahasa Indonesia antara lain proses perubahan fonem atau asimilasi, proses penambahan fonem, proses penghilangan fonem atau pengguguran fonem, disimilasi, metatesis, dan peloncatan fonem.

            Proses morfologis dalam bahasa Indonesia meliputi afiksasi, reduplikasi, abreviasi, dan komposisi. Dalam tugas kali ini, saya akan membandingkan pengertian komposisi serta beberapa jenis komposisi menurut enam ahli. Saya menggunakan tujuh buku sebagai sumber dan akan membandingkan penjelasan mengenai komposisi dalam buku-buku tersebut. Dalam bahasa Indonesia, pendapat para ahli mengenai komposisi sangat beragam dan ada juga ahli yang bahkan masih meragukan bahwa dalam bahasa Indonesia memang ada komposisi. Jadi, di bawah ini akan saya uraikan perbandingan pendapat-pendapat tersebut.


Ciri-ciri yang membedakan kata majemuk dari frase:
1. Ketaktersisipan, yaitu komponen-komponen kompositum tersebut tidak dapat disisipi apa pun. Harimurti member contoh kata alat negara. Kata ini masih bisa disisipi partikel dari sehingga menjadi alat dari negara. Jadi, kate ini bukan kata majemuk, melainkan frase.
2.  Ketakterluasan, yaitu komponen-komponen kompositu tersebut tidak dapat diafiksasi dan dimodifikasi. Jika terjadi perluasan, itu pun hanya mungkin untuk semua komponen sekaligus. Contoh yang diberikan adalah kereta api yang dapat dimodifikasi menjadi perkeretaapian.
3.  Ketakterbalikan, yaitu komponen-komponen tersebut tidak dapat dipertukarkan. Menurutnya, bapak ibu, pulang pergi, dan lebih kurang bukanlah komposisi melainkan frase koordinatif karena dapat dibalikkan. Arif bijaksana, hutan belantara, dan bujuk rayu barulah disebut kompositum karena tidak dapat dibalikkan.
Jadi, menurut Harimurti, jika tidak memenuhi ciri-ciri di atas, bentuk tersebut bukan kompositum, melainkan frase.
Banyak pendapat mengenai kompositum. Harimurti menyebutkan bahwa ada variasi dalam kata majemuk, yaitu kata majemuk kompleks seperti memukul mundur, menembak mati, dan bersatu padu, dan kata majemuk simpleks seperti anak sungai, lemah semangat, dan daya juang. Oleh karena itu, Karimurti membuat bagan kata majemuk yang hasilnya diuraikan seperti di bawah ini:
Kata majemuk  leksem tunggal + kata berafiks
                  Contoh: lomba mengarang
                                Salah asuhan
Kata majemuk  kata bereduplikasi + leksem tunggal
                  Contoh: keras-keras lemah
                                Tua-tua keladi
Kata majemuk  leksem tunggal + frase
                  Contoh: mabuk bungan raya
Kata majemuk  kompositum dalam kompositum
                  Contoh: tanah tumpah darah
Menurut Harimurti, kompositum juga harus dibedakan dari idiom dan semi-idiom. Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan makna komponen-komponennya. Semi-idiom ialah konstruksi yang salah satu komponennya mengandung makna khas yang ada dalam konstruksi itu saja. Konsep idiom dan semi-isiom ini juga dapat terjadi dalam kompositu. Karena itu, Harimurti memberikan contoh-contoh yang dapat membantu kita membedakan kompositum idiomatic dan semi-idiomatis.
Kompositum non-idiomatis, contohnya: adu lari, akal budi, alih tugas, anak cucu, dan jual beli. Kompositum semi idiomatis, contohnya: anak angkat, banting harga, gatal tangan, dan harga diri. Kompositum idiomatis contohnya: banting tulang, buah bibir, bulan madu, jantung hati, dan darah daging. Harimurti lalu melakukan pengklasifikasian kompositum menjadi lima golongan:
1.               Kompositum subordinatif substantif (tipe A)
2.               Kompositum subordinatif atributif (tipe B)
3.               Kompositum koordinatif (tipe C)
4.               Kompositum berproleksem (tipe D)
5.               Kompositum sintetis (tipe E)
Contoh yang diberikan Harimurti untuk tipe-tipe di atas antara lain sebagai berikut:
a) Tipe A: anak air, bibir cawan, buah hati, kepala keluarga, mata panah, perut bumi, suku kata, dan tangan baju.
b) Tipe B: banyak akal, banyak bicara, bebas tugas, berat hati, gelap hati, hilang akal, campur tangan, buruk hati, datang bulan, mati rasa, naik gaji, kurang darah, lepas tangan, panjang umur, ringan tangan, patah tulang, senang hati, tipis harapan, tunarungu, dan tebal muka.
c) Tipe C: adat istiadat, aman sejahtera, panjang lebar, besar kecil, ayah ibu, basah kuyup, anak cucu, dan ambil alih. Di sini disebutkan contoh ayah ibuyang berpola ‘a pria, b wanita’. Jika dibandingkan dengan bapak ibu, sebenarnya contoh ini tidak berbeda, namun konteks kalimatlah yang membedakan kedua kata ini sebagai kompositum dan frase.
d) Tipe D: asusila, bilingualisme, metafisika, makro-ekonomi, dan semifinal.
e) Tipe E: geofisika, sentimeter, dan psikologi.
Dalam tabelnya di bagian akhir, Harimurti membagi kompositum subordinatif menjadi bagian yang lebih khusus, yaitu:
a) Subordinatif bebas:
Idiom  kutu buku dan kambing hitam
Non-idiom  basah kuyup dan peran serta
b) Subordinatif terikat:
Idiom  banting tulang dan darah dingin
Non-idiom  limpah ruah dan salah guna
c) Kompositum yang mengandung pengulangan  satu padu, hina dina, kaya raya, dan adat istiadat.
Begitu juga dengan kompositum koordinatif, Harimurti membaginya menjadi:
a) Koordinatif bebas:
Idiom  tanah air dan darah daging
Non-idiom  sunyi senyap dan cantik jelita
b)Koordinatif terikat:
Idiom  tidak ada contoh
Non-idiom  sebar luas, kembang biak, lipat ganda
c) kompositum berproleksem  amoral, antar-bangsa, hipotaksis, dan paranormal.
Jadi, Harimurti membedakan kompositum dan frase melalui proses pembentukannya dan unsur-unsur pembentuknya. Karena itu, dalam buku Harimurti, terdapat istilah paduan leksem, berbeda dengan ahli lainnya yang hanya menyebutkan komposisi atau kata majemuk. Konsep kata mejemuk dalam buku Harimurti dengan buku ahli lainnya sebenarnya tidak begitu berbeda. Marilah kita lihat komposisi dalam buku yang lain.
Pengertian komposisi atau pemajemukan menurut Muslich ialah bergabungnya dua morfem dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang baru. Hasil proses pemajemukan disebut bentuk majemuk. Dalam hal ini, Muslich berbeda pendapat dengan Harimurti yang menyebutkan bahwa hasil dari proses pemajemukan disebut kompositum yang merupakan calon kata majemuk. Dengan kata lain, Harimurti membedakan kata majemuk dengan kompositum, sedangkan Muslich tidak membedakannya. Namun, muslich menyebut kata majemuk sebagai bentuk majemuk.
Perbedaan antara frase dan bentuk majemuk menurut Muslich adalah konstruksi katanya. Muslich menunjukkan bahwa suatu konstruksi kata benda dan kata kerja, contoh: adik tidur, memiliki dua kemungkinan, yaitu fungsi predikatif dan fungsi atributif. Fungsi predikatif terjadi apabila frasa tersebut dapat disisipi bentuk yang menyatakan aspek (misalnya akan, telah, dan sedang). Fungsi atributif dapat disisipi bentuk yang atau tidak. Sebagai contoh, adik tidur yang dapat disisipi (menjadi adik yang tidur) merupakan frase dan kamar tidur (tidak dapat disisipi) merupakan bentuk majemuk. Kemudian, konstruksi kata benda, contoh: kaki tangan memiliki fungsi posesif atau koordinatif. Fungsi posesif tersebut ditandai dengan adanya bentuk –nya atau kata milik yang dapat disisipi, sedangkan fungsi koordinatif dapat disisipi bentuk dan.
Berbeda halnya dengan kata majemuk yang tidak dapat disisipi bentuk atau unsur lain seperti yang terdapat dalam frasa. Unsur tersebut jika diberi afiks dianggap sebagai satu kesatuan bentuk. Dilihat dari sifat unsur, bentuk majemuk umumnya belum pernah mengalami proses morfologis, contoh: kamar kerja dan terima kasih. Lalu, konstruksinya juga tidak dapat dibalik, seperti kamar mandi tidak bisa dibalik menjadi mandi kamar. Karena itu, menurut Muslich, dalam bahasa Indonesia memang terdapat bentuk majemuk karena secara konstruktif bentuk majemuk ini dapat dibedakan dengan frase.
Menurut Muslich, bentuk-bentuk majemuk tertentu mudah sekali dikenalsebab artinya memang benar-benar “berbeda”, atau sama sekali tak berhubungan dengan arti dari setiap unsur pembentuknya (2009:60). Contoh bentuk ini adalah kambing hitam, meja hijau, dan gulung tikar. Bentuk-bentuk inilah yang dalam buku Harimurti disebut kompositum idiomatis. Bentuk-bentuk lain yang dianggap sebagai kata majemuk antara lain pisang goreng dan singkong rebus.
Muslich membagi tiga jenis bentuk majemuk berdasarkan hubungan unsur0unsur pendukungnya:
(1) Bentuk majemuk unsur pertama diterangkan (D) oleh unsur kedua (M);
(2) Bentuk majemuk yang unsur pertama menerangkan (M) unsur kedua (D);
(3) Bentuk majemuk yang unsur-unsurnya tidak saling menerangkan, tetapi hanya merupakan rangkaian yang sejajar (kopulatif), biasa disebut dwandwa.

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kompositum atau bentuk majemuk adalah penggabungan dua bentuk kata atau lebih. Bentuk ini terdiri atas verba majemuk dan verba nominal. Verba majemuk adalah deret dua kata atau lebih menghasilkan makna yang masih dapat diruntut dari makna komponennya yang tergabung (Moeliono, 2001: 22).

Verba majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses penggabungan satu kata dengan kata yang lain. Dalam verba majemuk, penjejeran dua kata atau lebih itu menumbuhkan makna yang secara langsung masih bisa ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung.

Jenis Kompositum :
1.     Subordinatif substantif
Adalah kompositum yang tidak berafiks atau tidak berpartikel di antara kedua unsurnya.
Contoh : anak sungai.
2.     Subordinatif atributif
Adalah kompositum ini sebagian besar juga berfungsi secara prediktif dan sebagai satuan maknanya tergantung dari nomina di luar kompositum.
Contoh : bebas becak.
3.     Koordinatif
Adalah yang hubungan antarunsurnya bersifat koordinatif.
Contoh : gegap gempita.
4.     Berproleksem
Adalah kompositium yang salah satu unsurnya berupa proleksem.
Contoh : asusila.

B.     Saran
            Makalah kami  ini masih jauh dari kata sempurna untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari  para pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah kami ini kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zaenal, dan Junaiyah H.M. 2009. Morfologi, Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: PT Gramedia Widiarsarana Indonesia.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1987.  Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
________.  2009.  Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, Masnur. 2009. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Parera, Jos Daniel. 2007. Bahasa Morfologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan, M. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V Karyono.

0 komentar:

Posting Komentar