BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pengertian,
Definisi dan Pendekatan Studi
1. Pengertian
Estetika
Istilah
estetika berasal dari kata Yunani:
a. Aistetika yang berarti hal-hal yang dapat dicerap dengan
panca indra
b. Aisthesis yang berarti
pencerapan panca indra (sense percepstion)
(The
Liang Gie, 1976:15)
Jadi,
estetika menurut arti etimologis, adalah teori tentang ilmu penginderaan.
Pencerapan panca indra sebagai titik tolak dari pembahasan Estetika didasarkan
pada asumsi bahwa timbulnya rasa keindahan itu pada awalnya melalui rangsangan
panca indra.
Istilah
estetika sebagai ”ilmu tentang seni dan keindahan” pertama kali diperkenalkan
oleh Alexander Gottlieb Baumgarten, seorang filsuf Jerman yang hidup pada tahun
1714-1762. Walaupun pembahasan estetika sebagai ilmu baru dimulai pada abad ke
XVII namun pemikiran tentang keindahan dan seni sudah ada sejak zaman Yunani
Kuno, yang disebut dengan istilah ”beauty” yang diterjemahkan dengan istilah
”Filsafat Keindahan”.
Keindahan,
menurut luasnya lingkupan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1.
Keindahan dalam arti yang terluas, meliputi keindahan alam, keindahan seni,
keindahan moral, keindahan intelektual dan keindahan mutlak (absolut)
2. Keindahan dalam arti estetis murni : menyangkut pengalaman
esetetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang
dicerapnya.
3. Keindahan dalam arti terbatas hanya menyangkut benda-benda
yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa kiendahan bentuk dan warna (The
Linag Gie, 1996:17-18).
Dalam
kenyataanya, pencerapan indra penglihatan hanya bersifat terbatas yang
menyangkut cahaya, warna dan bentuk. Keindahan dalam arti pengertian inderawi
sebenarnya lebih luas daripada yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan,
sebab beberapa karya seni dapat pula dicerap oleh indera pendengaran, misalnya
seni suara.
Keindahan
dalam arti luas mengandung pengertian idea kebaikan, misalnya Plato menyebut
watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan
keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan.
Plotinus
mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah.
- Definisi
Definisi
estetika itu beragam. Tiap-tiap filsuf mempunyai pendapat yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Tetapi pada prinsipnya, mereka sependapat bahwa estetika
adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan/hal yang indah,
yang terdapat dalam alam dan seni. Definisi-definisi itu diantaranya:
a. Definisi umum :
Estetika adalah cabang filsafat yang
membahas mengenai keindahan/hal yang indah, yang terdapat pada alam dan seni.
b. Luis O. Kattoff:
Cabang filsafat yang membicarakan
definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di dalam seni.
c. Dictionary of Philosophy (dagobert D. Runes):
Cabang filsafat yang berhubungan dengan keindahan atau
hal yang indah, khusunya dalam seni serta citarasa
dan ukuran-ukuran nilai baku dalam menilai seni.
d. The Encyclopedia of Philosophy
Estetik adalah cabang Filsafat yang
bertalian dengan penguraian pengertian-pengertian dan pemecahan
persoalan-persoalan yang timbul bilamana seseorang merenungkan tentang
benda-benda estetis. Pada gilirannya benda-benda estetis adalah semua benda
yang tekena oleh pengalaman estetis; dengan demikian hanyalah setelah
pengemalan estetis dapat secukupnya dinyarakan ciri-ciri bisalah seseorang
menentukan batasnya golongan benda-benda estetis tersebut.
e. William Halverson
Cabang filsafat (axciology)yang bertalian dengan
sifat dasa dari nilai-nilai non-moral khususnya keindahan dan nilai-nilai
lainya apapun yang mempunyai sangkutan istimewa dengan seni.
f. Van meter Ames (Collier's Encyclopedia)
Penelaahan tentang apa yang
tersangkut dalam penciptaan, penghargaan dan kritik seni, dalam ubungan seni
dengan peranan yang berubah dari sei dalam suatu dunia pancaroba.
g. Gerome Stolnitz (The Encyclopedia of Phylosophy)
Estetika dilukiskan sebagai
penelaahan filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Keindahan mempunyai nilai
estetis yang bersifat positif, sedangkan kejelekan mempunyai nilai estetis yang
bersifat negatif. Hal yang jelek bukan berarti tidak adanya unsur keindahan.
h. The american Society for aestheties
Semua penelaahan menenai seni dan
bermacam-macam pengalaman yang berhubungan dengan itu dari suatu sudut pandang
filsafati, ilmiah dan teoritis lainnya, termasuk dari psikologi, sosiologi,
anthropology, sejarah kebudayaan kritik seni dan pendidikan (The Liang
Gie,1976,16-31).
3. Ruang Lingkup Filsafat
keindahan dan Estetika
Ruang
lingkup yang dibahas dengaan estetika meliputi:
1. Persoalan
tentang nilai estetis (estheic value)
2. Pengalaman
estetis ( esthetic experience)
3. seni
(art)
4. seniman
Hal ini dipelajari secara historis,
ilmiah, teoritis, informatif dan filosofis.
Secara
historis artinya estetika dipelajari dari segi sejarahnya dan diharapkan dapat
memberikan informasi dan manfaat bagi keidupan manusia. Secara ilmiah artinya
estetika dipelajari diuji dan dikaji seperti halnya ilmu pengetahuan. Secara
teoritis artinya dengan menggunakan teori-teori atau dalil-dalil
serta pendapat-pendapat dari para filsuf atau ilmuwan di dalam
pembahasan estetika secara empiris dan ilmiah. Pendekatan studi secara
informatif yaitu dengan mendapatkan masukan atau informasi mengenai sesuatu hal
,baik lewat media massa, ilmu pengetahuan, empiri maupun
pendapat masyarakat. Pendekatan studi filosofis diharapkan mampu
mencari dan menemukan esensi atau substansi dari keindahan itu.
Persoalan tentang Nilai Estetis
(nilai keindahan)
Dalam
rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah
satu jenis nilai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai-nilai
yang lain. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam
pengertian keindahan disebut nilai estetis.
Mengenai
nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subjektif dan nilai objektif.
Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakat.
Dilihat dari segi ragamnya nilai dibedakan menjadi nilai intrinsik,
nilai instrumental, nilai inheren dan nilai kontributif.
Nilai
estetis sebagai salah satu jenis nilai manusiawi (nilai religius,etis dan
intelektual) menurut The Liang Gie, tersusun dari sejumlah nilai yang dalam estetika
dikenal dengan kategori-kategori nilai estetis atau kategori-kategori nilai
keindahan.Pada umumnya filsuf membedakan adanya tiga pasang yaitu:
a.
kategori-kategori yang agung dan yang elok
b. kategori-kategori yang indah dan yang
jelek
c. kategorI-kategori
yang komis dan yang tragis
Akhirnya
Kaplan menambahkan kecabulan (obscennity) sebagai kategori nilai estetis (The
Liang Gie, 1978 : 169).
Kecabulan
(obscennity) lebih condong pada pendekatan secara etik atau moral. Dalam bidang
seni dan keindahan, lebih tepat dengan istilah erotis.
BAB
II
SEJARAH
PERKEMBANGAN ESTETIKA
Sejarah
perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan estetika di Barat
yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini dikarenakan estetika telah
dibahas secara terperinci berabad-abad lamanya dan dikembangkan dalam
lingkungan Filsafat Barat. Hal ini bukan berarti di Timur tidak ada
pemikiran estetika.
Secara garis besarnya, tingkatan/tahapan periodisasi
estetika disusun dalam delapan periode, yaitu:
1.Periode Klasik
(dogmatik)
2.Periode Skolastik
3.Periode Renaisance
4.Periode Aufklarung
5.Periode Idealis
6.Periode Romantik
7.Periode Positifistik
8.Periode Kontemporer
A. Periode Klasik (Dogmatik)
Dalam
periode ini para folosof yang membahas estetika diantaranya adalah Socrates,
Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat dikatakan bahwa Socrates
sebagai perintis, Plato yang meletakkan dasar-dasar estetika dan Aristoteles
yang meneruskan ajaran-ajaran Plato.
Dalam periode ini ada beberapa ciri mengenai
pandangan estetikanya, yaitu :
1.
Bersifat metafisik
Keindahan
adalah ide, identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan. Keindahan itu
mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
2.
Bersifat objektifistik
Setiap benda yang memiliki keindahan
sesungguhnya berad dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi indah karena mengambil
peranannya atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.
3. Bersifat fungsional
Pandangan
tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (moral),
kesenangan, kebenaran dan keadilan.
Socrates:
468-399SM
Socrates
sebagai seorang perintis yang meletakkan batu pertama bagi fundamen estetika,
sebelum ilmu itu diberi nama. Dia adalah anak dari seorang pemahat yang bernama
Sophromiscos dan ibunya bernama Phainarete adalah seorang bidan
Jalan
pikiran yang dipergunakan Socrates dalam mencari hakekat keindahan ialah dengan
menggunakan cara dialog. Socrates menamakan metodenya ”maeutika tehnic (seni
kebidanan)” yang berusaha menolong mengeluarkan pengertian-pemgertian
atau kebenaran. Socrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan dioalog.
Dalam
dialog-dialognya Socrates membuka persoalan dengan mempertanyakan sesuatu itu
disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah
itu memiliki keindahan? Lantas apakah keindahan itu? Disini Socrates mencoba
merumuskan arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.
Menurut
Socrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa (roch).
Raga hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan bukan merupakan
sifat tertentu dari suatu benda, tetapi sesuatu yang ada dibalik bendanya itu
yang bersifat kejiwaan.
Plato: 427-347SM.
Menurut Plato keindahan itu bertingkat., untuk mencapai
keindahan yang tertinggi (keindahan yang absolut) melalui fase-fase tertentu
(Wajiz Anwar, 1980).
Fase
pertama, orang akan tertarik pada suatu benda/tubuh yang indah. Disini manusia
akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan keragaan (indrawi) tidak
dapat memberikan kepuasan pada jiwa kita. Setelah kita sadar bahwa
keindahan dalam benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka
kita tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang
lahiriah. Manusia
akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu pada
norma-norma kesusilaan (noma moral) secara konkrit. Hal ini terlihat dalam
tingkah laku dari orang/hal-hal yang kita cintai.
Dalam
fase kedua, maka kecintaan terhadap norma moral secara konkrit ini
berkembang menjadi kecintaan akan norma moral secara absolut yang berupa
ajaran-ajaran tentang kesusilaan/bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku
yang baik.
Dalam
fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara moral dan
pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari keindahan dalam berbagai
pengetahuan. Orang Yunani dulu berbicara tentang buah pikiran yang indah dan
adat kebiasaan yang indah. Kalaui manusia sudah sampai pada fase yang ketiga
ini maka akan mengantarkan manusia pada fase yang keempat yaitu
keindahan yang mutlak/absulut.
Disinilah
orang berhasil melihat keindahan mutlak, yang sesungguhnya indah, keindahan
universal dan maha tingggi. Dan disinilah segala sesuatu berasal dan
kesitu pula segala sesuatu harus kembali.
Seni
Seni yang
baik menurut Plato adalah seni musik. Musik mempunyai peranan
yang penting dalam negara yaitu dapat mempengaruhi dalam bidang moral dan
politik. Di bidang moral, musik dapat memperhalus perasaan manusia (musik yang
sentimentil) dan dapat juga sebaliknya.
Dibidang
politik, musik dapat mengubah jiwa patriotik dan kecintaan terhadap tanah air.
Selain seni musik, maka retorik atau seni berpidato merupakan seni utilitary (seni
dimana segi kegunaanya diutamakan, bukan keindahan, kebenaran atau
kebijaksanaanya) maka seni ini lebih berguna bagi kaum politisi, yang bertujuan
untuk menggalakkan orang lain dalam mengikuti tujuan akhirnya. ”Selalu
pergunakanlah retorik dengan keadilan” adalah suatu anjuran yang
akhirnya Plato mengakui untuk eksistensinya, yakni untuk
kemungkunan-kemungkinan didaktif. Problem hubungan antara seni dan pendidikan
telah diungkapkan dalam bukunya Republik, tetapi ketika timbul lagi dalam Laws, tidak
ada lagi sugesti untuk mengutuknya. Malah sebaliknya disini Plato secara tegas
menguatkan keterangan hubungan satu sama lainnya. Musik, tarian dan nyanyan
koor sangat terpuji karena nilai pendidikannya, dan tanpa banyak kesusahan lagi
seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pembalikan yang sangat tajam konsep
Plato ini disebabkan adanya hubungan harmonis antara seni dan kehidupan,
sebagai akibatnya dia membukakan pintu perhatian adanya kemampuan mendidik pada
retorik dan adanya sintesis dalam instruksi dan kesenangan, yang kemudian
mewataki teori paedagogik seni. Konsekueninya tentang konsepsi seni sebagai
gabungan antara yang baik, benar dan yang indah (Abdul Kadir,
1974:10).
Seniman
Di
dalam bukunya ”Republik”, Plato mempunyai pendapat yang tidak begitu ramah
terhadap seniman. Negarawan mendapat tempat (penghargaan) yang lebih tinggi
diantara manusia-manusia pencipta atau seniman, karena mereka menimbang
masyarakat berdasar ide kebaikan, keadilan, kebenaran, dan keindahan. Seniman
hanyalah meniru ide keindahan yang ada di dunia ini yang merupakan penjelmaan
dari keindahan absolut/illahi yang ada di dunia idea. Seniman yang sejati
adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan alam semesta sebagai imitasi dari
idea bentuk yang abadi. Diantara seniman-seniman yang ada, Plato mempunyai
pandangan positif terhadap sastrawan dan penyair.
Sastrawan
Tulisan-tulisan Plato termasuk sastra Yunani Klasik yang
ditulis dengan gaya bahasa yang indah sekali. Dalam dialog yang berjudul
”Symposium” ia berpendapat bahwa suatu uraian lisan yang memakai gaya bahasa
yang indah disebabkan oleh karena pengaruh seorang dewa,si pembicara itu sedang
kemasukan roch seorang dewa.Disini Plato secara implisit menyinggung teori
”partisipasi”,seorang sastrawan dapat menulis dan berdendang dengan indah
sekali karena ia ”ämbil bagian”dalam pandangan dan alam para dewa,ia seolah-olah
diangkat diluar dirinya sendiri(ekstasis),diatas awan,dialam idea-idea ,melihat
keadaan yang sebenarnya (Dick Hartoko,1983:31-32).
Penyair
Syair-syair yang indah itu bukan karya manusia, tetapi
adalah syair surgawi dan ciptaan Tuhan.Parapenyair tersebut hanyalah merupakan
penafsir Tuhan.Lewat teori ”partisipasi”maka seorang penyair yang rendah
martabatnya dapat membawakan nyanyian-nyanyian yang terindah.Para penyair
memiliki ”kekuatan misterius”yang bersifat Illahiah.Seniman tidak lagi mengimitasi
,tetapi sebaliknya ia memperoleh inspirasi yang karenanya merupakan bagian dari
Illahi(Abdul Kadir,1976:7).
Aristoteles: 384-322 SM.
Keindahan
dianggap sebagai suatu kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang membuat
sesuatu hal yang indah. Dalam bukunya
Poetics, Aristoteles mengatakan ”untuk menjadi indah, suatu makhluk
hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian harus tidak hanya
menyajikan suatu ketertiban tertentu dalam pengaturannya dari bagian-bagian,
melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang pasti. Menurut Aristoteles
unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah suatu
ketertiban dan suatu besaran/ukuran tertentu (The Liang Gie, 1996:41).
Seni
Menurut
Aristoteles, seni adalah kemampuan menciptakan sesuatu hal atas pikiran akal.
Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam, tetapi imitasi yang membawa kepada
kebaikan. Walaupun seni itu tiruan dari alam seperti apa adanya, tetapi
merupakan hasil kreasi (akal) manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk
keindahan yang sempurna, yang dapat mengantarkan manusia menuju keindahan pada
keindahan yang mutlak.
B. Periode Skolastik
Dalam
sejarah Filsafat Barat abad pertengahan adalah masa timbulnya filsafat baru.
Hal ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh bangsa Eropa Barat dengan
para filosofnya yang umumnya pemimpin gereja atau penganut Kristiani yang taat.
Filsafat abad pertengahan ini dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik.
Dalam
abad pertengahan ini masalah theologia mendapat perhatian utama dari para
filosof.
Masalah estetika dikemukakan oleh Thomas
Aquinas: 1225-1274. Filsuf ini adalah pengagum Aristoteles. Menurut
Thomas Aquinas keindahan itu terdapat dalam 3 kondisi, yaitu :
1. Integrity
or perfection (keutuhan
atau kesempurnaan)
2. Proportion
or harmony (perimbangan
atau keserasian)
3. Brightness
or clarity (kecermelangan
atau kejelasan)
Munurut
Thomas Aquinas, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak sempurna) adalah jelek,
sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang atau terang adalah indah. Tiga unsur
keindahan itu oleh para ahli modern disebut kesatuan, perimbangan dan
kejelasan.
C. Periode
Renaissance
Kata Renaissance berarti kelahiran kembali,
yaitu membagun kembali semangat kehidupan klasik Yunani dan Romawi dalam bidang
ilmu pengetahuan dan seni. Gerakan pembaharuan ini dilakukan terutama oleh para
humauis Italia yang dimulai kurang lebih abad ke XIV. Gerakan ini hampir
disegala bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan filsafat. Tetapi
yang paling semarak gerakan ini adalah pada bidang seni.
Pada
periode ini masalah seni menjadi titik perhatian. Uraian mengenaai estetika
secara luas ditulis oleh Massilimo Visimo, sedangkan penulis-penulis lainnya
banyak mengulas teori-teori seni. Leon Batista dan Albert Durer dalam bidang
seni rupa,Giosefe Zarlino dan Wincenzo Galilei dalam bidang musik,serta Lodovia
Castelvetro dalam bidang puisi.
D. Periode
Aufklarung
Pencerahan merupakan gerakan lanjutan dari
Renaissance. Dalam periode ini masih terlihat pengaruh rationalisme Descartes
dan Empirisme Bacon dalam pembahasan Estetika.
Baumgarten
(Alexander Gotlieb Baumgarten), dia seorang filsuf Jerman yang hidup tahun
1714-1762. dialah orang pertama yang memperkenalkan istilah ”estetika” sebagai
ilmu tentang seni dan keindahan.
Baumgarten
membedakan pengetahuan itu menjadi 2 macam:
1. Pengetahuan intelektual
(intellectual knowledge)
2. Pengetahuan indrawi (sension
knowledge)
(The
liang Gie, 1980)
Pengetahuan
intelektual itu disebut juga pengetahuan tegas, sedangkan pengetahuan indrawi
dianggap sebagai pengetahuan kabur. Estetika adalah ilmu tentang pengetahuan
indrawi yang tujuannya adalah keindahan. Tujuan daripada keindahan adalah untuk
menyenangkan dan menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi
tercermin pada alam, maka tujuan utama dari seni adalah mencontoh alam.
Pengaruh Empirisme Bacon
nampak dalam hal imajinasi rasa estetis atau cita rasa. Hal
ini terlihat dalam pendapat Edmund Burke dan Lord Kaimes. Menurut Edmud Burke
(1729-1798) masalah selera itu tidak dapat dijadikan hakim dalam keindahan
(Wajiz Anwar, 1980). Sedangkan
Lord Kaimes dalam karyanya Elements of Criticism yang terbit pada tahun 1961
sependapat dengan Burke. Keindahan adalah sesuatu yang dapat menyenangkan selera.
Dia mengemukakan suatu titik tolak baru, bahwa pengalaman mengenai suatu emosi
walaupun sangat pedih seperti emosi takut atau kesengsaraan adalah
menyenangkan. Emosi yang menyedihkan adalah menyenangkan bila direnungkan.
Perang, bencana alam adalah menyedihkan, tetapi menyenangkan bila
kita melihatnya dipanggung sandiwara atau dalam seni film. Kejadian yang paling
dahsyat dan mengerikan justru paling mengesankan dan menggembirakan bila
diingat. Keindahahan ialah menyenangkan. Oleh karena itu keindahan ditentukan
oleh selera semata-mata.
E. Periode Idealis
Sejalan
dengan perkembangan filsafat, idealisme mempengaruhi pendangan
estetika di Jerman. Immanuel Kant merupakan filsuf pertama yang mengemukakan
teori estetika dari pandangan objektif. Maka penyelidikan estetika berubah,
dari penelaahan ontologis beralih ke bidang ilmu jiwa, yang sebelumnya telah
dirintis oleh rationalime dan empirisme.
Filsuf-filsuf
yang termasuk dalam peroide ini diantraanya adalah: Immanuel kant, Schiler,
Scheling dan Hegel.
1. Immanuel
Kant:1724-1804
Estetika
Kant berdasarkan pada ajaran bahwa manusia itu mempunyai pengetahuan tentang
”nature di luar dirinya” dan ”dirinya di dalam nature” (Abdul Kadir, 1975).
Pada ”nature di luar
dirinya”, manusia mencari kebenaran dan pada “dirinya di dalam nature”, manusia
mencari kebaikan yang pertama. Kebaikan yang pertama
ini merupakan “pure reason” dan kebaikan yang kedua
merupakan “practical reason” (free will). Disamping itu, masih ada lagi yaitu
kemampuan untuk memberi keputusan (judgement) ialah yang membentuk putusan
tanpa pamrih dan menghasilkan kenikmatan tanpa keinginan. Keindahan dalam seni
mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia dalam menilai karya seni yang
bersangkutan. Kemampuan ini disebutnya dengan istilah “cita rasa” (taste).
Immanuel Kant membedakan
adanya dua macam keindahan, yaitu keindahan bebas (pulchritudevoga) dan
keindahan bersyarat yang semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens). (Abdul
Kadir, 1974:37). Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi tentang
bagaimana seharusnya benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan natural ada
perbedaan dalam penilaian tentang selera terhadap bunga itu, bagi botani dan
yang bukan botani. Disamping bunga, ia juga menunjukkan barang-barang sebagai
contoh (burung betet, burung cendrawasih, humming bird) dan keong-keong laut.
Keindahan
yang semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens) membutuhkan konsep demikian
serta penyempurnaan benda itu sesuai dengan konsepnya (keindahan bersyarat),
yang tergantung pada konsep-konsep yang berasal juga dari sebuah konsep yang
mempunyai tujuan tertentu.
Dari keindahan natural
ia melangkah ke keindahan artistik dengan memberikan contoh hiasan-hiasan tepi
atau kertas hiasan dinding dan fantasi-fantasi musik (Abdul Kadir, 197:38).
Hubungan antara
keindahan natural dan keindahan artistik ternyata mengalami
kontradiksi-kontradiksi. Immanuel Kant memandang artis (seniman) sebagai
seorang yang dilengkapi dengan imajinasi yang juga merupakan pusat produksi
ilmu pengetahuan, seperti halnya “talent” (bakat natural) yang
mempengaruhi (memperkarsai hukum-hukum seni. Karena talent yang
merupakan pusat produksi seorang artis yang dibawanya sejak lahir itu sendiri
sebagai bagian dari nature. Menurut Immanuel Kant genius adalah talent, genius
adalah disposisi mental yang memang ada sejak lahir (ingenium) dan
melaluinyalah alam (nature) memberikan hukum-hukum seni. Bagi Immanuel Kant,
genius seorang artis tidak dapat sejajar dengan selera murni dan karenanya
merupakan preposisi sebuah konsep yang pasti tentang karyanya sejauh karya itu
mempunyai tujuan (Abdul Kadir, 1974:40).
Berdasarkan teorinya
tentang keindahan bebas, Immanuel Kant dapat dianggap sebagai perintis seniman
anti-konsep yang sekarang termasuk aliran abstrak. Immanuel Kant berusaha unutk
mengkoeksistensikan antara keindahan natural dengan keindahan bersyarat dan
mensejajarkan dari bentuk nyata tentang keindahan dan seni, ternyata hasilnya
sampai pada keraguan yang gersang. Immanuel Kant memaksakan
pertentangan antra keindahan bersyarat dengan keindahan bebas. Konsekuensi
dualisme ini ialah dalam menilai keindahan yang murni, maka penilaian terhadap
selera juga murni, sedangkan sebuah penilaian tentang selera yang terkait pada
sebuah obyek ,yang mempunyai tujuan inti tertentu.
Analisa
tentang penilaian estetis dibagi menjadi 2, yaitu: analisa tentang keindahan
analisa tentang kengungan
Pada
analisa tentang keindahan, pandangan Immanuel Kant memaparkannya dalam 4
pertimbangan yaitu: berdasarkan pada segi kualitas, kuantitas, hubungan dan
modalitas.
a.
Pertimbangan dari segi kualitas
Keindahan
ialah kesenangan total yang terjadi tanpa konsep.
b.
Pertimbangan dari segi kuantitas
Keindahan berwujud tanpa konsep,
sebagai objek dari pemuasan hidup yang mendesak.Keindahan merupakan suatu kesenangan
yang menyeluruh.
c.
Pertimbangan dari segi hubungan
Putusan
selera bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari daya tarik dan
emosi serta bebas dari konsep kesempurnaan.Hal ini berarti bahwa keindahan
ialah konsep tentang adanya tujuan pada objek, tetapi tujuan itu tidak terwujud
dengan tegas.
d.
Pertimbangan dari segi modalitas
Putusan selera menurut kesenangan
yang timbul dari objek tertentu.Kesenangan merupakan keharusan subjektip,tetapi
berwujud dalam bentuk objektip ketika dicerap oleh indera manusia.Keindahan
ialah apa yang diakui sebagai objek pemuasan darurat yang tidak berkonsep
(Wadjiz Anwar,1980:23).
Analisanya
tentang keagungan terdapat adanya perbedaan antara keindahan dan keagungan.
Keindahan termasuk putusan selera sedangkan keagungan mempunyai akar di dalam
kecerdasan (geistesgefuehl). Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk
(forma), sedangkan keagungan ada kalanya bergantung kepada forma dan non forma
yang menyangkut tidak adanya forma dan cacat.Kant membedakan antara dua bentuk
keagungan,bentuk matematis yang statis dan bentuk dinamis(Wadjiz
Anwar,1980:23).
Pengalaman Estetik.
Bagi
Immanuel Kant alam merupakan sumber utama bagi pengalaman estetik(Dick
Hartoko,1983,12-13).Immanuel Kant membedakan putusan estetik dari putusan
cognitif semata-mata disatu pihak dan putusan moral dilain pihak.Pengalaman
estetik itu tidak hanya ingin tahu (bersifat cognitif), tetapi
mengikut sertakan daya-daya lain dalam diri kita,seperti misalnya kemauan, daya
penilaian emosi,bahkan seluruh diri kita (Dick Hartoko:1911,8).
Dalam
hal mempertahankan pengalaman estetik berbeda dengan pengalaman moral.Dalam
keyakinan moral, kalau kita yakin bahwa suatu perbuatan jahat,maka kita sanggup
mempertaruhkan nyawa kita, lebih baik mati dari pada berbuat serong.Dalam
pengalaman estetik walaupun menyangkut seluruh diri kita, namun untuk
mempertahankan suatu penilaian estetik kita tidak sanggup mempertahankan nyawa
kita. (Dick Hartoko;1911;8).
2. Hegel ; 1770-1831.
Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan
merupakan suatu moment (unsur dialektis) dalam perkembangan
roh (Geist, spirit) menuju kesempurnaan. Hal itu dapat
ditemukan dalam pengalaman manusia. Kedudukannya diambang antara yang jasmani
dan yang rohani (materi menuju roh, roh menjelma dalam materi tepat pada saat
peralihan yang bermuka ganda itu dialami) dan bukan itu saja, karena sekaligus
merupakan moment atau saat kebenaran (pengertian) dan kebaikan (penghendakan)
bersentuhan satu sama lain (maka tidak wajar masalah ”arti” atau ”nilai etis”
dikemukakan dalam konteks kesenian). Moment itu tidak pernah dialami atau dapat
ditunjukkan dalam bentuk yang ”sempurna”, hanya dalam bentuk
”penyimpangan-penyimpangan yang indah” dari moment keseimbangan penyentuhan
atau peralihan itu. Dengan demikian muncullah kategori-kategori estetis,
seperti ”yang sublim (roh 'menang' atas materi)”, ”yang lucu” atau ”yang humor”
(arti 'menang' atas nilai), ”yang jelita” atau ”gracious” (nilai 'mengalahkan'
arti), tentu saja semua itu dalam batas keindahan itu sendiri, malahan yang
sublim mempunyai unsur tragisnya dan sebaliknya, yang lucu dan yang jelita,
yang pertama dilihat juga sebagai yang mewakili kepriaan, yang kedua kewanitaan
(Mudji sutrisno, 1993:48).
Karya seni merupakan bidang dimana keindahan
mempunyai manifestasi yang khusus. Karya seni menunjukkan kemampuan manusia
menangkap keindahan alam dan merupakan kesaksian tersempurna mengenai fakta
bahwa manusia mengintuisi keindahan, karena kalau manusia secara khusus mempunyai
intuisi yang tidak mati mengenai keindahan, ia mengungkapkannya dalam karya
seni. Kelebihan seniman bahwa ia mempunyai kemampuan mengungkapkan, karena ia
terlibat lebih banyak dari pada yang kita lihat (Lorens Bagus, 1991:117).
Bagi
Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan memiliki bakat alami,
maka bakat itu harus direnungi dan dikembangkan lewat kerja praktek dan
penguasaan keterampilan menampilkan sesuatu. Jika genius harus dapat
menampilkan sesuatu yang original, maka artinya sama saja dengan menampilkan
yang obyektif. Agar bisa original dan obyektif, maka yang bersangkutan harus
memiliki kebebasan dalam mencipta. Kebebasan itu ditunjukkan oleh kamampunanya
mengobyektifikasi imajinasinya lewat medium dan teknik yang serasi, yang akan
membawanya kepada tujuan yang ingin dicapai. Mencipta karya seni dan
menghayatinya dalam medium seperti itu boleh dilihat sebagai upaya agar tidak
terjadi ”pengendapan” perasaan. Yang inderawi itu harus menjadi wadah
obyektifikasi roh. Seni mengacu kepada perasaan, disamping kepada imajinasi
(Humar Sahman, 1993:189-190).
Kebenaran
dan keindahan menurut Hegel adalah satu dan dari hal yang sama. Bedanya hanya
terletak pada kebenaran adalah idea itu sendiri dan adanya ada dan pada idea itu
sendiri dan dapat difikirkan. Manifestasinya keluar, tidak
hanya kebenaaran saja, tetapi juga
keindahan.
Bagi
Hegel keindahan adalah sesuatu yang transedental.Dia membedakan
F. Periode Romantik
Aliran
romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang mendewakan rasio. Kini
perasaan menjadi dominan. Kalai sebelumnya sang seniman tunduk pada
kaidah-kaidah yang ketat, kini sang seniman berdaulat dengan merdeka, asal
meluapkan secara spontan dan otomatis emosi-emosinya.
Aliran inidirintis oleh J.J Rousseau yang hidup pada pertengahan
abad ke-XVIII. Rousseau bertitik tolak pada suatu pandangan dasar, yaitu
bahwa alam murni itu baik dan ndah sehingga segala sesuatu yang dekat
pada alam murni juga baik dan indah (Dick Hartoko, 1984)
Dalam hal seni Roesseau berpendapat
bahwa bakat alam hendaknya dikembangjan secara bebas, jangan sampai datur oleh
macam-macam teori dan guru. Asal, emosi yang spontan diluapkan maka hasilnya
pasti indah.
Pada
tingkat awal, gerakan romantik berada pada pemikiran Schellingdan bentuk-bentuk
baru kesusastraan baru di Jerman dan Inggris pada tahun 1890-1891. Ada 4 hal
yang menjadi pusat perhatian dari penulis-penulis estetika pada periode ini
adalah: ekspresi, imajinasi, organisasi dan simbolisasi.
Salah
seorang filsuf besar pada periode ini adalah Arthur Schopenhauer dan Nietzche.
Menurut Schopenhauer, hakekat yang terdalam dari kenyataan adalah
kehendak (karsa). Dalam diri manusia, kehendak yang bersifat itu
tidak dapat dipuaskan. Sebagai akibatnya manusia mengalami kesengsaraan. Untuk
mengatasi keadaan itu, tersedia dua jalan yaitu jalan etis dan estetis. Jalan
etis yaitu dengan berbuat dan bertingkah laku baik sedangkan jalan estetis,
dengan menikmati kesenian khusususnya musik. Tetapi musik hanya dapat dinikmati
dan melupakan kesengsaraan yang sementara.
Jika
kehendak itu memilukan atau kehendak untuk hidup itu menyedihkan, maka seni
adalah hiburan yang terbaik dan merupakan tempat istirahat yang terjamin.
Disatu pihaj, seni membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah, tetapi
dipihak lain ia juga mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan
krisis-krisis dalam hidup.
G. Periode Positifistik.
Dalam
periode ini estetika dipelajari secara empiris dan ilmiah yang berdasarkan
pengalaman-pengalaman riil yang nyata dalam kehudupan sehari-hari. Estetika
dibahas dalam hubungannya dengan ilmu lain,misalnya psikilogi dan
matematika.Para filsuf yang membahas estetika diantaranya Fehner,George
Birkhof, A.Moles dan Edward Bullough .
1. Gustaf T.Fecner
(1801-1887 )
Dia
berpendapat bahwa estetika yang dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya
sebagai estetika ''dari atas'' (The Liang Gie,1976). Fechner berpendapat bahwa
sebaiknya estetik itu dihampiri ''dari bawah'' dengan mempergunakan pengamatan
secara empiris dan percobaan secara laboratorium terhadap sesuatu hal yang
nyata.Metode yang dipakainya adalah metode Experimentil.Tujuan yang ingin
dicapai adalah berusaha untuk menemukan kaidah-kaidah /dalil-dalil mengapa
orang lebih menyukai sesuatu hal yang indah tertentu, dan kurang menyukai yang
lain.
2.A.Moles
Percobaan-percobaanng
dilakukan menunjukkan bahwa proses-proses dalam otak manusia dipengaruhi oleh
sifat-sifat struktural dari pola-pola perangsang seperti misalnya :sesuatu yang
baru, sesuatu yang rumit dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang
merangsang ini dapat dipandang sebagai unsur-unsur penyusun dari bentuk atau
struktur seni.
3.Edward Bullough
Dia
menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap dengan melakukan penyelidikan
terhadap apa yang dinamakan kesadaran estetis (aesthetic consciousness)(The
Liang Gie,1976).Psikoanalisa dengan teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa
karya seni sebagai mana halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan
dari keinginan manusia yang paling dalam.Keinginan ini memperoleh kepuasan
lebih besar dalam bentuk seni dari pada dalam realitas kehidupan
biasa.Penggunaan hasil-hasil dari ilmu jiwa anak (child psychology) dianggap
dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai mengenai pertumbuhan
dorongan batin dalam mencipta seni.Dorongan batin ini mencakup semua dinamika
kejiwaan yang tidak bersifat intelektualistis, misalnya hasrat untuk meniru,
kecenderungan untuk memamerkan, kesediaan untuk menyenangkan pihak lain,
keinginan bermain-main, pemanfaatan energi yang berlebihan dan peluapan
perasaan yang ada dalam diri setiap orang.Dalam
periode positifistis ini, walaupun pembahasan estetika sudah
bersifat ilmiah, tetapi bukan berarti bahwa pendekatan secara filsafati sudah
tidak dipergunakan lagi.
H. Periode Kontemporer.
Dalam
periode ini, muncul sejumlah pandangan estetika dalam waktu yang relatif
bersamaandan sampai kini masih banyak pengikutnya.Pandangan estetika yang
banyak ini (multi isme), tumbuh pada awal abad ke 19 dan menjadi lebih semarak
lagi pada abad ke 20. berikut ini tujuh pandangan yang menonjol dalam periode
ini.
1. Seni untuk seni
(lárt pour l'art)
Semboyan L'art
pour L'art yang termashur ini pertama kali dipergunakan oleh seorang filosof
Victor Cousin (1792-1867). Pandangan ini menganggap bahwa seni merupakan
deklarasi artistik yang independen sebagai suatu tanggung jawab professional.
Seniman ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari
kepentingan masyarakat. Tujuan seni hanya untuk seni, tidak mengabdi kepada
kepentingan politik, ekonomi, sosial dan agama. Pandangan ini merupakan suatu
reaksi terhadap kondisi pada waktu itu untuk mengembalikan kemurnian status
seni.
2.
Realisme
Realisme
menganggap bahwa karya seni harus menampilkan kenyataan yang
sesungguhnya, seperti sebuah gambar reproduksi (seperti photo). Salah seorang
tokoh dari pandangan ini ialah Nicolay C. Chernyshevski dengan karyanya The
Aestheics Relation or Art to Reality (1865).
3. Sosialisme (Tanggungjawab sosial)
Suatu
pandangan yang sangat bertentangan dengan pandangan seni untuk seni, bahwa seni
merupakan kekuatan sosial dan refleksi dari kenyataan sosial. Seniman adalah
bagian dari masyarakat dan mempunyai tanggungjawab sosial.
Estetikus terbesar yang
termasuk dalam pandangan ini ialah Nikkolayevitch Tolstoy (1982-1910). Di dalam
karyanya yang terkenal what is art (1898) Tolstoy mengulas
persoalan seni dan keindahn secara lebih luas. Menurut Tolstoy, dalam arti subyektif, apa yang dinamakan
keindahan adalah apa yang memberikan kita suatu kenikmatan atau kesenangan.
Sedangkan dalam arti obyektif, keindahan adalah sesuatu yang absolut dan
sempurna, karena kita menerima manifestasi dari kesempurnaan tersebut . Bagi
Tolstoy seni yang ialah seni yang dapat memindahakna perasaan arus hidup
manusia scara sama dan seirama. Nilai-nilai agama dianjurkan dalam ekspresi
seni, kaena persepsi keagamaan tidak lain adalah gejala pertama dari manusia
dengan dunia sekitarnya. Tolstoy telah membahas estetika dari sudut kekristenan
yang penuh kritik terhadap kepincangan sosial, negara, gereja dan kebodohan
kaum bangsawan (Hassan Sadily;1984).
4. Ekspresionisme
Estetikus Benedetto Croce (1866-1952) telah meninggalkan pengaruh
besar pada abad ke 20 ini. Pandangannya ditulis dalam bukunya Aesthetics
as Science of Expression and Generale Linguistic (1902).
Menurut
Groce, Estetika ilmu tentang image atau sebagai pengetahuan intuitif
dan bersifat objektif. Bagi Crocekeindahan tergantung pada keinginan imajinasi,
yaitu kemampuan seseorang untuk memahami serta mengalami hasil kegiatan intuisi
dalam bentuknya yang murni.Croce termasuk penganut “seni untuk seni”. Seni
tidak benar kalau dicampuri oleh berbagai kepentingan,misalnya ilmu
pengetahuan,hiburan ataupun moral.
5. Naturalisme
Pandangan
estetika naturalisme para filosof Amerika lebih menekankan pada ketenangan
hidup untuk kelangsungan budaya manusia.
Salah
satu tokohnya George Santayana. Dia berpendapat bahwa nilai keindahan terletak
pada hasrat alami untuk mengalami keselarasan sosial dan untuk merenungkan
keindahan menciptakan moralitas, seni, puisi dan agama, yang ada dalam
imajinasi dan berusaha untuk mewujudkan secara konkret dengan tindakan,
kombinasi dari esensi-esensi dan semata-mata ideal. Estetika berhubungan dengan
penceraapan nilai-nilai. Keindahan sebagai nilai intristik dan diobjektifkan,
artinya sebagai kualitas yang ada pada suatu benda.
6. Marxisme
Marxisme
telah memberikan pengaruh kepada para estetikus terutama di negara-negara
sosialis dan komunis. Prinsip dasar estetikanya ialah seni dan semua kegitan
manusia yang tertinggi merupakan budaya "super struktur"
yang ditetapkan oleh kondisi sejarah masyarakat, terutama kondisi ekonomi.
Estetika Rusia Georgi V. Plekaniv dalam bukunya Art and
Social Live (1912), mengembangkan estetika materialisme
dialektika dan menyerang doktrin “seni untuk seni” yang telah berkembang di
Eropa.
7. Eksistensialisme
Pandangan
mengenai kekuatan otonomi sebagai kualitas obyektif yang ada dalam dirinya
sendiri telah dicetuskan oleh para filosof Eksistensialisme.
J.P.
Satre membedakan antara obyek estetik dengan benda-benda lainnya di dunia.
Perbedaannya terletak pada "ekspresi dunia", bahwa setiap benda
estetis secara personal adalah "ada dalam dirinya sendiri" (pour
soi). Dalam hal ini Satre telah memberikan jalan untuk adanya suatu konsep
tentang "kebenaran otentik" dari eksistensi seni.
BAB
III
NILAI
ESTETIK
A. Pengertian
Nilai Estetik
Dalam
rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah
satu jenis nlai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai-nilai yang
lain. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam
pengertian keindahan disebut nilai estetis.
Pada
prinsipnya masalah estetika selalu bertumpu pada dua hal, yaitu keindahan dan
seni,tetapi dari kedua hal tersebut berkaitan dengan masalah nilai, pengalaman
estetis dan pencipta seni (seniman). Keindahan dan seni merupakan dua hal yang
saling berhubungan. Salah satu bentuk perwujudan keindahan adalah dalam bentuk
karya seni.
Bagaimana
hubungan keindahan dengan seni, telah dijawab oleh para filsuf sepanjang zaman.
Beberapa ahli berpendapat bahwa seni dan keindahan tidak terpisahkan. Sedangkan
yang lainnya berpendapat seni tidak selalu harus indah atau bertujuan untuk
keindahan. Pendapat bahwa seni tidak terpisahkan dengan keindahan terutama oleh
Baumgarten sebagai pelopor ilmu estetika. Menurut Baumgarten, tujuan dari
keindahan untuk menyenangkan dan menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan
tertinggi tercermin pada alam, maka tujuan seni adalah keindahan dan mencontoh
alam.
Para
ahli seni yang berpendapat, bahwa seni tidak selalu indah menunjuk karya-karya
seni kontemporer dewasa ini (lukisan dan patung) menampilkan gambar-gambar
kotor bahkan menjijikkan dan menunjuk pula pada karya manusia purba yang
menampilkan wujud yang kadangkala menyeramkan. Mereka berpendapat bahwa seni
bukan produk keindahan, tetapi produk problem seniman.
Seni
memang bukan produk keindahan, tetapi keindahan itu merupakan suatu idealisasi
yang sebaiknya melekat pada media seni itu.Keindahan bukan hanya kesenangan
inderawi, tetapi juga terletak di dalam hati.
B. Aliran
dalam Filsafat Nilai
Ada
beberapa aliran dalam filsafat nilai, yaitu :
1.
Aliran objektifisme, mengatakan
bahwa nilai itu terletak pada objek itu sendiri, sama sekali lepas atau tidak
tergantung dari keinginan subjek atau kesukaan manusia. Nilai itu sudah ada
sebelum orang itu menilai. Jadi nilai itu adanya absolut. (Parmono,
1991:9). Salah seorang tokoh dari aliran ini adalah Plato, yang mengatakan
bahwa nilai merupakan dunia yang tetap dan ternyata, nilai berada di dalam
dunia konsep, dunia ide. Sedangkan Prof. E.C Spoulding mengatakan bahwa :
nilai-nilai adalah "subsistens" yang berexistensi dalam ruang dan
waktu, karena subsisten nilai-nilai itu bebas dari keinginan dan kesukaan
manusia (Parmono, 1991:10).
2.
Aliran subjektifisme, mengatakan
bahwa nilai sama sekali tergantung atau ditentukan oleh subjek. Edmund Burke
mengatakan bahwa keindahan ditentukan oleh selera. Suatu objek baru bernilai
apabila diinginkan atau didambakan oleh subjek. Subjeklah yang memasukkan nilai
ke dalam objek, sehingga objek itu bernilai (Parmono, 1991:10).
Dengan
kedua aliran yang mempunyai sudut pandang yang berbeda, dimana objektifisme
mendasarkan pandangan pada objek yang berdiri sendiri, terlepas dari pengaruh
subjek, sedangkan subjektifisme memfokuskan pada peranan dan pengaruh subjek
semata.
- Oleh karena setiap aliran mempunyai kelemahan, maka lahirlah aliran ketiga yaitu aliran yang berprinsip menyatakan bahwa nilai itu tidak semata-mata terletak pada objek dan juga tidak terletak pada subjek, artinya hanya kepunyaan dunia batin. Salah seorang tokoh aliran ini, George Santayana mengatakan keindahan tidak hanya mempunyai nilai, tetapi juga dinikmati oleh yang melihatnya. Nilai itu merupakan hasil interaksi antara subjek dan objeknya.
- Aliran Pragmatisme, Sesuatu itu bernilai apabila dapat memberikan manfaat atau kegunaan, misalnya lembu. Bagi seorang petani lembu mempunyai fungsi sebagai teman bekerja mengerjakan sawah dan ladangnya. Bagi seorang pedagang, lembu merupakan aset dalam bidang ekonomi. Dan bagi umat beragama Hindhu, lembu menjadi binatang kendaraan dewa Wisnu yang dikeramatkan.
5.
Aliran Esensi,
sesuatu dikatakan bernilai
indah, misalnya karena hanya itu sendiri. Bunga mawar itu indah
karena memang di dalam bendanya itu sendiri mmpunyai sifat indah.
C. Jenis dan Ragam Nilai
The
Liang Gie membedakan empat macam jenis nilai, yaitu :
1. kekudusan (holiness)
yaitu
kebaikan yang sekaligus merupakan kebenaran. Maksudnya yang memiliki
kepercayaan maka sesuatu yang dianggap kudus atau suci pastilah merupakan suatu
kebaikan yang dikejar dan sekaligus diyakini sebagai kebenaran.
2. Kebaikan (goodness)
yaitu
kekudusan yang sekaligus merupakan keindahan. Maksudnya kebaikan biasanya
merupakan sesuau hal yang dianggap luhur atau kudus dan sekaligus dirasakan
sebagai hal yang indah, sehingga perlu diulang-ulang melakukannya untuk
memperbesar atau melangsungkan terus perasaan senang yang diperoleh.
3. Kebenaran (thruth)
yaitu
keindahan yang sekaligus merupakan kekudusan. Maksudnya kebenaran merupakan
sesuatu hal yang menyenangkan karena indah dan dengan kekudusan sebagai
keberhargaan yang universal dan patut dimiliki terus-menerus.
4. Keindahan (beauty)
yaitu
kebenaran yang sekaligus merupakan kebaikan. Maksudnya sesuatu yang betul-betul
indah merupakan suatu kebenaran bagi yang dapat menikmati dan sekaligus juga
sesuatu hal yang baik sehingga ingin dinikmati terus (The Liang Gie, 1976:162).
Dari
empat jenis nilai yang diuraikan di atas, masing-masing mewujudkan menjadi :
a. kekudusan menjadi
nilai religius
b. Kebaikan menjadi nilai
etis
c. Kebenaran menjadi
nilai intelektual
d. Keindahan menjadi
nilai estetis
Dari
jenis-jenis nilai tersebut, ternyata nilai mempunyai ragam nilai yang menurut
The Liang Gie dalam bukunya Dari Administrasi ke Filsafat dapat
diklasifikasikan menjadi :
1. Nilai Instrumental
Yaitu nilai yang berfungsi sebagai
suasana atau alat untuk mencapai sesuatu hal lain, termasuk sesuatu nilai
apapun yang lain. Ragam nilai ini pada umumnya terdapat pada benda.
2. Nilai Inheren
Yaitu nilai yang umumnya hanya
melekat pada benda yang mampu secara langsung dan sekaligus menimbulkan sesuatu
pengalaman yang berharga atau baik, seperti kepuasan.
3. Nilai Kontributif
Yaitu nilai dari sesuatu hal atau
pengalaman sebagai bagian dari keseluruhan menyumbang pada keberhargaan
dari keseluruhan itu.
4. Nilai Intrinsik
Yaitu nilai dari suatu pengalaman yang
bersifat baik atau patut dimiliki sebagai tujuan tersendiri dan untuk
pengalaman itu sendiri (The Liang gie, 1978:170).
D. Katagori Nilai Estetik
Nilai
estetis sebagai salah satu jenis nilai manusiawi (nilai religius, nilai etis,
nilai intelektual) menurut The Liang Gie, tersusun dari sejumlah nilai yang
dalam estetika dikenal sebagai kategori-kategori keindahan atau
kategori-kategori estetis. Pada umumnya filsuf membedakan adanya tiga pasang,
yaitu :
1. Kategori yang agung dan yang elok
2. Kategori yang komis
dan yang tragis
3. Kategori yang indah
dan yang jelek
akhirnya Kaplan menambahkan
kecabulan (obscenity) sebagai suatu kategori estetis. (The Liang
Gie, 1978:169).
Ahli
estetika Jerman dari abad ke-19 Adolf Zeising mengemukakan pensistematisan
kategori-kategori keindahan menjadi 6 ragam yang disusun menurut lingkaran
warna primer dan sekunder sebagai berikut :
1. Merah : murni
indah
2. Charming
Orange : menarik
3. Comic
(komis) : kuning
4. Humoris : hijau
5. Tragis : biru
(tragis)
6. Ungu
sublime : (agung)
Menurut
Zeising kategori yang murni indah bersifat menyenangkan atau menimbulkan
perasaan senang pada orang. Kategoti yang menarik membangkitkan antara lain
kekaguman. Kategori yang komis dapat menggelikan hati orang. Kategori yang
humoristis dapat menimbulkan rasa terhibur atau lucu. Kategori yang tragis
mengakibatkan perasaan yang sedih, sedang kategori yang agung membuat orang
sangat terkesan karena kemegahan atau kedahsyatan.
Kategori yang agung baru disebut-sebut oleh para ahli keindahan
dalam abad ke-18. Berlainan dengan kategori yang murni indah, kategori yang
agung diakui membangkitkan pada orang yang mengamatinya suatu perasaan takjub
karena sifat-sifatnya yang impressive, majestic, glorius (keren
mengesankan, megah hebat, meriah gemilang), dan bahkan kadang-kadang dahsyat.
Kebanyakan ahli estetika berpendapat bahwa kategori yang agung dan kategori
yang indah dapat ada secara bersamaan. Tetapi tokoh pemikir Inggris, Edmund
Burke (172-1797) menyatakan bahwa kedua kategori itu saling menyisihkan dan
berlawanan.
Teori-teori humor
Kategori
yang komis dan kategori yang humoris membangkitkan pada orang perasaan yang
menggelikan, yang membuat tertawa, yang menghibur dan yang lucu. Khusus pada
kategori yang humoris selain membuat orang tertawa atau tersenyum, juga dapat
dijadikan sarana untuk secara halus atau secara tak langsung menyindir,
mengejek, menghantam, dan melakukan pembalasan kepada pihak lain kawan atau
lawan.
Lelucon yang humoris kini banyak diciptakan orang dalam masyarakat
sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan atau menyampaikan suatu maksud.
Dengan demikian lahirlah berbagai humor. Istilah humor menurut Martin Eshleman
dewasa ini dipakai secara luas untuk menunjuk pada setiap hal yang merangsang
kecenderungan orang pada tertawa yang lucu (everything that appelas to man's
disposition toward comic laughter). Para ahli estetika kini telah
mengembangkan berbagai teori humor untuk menunjukkan dan menerangkan apa
sesungguhnya yang terdapat pada sesuatu hal yang membangkitkan gelak tertawa
lucu pada orang-orang. Dalam garis besarnya berbagai teori humor itu dapat digolongkan
menjadi tiga macam :
1. Teori Keunggulan (Superiority theory)
2. Teori ketaksesuaian (Incongruity theory)
3. Teori pembebasan (Relief theory)
1). Teori
keunggulan menekankan bahwa inti humor ialah rasa lebih baik, lebih tinggi,
atau lebih sempurna pada seseorang dalam menghadapi sesuatu keadaan yang
mengandung kekurangan atau kelemahan. Menurut teori ini, seseorang akan tertawa
bilamana mendadak memperoleh perasaan unggul karena dihadapkan pada pihak lain
yang melakukan kekeliruan atau mengalami hal tak menguntungkan. Teori ini dapat
dipakai untuk menerangkan mengapa para penonton tertawa terbahak-bahak melihat
badut sirkus yang terbentur tiang, jatuh tersandung, melakukan aneka
kekeliruan, atau perilakunya menunjukkan berbagai ketololan.
2). Teori ketaksesuaian menjelaskan bahwa humor
timbul karena perubahan yang sekonyong-konyong dari sesuatu situssi yang sangat
diharapka mejadi suatu hal yang sama sekali tidak diduga atau tidak pada
tempatnya. Tertawa terjadi karena harapan yang dikacaukan (frustated
expectation) sehingga seseorang dari suatu sikap mental dilontarkan ke
dalam sikap mental yang sama sekali berlainan.
3). Menurut
teori pembebasan, inti dari humor ialah pembebasan atau pelepasan dari kekangan
yang terdapat pada diri seseorang. Karena berbagai pembatasan dan larangan yang
ditentukan oleh masyarakat, dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri
seseorang mendapat kekangan atau tekanan. Bilamana kekangan/tekanan itu dapat
dilepaskan atau dikendorkan oleh misalnya lelucon sex, sindiran jenaka, atau
ucapan nonsense, maka meledaklah perasaan orang dalam bentuk tawa.
Menurut tokoh psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), lelucon
memiliki kimiripan dengan impian, yakni kedua-duanya pada dasarnya merupakan
sarana untuk mengatasi kekangan (censor) yang datang dari luar atau
telah tumbuh dalam diri seseorang. Dalam impian, ide-ide yang terlarang dapat
diserongkan atau diselubungi, sedang dalam kelakar orang bisa menyelipkan
kecaman, cacian, atau pelepasan diri dari apa saja secara tidak begitu keras
dan langsung.
Menurut
Hans Eyeseck dan Glen Wilson, segenap humor dapat dibedakan menjadi 4 ragam
atau kategori, yaitu :
1. Humor yang disebut "nonsense". Ragam humor ini
tidak berisi sindiran, serangan dan lelucon sex, melainkan menggunakan berbagai
teknik permainan kata atau unsur-unsur yang tak sesuai untuk membangkitkan
gelak tertawa pada orang .
2. Humor yang disebut "satire" dan berisi sindiran
terhadap orang, pejabat, kelompok atau lembaga. Ini merupakan semacam serangan
tak langsung atau kecaman halus yang ditujukan kepada suatu pihak tertentu.
3. Humor agresi secara langsung yang berisi kekerasn fisik,
kebiadaban, penghinaan dan penyiksaan yang sadis.
4. Humor berisi sesuatu lelucon sex yang bisa ditampilkan
secara kasar sekali atau amat halus.
Terakhir
perlu dibahas tentang kategori yang jelek. Tampaknya memang agak janggal bahwa
salah satu kategori keindahan adalah kejelekan. Hal yang jelek bersifat
kontradiktif terhadap hal yang indah. Kejelekkan tidaklah berarti kosongnya
atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan
mengacu pada sifat-sifat yang nyata-nyata bertentangan dengan sifat indah.
Misalnya kalau ketertiban pada sesuatu hal dianggap menimbulkan perasaan senang
sehingga hal itu dinyatakan indah, maka hal yang jelek bukanlah kecilnya
ketertiban melainkan suatu keadaan yang amat kacau balau. Kejelekkan
menimbulkan pada orang perasaan muak dan mual. Hal yang jelek kini dianggap
mempunyai nilai estetis karena dapat membangkitkan sesuatu emosi tertentu yang
negatif, suatu nilai estetis yang negatif,yang bertentangan dengan sifat-sifat
indah. Oleh karena itu, dapatlah dimengerti kalau belakangan ini ada produser
film yang menyajikan tokoh-tokoh jelek atau seniman yang menciptakan sesuatu
karya seni menjijikkan yang tergolong pada kategori yang jelek.
BAB
IV
PENGALAMAN
ESTETIK
A. Pengertian Pengalaman Estetik
Pengalaman
estetik adalah tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis. Hal
ini merupakan persoalan psikologis sehingga pendekatan penelaahan menggunakan
metode psikologi. Ada tiga pengertian yang dapat dirangkum daripara ahli, yaitu
:
1. Pengalaman estetis terjadi karena adanya penyeimbangan
antara dorongan dorongan hati dalam menikmati karya seni.
2. Pengalaman estetis adalah suatu keselarasan dinamis dari
perenungan yang menyenangkan, menimbulkan perasaan-perasaan seimbang dan tenang
terhadap karya seni yang diamatinya atau terhadap suatu objek yang
dihayatinya,sehingga tidak merasa ada dirinya sendiri.Pengalaman estetis jenis
ini berhubungan dengan pengalaman mistis.
3. Pengalaman estetis adalah suatu pengalaman yang utuh dalam
dirinya sendiri tanpa berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya, bersifat tidak
berkepentingan (disinterested) dari pengamatan yang bersangkutan. Pengalaman
tersebut adalah pencerapan itu sendiri dan merupakan nilai intrinsik.
John
Hospers menyebut perbuatan yang demikian ini mencerap demi pencerapan (perceive
for perceiving's) atau juga pencerapan demi untuk pencerapan itu sendiri
(perceiving for its own sake) dan tidak untuk keperluan suatu maksud yang lebih
jauh (The Liang Gie, 1976).
B. Teori Pengalaman Estetik
- Teori Jarak Psikis (psyhical distance) dari E. Bullough. Teori ini ditulis dalam bukunya yang berjudul “Psyhical Distance as factor in Art and Aesthetic Principle”. Bullough mempergunakan metode introspeksi dari psikologi yakni pengamatan diri dengan jalan merenungkan pengalaman-pengalaman sendiri. Bullough berpendapat bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan seni, orang justru harus menciptakan jarak psikis diantara dirinya dengan hal-hal apapun yang dapat mempengaruhi dirinya itu. Hal-hal yang dapat mempengaruhi diri seseorang misalnya adalah segi-segi kegunaan dari sesuatu benda untuk keperluan/tujuan orang itu. Kebutuhan dan tujuan praktis itu harus dikeluarka agar perenungan dan tinjauan seseorang secara estetis terhadap bendanya itu semata-mata menjadi mungkin.
- Teori Einfuhlung (teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri ke dalam benda estetis) yang dikemukakan oleh Friederich T. Vischer (1807-1887).
Menurut Vischer seorang pengamat
karya seni (benda estetis apapun) cenderung untuk memancarkan (memproyeksikan)
perasaannya ke dalam benda itu, menjelajahi secara khayal bentuk dari benda
tersebut dan dari kegiatan itu menikmati sesuatu yang menyenangkan.
Teori ini dikembangkan oleh Lipps di dalam bukunya Aesthetic
yang terdiri 2 jilid. Dalam garis besarnya teori Lipps menyatakan
bahwa kegiatan estetis adalah kegiatan seseorang yang dari situ timbul suatu
emosi estetis khas yang terjadi karena perasaan itu menemukan suatu kepuasan
atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif dari karya seni tersebut.
Nilai dari tanggapan objektif orang tergantung pada kwalitas objektif dari
benda estetis yang bersangkutan.
Teori
Lipps ini dalam buku E.F Carritt (The Theory of Beauty) dirumuskan sebagai
kesenangan estetis adalah suatu kenikmatan dari kegiatan kita sendiri didalam
suatu benda. Pernyataan ini yang kelihatannya merupakan suatu pertentangan
dalam kata-kata, sebagaimana diterangkan berarti bahwa kita menikmati diri kita
sendiri bilamana diobjektifkan atau menikmati suatu benda sejauh kita hidup di
dalamnya (The Liang Gie, 1976;54).
C. Rintangan Pengalaman Estetik
Dalam
pengalaman estetik, mengalami hambatan jika di dalam diri si pengamat terdapat
sikap:
1. Sikap Praktis: apabila seseorang mengamati pemandangan yang
indah dengan tujuan untuk kepentingan praktis, misalnya membangun hotel, rumah
makan dan lain-lain.
2. Sikap ilmiah: apabila seseorang mendengarkan lagu klasik
yang diselidiki adalah asal usulnya, diciptakan oleh siapa, dimana dan kapan
lagu itu dibuat.
3. Sikap melibatkan diri: apabila seseorang mempersamakan
nasipnya dengan nasip seseorang yang ada dalam buku novel yang baru saja ia
baca atau fim yang baru saja ia tonton.
4. Sikap emosional: apabila ada seseorang terdapat hasrat yang
menyala-nyala untuk menikmati karya seni, atau kesadaran diri yang
berlebih-lebihan dalam penikmatan itu.
Menurut
Stephen Pepper, musuh-musuh daripada pengalaman estetis adalah adanya
kesenadaan (monoton) dan kekacau-balauan (confusion). Dan hal yang merusak
pengalaman estetis itu, dalam karya seni yang baik, harus diusahakan adanya
keanekaan (variety) dan kesatuan (unity) yang seimbang (The Liang Gie,
1976).
BAB
V
FILSAFAT
SENI
A. Pengertian Filsafat Seni
Filsafat
seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetik filsafati yang khusus
menelaah tentang seni. Lucius Garvin memberikan batasan tentang filsafat seni
sebagai "the branch of philosophy which deals with the theory of art
creation, art experience, and art criticism". (cabang filsafat yang
berhubungan dengan teori tentang penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik
seni). Sedang definisi Joseph Brennan merumuskan sebagai "the study of
general principles of artistic creation and appreciation." (penelaahan
mengenai asas-asas umum dari penciptaan dan penghargaan seni).
Pengertian
seni ini dipakai dalam bermacam-macam arti, antara lain :
1. Sei sebagai kemahiran (skill) dilawankan dengan ilmu
(science). Sering dikatakan bahwa ilmu mengajar seseorang untuk mengetahui dan
seni mengajar seseorang untuk berbuat, keduanya saling melengkapi.
2. Seni sebagai kegiatan manusia atau (human activities)
dilawankan dengan kerajinan (craft). Ciri-ciri yang membedakan art dan craft
ialah bahwa sni bersifat perlambang dan menciptakan realita baru, sedangkan
kerajinan merupakan pekerjaan rutin yang disesuaikan dengan kegunaan praktis.
3. Seni sebagai karya seni (work of art atau artwork)
dilawankan dengan benda-benda alamiah. Karya seniadaalah merupakan produk dari
kegiatan manusia. Dalam artian yang seluas-luasnya seni meliputi setiap benda
yang dibuat manusia utnuk dilawankan dengan benda-benda alamiah.
4. Seni sebagai seni indah ( fine art) dilawankan dengan seni
berguna (useful art). Seni indah dinyatakan sebagai seni yang terutama
bertalian dengan pembikinan benda-benda dengan kepentingan estetis, sehingga
berbeda dari seni berguna atau terapan yang maksudnya untuk kefaedahan.
5. Seni sebagai seni penglihatan (visual art) dilawankan dengan
seni pendengaran.
B. Teori Lahirnya Seni
Teori lahirnya seni membahas mengenai dorongan yang menyebabkan
lahirnya seni. Abdul Kadir (1975: 3-4) mengemukakan bahwa berdasarkan sejarah
estetika terdapat tiga teori tentang dorongan-dorongan manusia menciptakan
seni. Ketiga teori itu adalah :
1. Teori Bermain (Theory of Play)
Berdasarkan teori ini lahirnya seni
adalah semata-mata untuk kesenangan mengisi waktu yang terluang belaka.
2. Teori Kegunaan (Theory of
Utility)
Teori ini juga mengungkapkan bahwa
semua aktifitas artistik seluruhnya ditujukan untuk kepentingan praktis dan
kebutuhan sosial. Jadi teori ini berdasarkan pada aspek kegunaan.
3. Teori Magis dan Religi (Theory of Magic
and Religion)
Teori Magis dan Religi tentang
lahirnya seni antara lain mengungkapkan bahwa kehadiran seni adalah untuk mendapatkan
tenaga-tenaga gaib untuk keperluan berburu dan sebagainya. Pendapat ini
disampaikan oleh Salmon Reinoch.
Pendukung teori magis dan religi lainnya adalah S. Gideon. Gideon
berpendapat bahwa seni merupakan jalan atau cara yang lazim untuk mendapatkan
kekuatan dalam memperoleh kekuasaan. Usaha untuk memperoleh kekuatan tersebut
ditempuh dengan cara mendapatkan kemahiran membuat garis-garis batas (outline)
gambar-gambar dari binatang yang akan ditangkap.
C. Aliran-aliran dalam Seni
Seni sebagai hasil kreasi akal budi dan rasa manusia menciptakan
sesuatu yang baru mempunyai bentuk dan corak
yang beraneka ragam. Aliran-aliran dalam seni ini
biasanya untuk seni lukis, diantaranya :
1. Aliran Naturalisme
Bertujuan untuk melukiskan
bentuk-bentuk alam yang sewajarnya sesuai dengan keadaan alam (nature). Manusia
beserta fenomenanya diungkapkan sebagaimana adanya seperti tangkapan mata,
sehingga karya yang dilukiskan seperti hasil foto atau tangkapan lensa kamera.
Jika yang dilukiskan sebuah pohon kelapa, maka lukisan tersebut berusaha
menggambarkan secara persis pohon kelapa yang ada di alam dengan susunan,
perbandingan, perspektif, tekstur, pewarnaan dan lain-lainnya disamakan setepat
mungkin sesuai dengan pandangan mata ketika melihat pohon kelapa tersebut apa
adanya (Nooryan Bahari, 2008:119).
2. Aliran Ekspressionisme
Aliran ini bermaksud mengungkapkan
perasaan-perasaan dan penderitaan batin yang timbul dari pengalaman diluar,
yang ditanggapi tidak hanya dengan panca indra tetapi juga dengan jiwa. Seniman
Belanda, Vincent van Goh (1853-1890),dianggap sebagai pelopor aliran
ekspresionisme bahkan dia dianggap sebagai bapak seni lukis modern. Tema
lukisannya yang awal banyak melukiskan kesibukan pekerja-pekerja tambang kasar
dengan segala suka dukanya. Ia lebih menitik beratkan watak, menangkap kesan
secara langsung, kemudian diungkapkannya dengan warna berat.
3. Aliran Impressionisme
Dalam bahasa Indonesia, arti impression adalah
kesan, jadi karya impressionisme adalah karya seni lukis yang ingin mengungkap
kesan. Sekelompok pelukis di Prancis pada akhir abad ke-18, mulai tidak senang
dengan cara melukis akademi yang selalu menggambar di studio. Jika ingin
melukis sapi di padang rumput, mereka mengambil sapi sebagai model dan dibawa
ke studio. Kelompok pembaharu mempunyai anggapan bahwa alam sebagai guru yang
terbaik, membuat mereka menghambur ke jalan-jalannya, ke ladang, ke pinggir
sungai untuk menggambar secara langsung. Lantaran di luar matahari mulai
menyengat, mereka menjadi blingsatan karena kepanasan, sehingga mereka melukis
dengan cepat baik karena panas maupun karena perjalanan matahari dari timur ke
barat mempengaruhi banyangan dan pewarnaan. Secara otomatis, mereka
memperhatikan keberadaan dan gerakan cahaya. Lambat laun mereka monomersatukan
cahaya, dan menomerduakan unsur-unsur yang lain ( Nooryan Bahari,
2008:120-121).
Lukisan Claude Monet
(1840-1926) yang berjudul Impresi : Fajar Menyingsing yang
dipamerkan pada tahun 1874. Lukisan Monet yang berupa kesan benda berwarna
ditolak oelh kritikus seni pada waktu itu dan diejek sebagai lukisan kesan yang
belum selesai (bahasa Perancis : Impresion). Melukiskan kesan alam yang
diterima dengan spontan, cepat dan pasti, bagian-bagian yang kecil tidak
diindahkan, yang dipentingkan keseluruhannya hingga suasana bentuk, gerak dan
sinar itu dilukiskan tidak terpisah.
4. Aliran Romantisme
Romantisme adalah gaya
atau aliran seni yang menitikberatkan pada curahan perasaan, reaksi emosional
terhadap fenomena alam, dan penolakan terhadap realisme. Dalam seni lukis
gerakan ini menghasilkan kebebasan baru dalam menata komposisi, melahirkan
citra goresan kuas terbuka, pembaharuan dan tingkatan warna yang lembut.
Tokoh romantik yang
terkenal dari Perancis adalah Theodore Gericault (1791-1924) dan Eugene
Delacroix (1798-1863). Mereka senatiasa melukiskan kejadian-kejadian yang
dahsyat, kegemilangan sejarah serta peristiwa yang sangat menggugah perasaan.
5. Aliran Realisme
Aliran ini tumbuh di
Perancis pada tahun 1850an. Realisme melukiskan kenyataan hidup pada jaman itu
dan biasanya memperhatikan kaum malang di dalam masyarakat dan tidak pernah
menyembunyikan kesusahan. Pelopor realisme adalah Gustave Courbet, seorang yang
sederhana penduduk Ornans di Perancis timur. Courbet(1819-1877) menentang
aliran klassisisme yang dianggapnya penuh dengan kepalsuan dan mengecam
kelompok romantisme karena mencampurbaurkan doktrin politik dengan doktrin seni
sehingga mengabaikan segi seni demi tercapainya tujuan politik bagi seniman.
6. Aliran Kubisme
Seni rupa yang kubistis, mempunyai
wujud tang bersegi-segi dan berkesan monumental, terutama untuk seniu patung.
Bapak aliran kubisme adalah Pablo Picasso dan G. Braque.
Pada perkembangannya ada
dua tingkatan kubisme. Yang pertama, kubisme analitis. Pada
tahap ini pelukisnya memecahkan setiap objek yang kita kenal seperti wajah
orang, biola, meja, dan lain-lain sampai menjadi kubus-kubus yang kemudian
menyerupai susunan balok-balok dalam bentuk semacam patung yang berkesan tiga
dimensi.Yang kedua, kubisme sintetik. Setelah merobek-robek
objek menjadi bentuk yang paling dasar, kemudian menjelmakan kembali pada suatu
struktur yng mungkin mirip atau tidak terhadap objek yang semula. Sesudah itu
objek dilukis secara realistis dalam susunan komposisi tertentu. Kesan lukisan
ini akhirnya menjadi dua dimensional.
7. Aliran Dadaisme
Aliran ini lahir di
Jerman pada tahun 1916, dengan maksud sebagai reaksi atas kekejaman perang
dunia pertama yang berakibat keputusasaan pada seniman-seniman Jerman,
khususnya dan kemudian menjalar ke Perancis, bahkan sampai ke Amerika. Aliran
ini mengetengahkan lukisan yang bersifat kekanak-kanakan. Kadang-kadang lucu
dan menggelikan, bombastis, naif, tetapi mengandung keindahan kanak-kanak yang
murni. Pelopor aliran ini adalah Picasso.
8. Aliran Surealisme
Surealisme pada awalnya adalah
gerakan dalam sastra yang ditemukan oleh Apollinaire untuk menyebut
dramanya. Pada tahun 1924 istilah ini diambil alih oleh Andre Beton
untuk manifesto kaum surealis. Dalam kreatifitas seninya, kaum surealis
berusaha mambebaskan diri dari kontrol kesadaran, menghendaki kebebasan besar,
sebebas orang bermimpi.
Aliran ini muncul pada
tahun 1924. aliran ini mengawinkan dunia yang tidak nyata dengan dunia nyata.
Teori dan tekhnik dari psychoanalitis Freud telah menjadi dasar tekhnik dasar
pengungkapan aliran ini, yaitu :
a.Surealisme
Fotografis : disini bentuk objeknya masih kita kenal walaupun
tidak dalam bentuk yang wajar .
b.Surealisme
morphic : aliran ini tidak bersumber pada ingatan sebagai
“tempat objek”. Lukisannya hampir abstrak (Budhy Raharjo J 1986;166-192).
D. Nilai Seni
Karya seni sebagai hasil cipta manusia memiliki nilai
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Jika seni tidak bernilai maka seni
tidak akan diciptakan orang dan tidak mungkin berkembang hingga dewasa ini.
Seni tidak hanya menyajikan bentuk-bentuk yang dapat diserap indera manusia
semata, tetapi juga mengandung tujuan abstrak yang bersifat rohaniah, yaitu
suatu makna yang dapat memberi arti bagi manusia.
Karya Seni yang mengandung makna inilah yang disebut seni
bernilai. Nilai-nilai tersebut :
1. Nilai Kehidupan
Nilai-nilai yang
terdapat dalam kehidupan manusia yang bersifat mendasar sesuai harkat dan
cita-cita manusia ditampilkan dalam media seni. Misalnya ide kebahagiaan, ide
kebaikan, ide keadilan, ide kebenaran dan lain-lain.
2. Nilai Pengetahuan
Karya seni dapat
memberikan suatu pemahaman terhadap alam sekitarnya dan berbagai aspek
kehidupan yang melingkupinya. Misalnya karakteristik tata budaya atau adat
kebiasaan suatu masyarakat. Hal ini bersifat informative yang akan menimbulkan
pengetahuan terhadap tata kehidupan yang ada.
3. Nilai Keindahan
Dalam hal ini
pengertiannya menyangkut perasaan manusia. Dalam realitasnya memang tidak semua
seni itu indah, seni tidak hanya mencoba untuk menyatakan keindahan. Keindahan
hanya merupakan salah satu diantara hal-hal yang dicoba untuk dinyatakan oleh
seni.
4. Nilai Inderawi dan Nilai Bentuk
Nilai Inderawi
menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari
ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Nilai bentuk menyebabkan
seseorang mengagumi bentuk besar (struktur) dan bentuk kecil (tekstur).
5. Nilai Kepribadian
Perlunya watak atau
karakteristik tertentu yang dapat membedakan yang satu dengan yang lain.
Artinya sebuah karya seni seharusnya memiliki gaya (style) tersendiri
yang didukung oleh unsur-unsur atau ciri-ciri tertentu yang tersusun secara
keseluruhan dan bersifat tetap, misalnya dalam hal seni bangunan (arsitektur).
Gaya arsitektur rumah adat Minangkabau akan berbeda dengan gaya arsitektur
rumah adat Toraja.
6. Nilai keindahan Inderawi dan nilai bentuk
Nilai keindahan inderawi
menyebabkan seorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari ciri-ciri
inderawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Nilai keindahan bentuk
menyebabkan seseorang mengagumi bentuk besar (struktur) dan bentuk kecil
(texture).
E. Sifat Dasar Seni
Seni merupakan hasil kreasi akal budi dan rasa manusia yang hidup
sepanjang masa dan dikagumi oleh manusia yang tidak terbatas pada ruang dan
waktu. Sifat dasar seni itu adalah
1. Seni bersifat kreatif
Seni yang sesungguhnya
senantiasa kreatif, selalu menghasilkan sesuatu yang baru. Seni sebagai suatu
rangkaian kegiatan manusia selalu menciptakan suatu realitas yang
baru, sesuatu apapun yang tadinya belum ada atau belum pernah muncul dalam
gagasan seseorang.
2. Seni bercorak individualis
Seni senantiasa
dilakukan oleh seseorang individu tertentu dan hasilnya juga merupakan suatu
individualitas tertentu yang khas.
3. Seni adalah ekspresif
Seni menyangkut perasaan
manusia dan karena itu penilaiannya juga harus memakai ukuran perasaan estetis.
4. Seni adalah abadi
Sekali suatu karya seni
telah selesai diciptakan sebagai suatu relitas baru, karya itu akan tetap
langgeng sepanjang zaman walaupun seniman penciptanya sudah tidak ada lagi.
5. Seni bersifat semesta
Seni berkembang di
seluruh dunia dan tumbuh sepanjang masa, karena manusia memiliki perasaan dan
seni adalah bahasanya yang melakukan komunikasi antar mausia dengan
bahasa perasaan(The Liang Gie;1996,46).
F. Kritik Seni
Kritik seni termasuk dalam filsafat seni.
Sifatnya memang dapat mendua, yakni sebagai bidang pengetahuan dan sebagai
proses kegiatan. Tapi dalam arti umum sesungguhnya kritik adalah suatu
penafsiran yang beralasan dan penghargaan terhadap sesuatu hal berdasarkan
pengetahuan, ukuran baku dan cita rasa yang bertalian dengan hal itu dari orang
yang melakukannya. Jadi kritik lebih merupakan suatu perbuatan yang bersifat
pribadi, berdasarkan keyakinan subyektif dan cita rasa perseorangan.
Kritik seni adalah suatu kegiatan
yang ditujukan kepada satu karya seni tertentu (atau paling banyak kepada
sekumpulan karya seni yang tergolong dalam style yang sama,
misalnya sejumlah patung yang dibuat oleh seorang seniman saat itu). Jadi hasil
kritik itu tidak bisa berlaku umum untuk karya-karya seni lainnya dari orang
yang sama, apalagi dari seniman lainnya. Kini para ahli estetik umumnya sepaham
bahwa peranan kritik seni bukanlah untuk memberi nilai A, B, C dan D atau angka
1 sampai 10 terhadap sesuatu karya seni seperti halnya memeriksa kertas ujian,
melainkan memperbesar pemahaman, meningkatkan apresiasi atau membuka mata dari
publik terhadap sesuatu yang bermutu yang mungkin terluput dari pengamatan
mereka. Dalam hubungan ini maka kritik seni dapatlah dipandang sebagai
penerapan dari estetik terhadap karya seni satu per satu. Untuk menjadi ahli
kritik seni yang baik sehingga dapat memberikan tafsiran yang tepat dan
penilaian yang beralasan kuat, seseorang harus memilliki pengetahuan filsafat
seni dan mungkin juga cabang-cabang estetik lainnya (The Liang Gie:1976,32).
BAB
VI
SENIMAN
A. Pengertian
Jika dilihat dari profesinya, seniman mempunyai kelebihan atau
perbedaan khusus dalam cara memandang terhadap hal-hal disekelilingnya.
Louis O.Kattsoff dalam bukunya Element of Philosophy menganggap,
bahwa dorongan-dorongan artistic seniman dalam mengungkapkan perasaan-perasaan
merupakan masalah psikologis yang bersifat
suigeneris. (L.O>Kattsoff, 1970).
Dilihat dari uraian di atas, ternyata seniman dalam mengungkapkan
persepsinya lebih mengutamakan perasaan terhadap diri dan lingkunganya.
Pandangan seperti ini sesuai dengan unsur kodrati manusia, bahwa keindahan
hanya dapat dirasakan. Seniman adalah insan yang menturutkan kata hatinya,
orang yang menganak-emaskan emosinya dan mengabaikan
rasionya. (Sudarso, 1977).
Pendapat yang mengabaikan rasio dalam karya seni tidak selalu
benar. Banyak karya seni yang dibuat dengan pertimbangan rasio. Misalkan dalam
seni lukis, sebuah pemandangan alam yang naturalistik harus memperhitungkan
perspektif dan bentuk buah dan pohon dibagi dengan petimbangan logis. Walaupun
demikian diakui penekanan perasaan sangat dominan dalam proses penciptaan karya
seni.
Pada masa lalu, tidak ada perbedaan yang tegas antara seniman
dengan pengrajin atau tukang. Tetapi dengan
adanya perkembangan seni, para ahli mulai memperhatikan bahwa terdapat
perbedaan antara seniman dengan tukang atau pengrajin. Seniman dalam berkarya
selalu berubah dan berkembang, yang lebih khusus lagi mereka mempertahankan
bahwa karya seninya itu adalah ekspresi pribadi. Sedangkan tukang atau
pengrajin dalam berkarya selalu tetap, kontinyu dan lambat perkembangnnya dan
yang lebih khusus lagi kesemuanya itu ditujukan hanya untuk kegunaan semata.
Perbedaan lainnya ialah tukang atau pegrajin adalah seorang dengan
kemahiran mata dan tangan, sedangkan seniman memiliki kelebihan pengkhayalan
yang kreatif.
Suatu ciri khas seniman, dia disamping memiliki kemampuan
tersebut, juga memiliki kepekaan terhadap gejala-gejala yang ada di dalam
lingkungannya. Kemampuan seperti ini menurut J. Kets seorang penyair Romantik
(1795-1882) ialah "Negative Capability", yaitu kemampuan untuk
selalu dalam keadaan ragu-ragu, tidak menentu dan misterius tanpa mengganggu
keseimbangan jiwa (Suyadi, 1985).
Kemampuan negative capability identik dengan
proses mencari. Proses inilah yang menyebabkan seorang seniman seluruh hidupnya
penuh rasa ingin tahu, mendalaminya dan mendambakan keindahan yang ideal.
B. Teori Penciptaan
Karya Seni
Seniman,
dalam menciptakan hasil karyanya ada beberapa teori, diantaranya adalah teori
metafisis, ekspresi/pengungkapan dan teori psikologik.
1. Teori Metafisis
Teori seni yang bercorak metafisis merupakan salah satu teori yang
tertua, yakni berasal dari Plato yang dikembangkan oleh Schopenhauer. Mengenai
sumber seni, Plato mengemukakan suatu teori peniruan (imitation
theory). Ini sesuai dengan metafisika Plato yang mendalilkan adanya
dunia ide pada taraf yang tertinggi sebagai realita Illahi. Pada taraf yang
lebih rendah terdapat realita dunia ini yang merupakan cerminan semu dan mirip
dengan realita Illahi itu. Karya seni yang dibuat manusia hanyalah merupakan
mimesis (tiruan) dari realita dunia (The Liang Gie. 1976).
2. Teori Ekspresi (pengungkapan)
Tokoh teori ekspresi yang paling terkenal ialah filsuf Italia,
Beneditto Croce (1886-1952) dengan karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris "Aesthetics as Sciences of Expression and General
Linguistyic".
Beliau antara lain menyatakan bahwa
"art is expression of impression" (seni adalah mengungkapkan dari
kesan-kesan). Expression adalah sama dengan intuition, yaitu pengetahuan
intuitif yang diperoleh melalui pengkhayalan tentang hal-hal individual yang
menghasilkan gambaran angan-angan (image).
Dengan demikian pengungkapan itu terwujud pelbagai gambaran
angan-angan seperti misalnya : image warna, garis dan kata.
Bagi seseorang mengungkapkan berarti menciptakan seni dalam dirinya
tanpa perlu adanya kegiatan jasmaniah keluar. Pengalaman estetis seseorang
tidak lain adalah ekspresi dalam gambaran angan-angan. (The Liang
Gie. 1976).
3. Teori Psikologis
Teori-teori metafisis dari para filsuf yang bergerak di atas taraf
manusiawi dengan konsepsi-konsepsi tentang ide tertinggi atau kehendak semesta
umumnya tidak memuaskan, karena terlampau abstrak dan spekulatif. Sebagian ahli
estetik dalam abad modern menelaah teori-teori seni dari sudut hubungan karya
seni dan alam pikiran penciptanya dengan mempergunakan metode-metode
psikologis. Misalnya berdasarkan psikoanalisa keinginan-keinginan bawah sadar
dari seorang seniman.
Sedang karya seninya itu merupakan bentuk terselubung atau
diperhalus yang diwujudkan keluar dari keinginan-keinginan itu.
4. Teori Permainan
Suatu teori lain tentang sumber seni adalah teori permainan (play
theory) yang dikemukakan oleh F.Schiller. Asal mula seni adalah dorongan batin
untuk bermain-main (play impulse) yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan
semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubung
dengan adanya kelebihan energi yang harus dikeluarkan.
Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai
habis energinya untuk keperluan sehari-hari, kelebihan tenaga itu lalu
menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan
imaginative dan kegiatan yang akhirnya menghasilkan karya seni (The
Liang Gie, 1976).
BAB
VII
PERWUJUDAN
KEINDAHAN
Ada banyak keindahan di dunia ini. Manusia suka dengan keindahan,
dari keindahan tersebut maka manusia mengapresiasikannya menjadi
berbagai bentuk “nilai”. Dalam perkembangannya nilai-nilai yang terkandung
dalam keindahan tersebut membuat suatu kehidupan menjadi lebih bermakna dan
berati. Dari berbagai bentuk keindahan yang ada, maka keindahan tersebut dapat
dibedakan menjadi beberapa perwujudan, yaitu:
1. Keindahan alam
2. Keindahan seni
3. Keindahan moral
4. Keindahan intelektual
5. Keindahan absolut
(mutlak)
A. Keindahan Alam
Keindahan alam menampakkan diri pada
:
1. Keselarasan (harmony)
2. Ketakselarasan yang luar
biasa (extreme disharmony)
3. Kewarna-warnian (coloruful)
4. Ketenangan (calm, idyllic)
5. Keluasan tak terpahami
Keindahan
alam dapat bertalian dengan bentuk, ukuran, perimbangan dan warna.
Perilaku
alam mengikuti hukum-hukum tertentu, misalkan hukum tentang permukaan
pembungkus yang minimum (lawn of the minimum enclosing
area), hal ini nampak pada :
1. bola : kelapa,
semangka
2. lingkaran
: sarang tawon
3.
pilin : nebula, pakis, keong
Menur
Eric Newton : hal-hal yang indah dalam alam merupakan
suatu hasil dari perilaku alam dan perilaku itu mematuhi hukum-hukum tertentu.
Hasil perilaku itu menampakkan diri dalam suatu pola dan pola-pola
yang rumit itu akan terjadi/tercipta bilamana terjadi interaksi dari berbagai
fungsi.
Pola yang rumit itu dapat pula mewujudkan keindahan
alamiah.
Perbedaan antara keindahan alam dan
karya seni :
Keindahan alam
1. Hanya
salah satu atribut dari alam, karena alam diciptakan untuk berbagai
kemanfaatan.
2. Sukar
dinikmati secara estetis saja, karena memungkinkan pertimbangan-pertimbangan
lain.
3. Dalam
menyerapan keindahan alamiah, pengamat memindahkan perasaannya kepada benda
alam yang bersangkutan.
4. Keindahan
alamiah merupakan hasil tambahan dari fungsi pada sesuatu benda alam.
Keindahan seni
1. Merupakan
asensi dari karya seni
2. Khusus
diciptakan untuk dinikmati nilai estetisnya tanpa banyak pertimbangan lain.
3. Dalam
mencipta karyanya, seniman memindahkan perasaan estetis pada benda
ciptaannya untuk kemudian diteruskan kepada si pengamat.
4. Keindahan
seni merupakan hasil dari cinta seniman dan pemahamannya terhadap pola alam.
B. Keindahan dalam Seni
Pada
jamanYunani bentuk keindahan dalam karya seni terdapat pada unsur
: symmetria ( untuk seni penglihatan dan harmonia untuk
seni pendengaran).
Secara umum keindahan seni terdapat dalam : unity,
harmony, balance, contras dan disharmony.
C. Keindahan Moral
Keindahan
moral terdapat pada Ide kebaikan :menurut Plato terdapat pada watak
yang indah dan hukum yang indah.
Keindahan moral juga mempunyai arti
sesuatu yang baik.dilihat dari segi tingkah laku.
D. Keindahan Intelektual
Plotinus berpendapat bahwa keindahan moral terdapat
pada: ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Keindahan intelektual juga berarti ;buah pikiran yang indah
dan adat kebiasaan yang indah.
E. Keindahan Absolut (mutlak)
1 .Ada pada Tuhan
2. Tuhan itu indah dan menyengi
hal-hal yang indah
3. Tugas seniman adalah untuk lebih
mendekatkan diri sendiri dan
pengamat pada Tuhan
BAB
VIII
UNSUR-UNSUR
ESTETIKA INDONESIA
Konsep (pemikiran) tentang keindahan di Indonesia sudah ada pada
jaman dahulu, pada waktu kehidupan manusia masih primitif. Secara sadar atau
tidak, mereka sudah memberi hiasan pada perabot rumah tangga, alat pertanian,
alat berburu, dan menghias dirinya bila ada kegiaatan yang dianggap
penting(berburu, upacara adat, pemilihan kepala suku). Walaupun masih sangat
sederhana, hiasan itu tidak sekedar umsur pelengkap/penghias belaka, tetapi
mengandung unsur magis yamg dianggap sakral.
Hal
ini nampak dalam perilaku mereka yang menghiasi wajah ataupun tubuhnya dengan
goresan-goresan berwarna hitam dan putih (tolak bala) bila mereka akan
melakukan pekerjaan yang dipandang mempunyai makna, maksud dan tujuan yang
dianggap mulia. Mereka juga menghias senjatanya bila akan berburu dengan maksud
dan tujuan memberikan kekuatan magis pada senjatanya itu agar hasil buruannya
dapat bermanfaat bagi keluarganya. Dalam upacara keagamaan mereka membuat
sesaji, berdoa, berpakaian dan menghias diri, bernyanyi, menari dan memukul
gendang.Hal ini menunjukkan bahwa estetika lahir karena pemenuhan kebutuhan
kerohanian. Estetika tradisonal ini dalam perkembangannya tidak sama antar suku
dan daerah, ada yang punah, ada yang mengalami pembauran dan ada yang mengalami
perubahan.
Unsur-unsur estetika Indonesia
Unsur-unsur
estetika Indonesia terkandung dalam seni budaya, adat-istiadat, dan kegiatan ritual diantaranya
secara konkrit terdapat pada : ragam hias, batik, candi, musik, wayang, seni
tari dan upacara adat.
A. Ragam Hias
Ragam hias tradisional merupakan peninggalan nenek moyang dan
merupakan hasil dari seni budaya bangsa yang mempunyai nilai tinggi. Dalam
motif-motif yang digoreskannya, mengandung makna (arti) yang
dalam. Motif-motif itu biasanya berkaitan dengan pandangan hidup
dari sesuatu daerah/suku bangsa dimana ragam hias itu diciptakan. Oleh karena
itu perlu dicari apa arti (makna) yang tersembunyi di dalamnya dan untuk apa
motif-motif itu dibuat. Dalam ragam hias tradisonal, terkandung unsur-unsur
filsafati yang tercermin dalam bentuknya yang indah dan mengandung makna
simbolis, religius, etis dan filosofis.
Dalam
ragam hias itu biasanya menggunakan motif ; fauna, flora, alam semesta, dan
manusia atau gabungan dari unsur-unsur itu.
Di dalam unsur-unsur itu terkandung makna/ajaran bagaimana manusia
itu seharusnya berbuat dan bertingkah laku yang baik agar selamat di dunia dan
di akhirat.
Ragam
hias juga digunakan untuk sengkalan-sengkalan (sengkalan memed), yang ada pada
bangunan-bangunan kraton maupun gapura-gapura, yang berisi kapan bangungan itu
didirikan dan siapa raja yang berkuasa saat itu.
Dalam perkembangannya ragam hias tradisional perlu dilestarikan,
jangan sampai kehilangan maknanya sehingga yang tinggal hanya fungsi
dekoratifnya saja.
Untuk
melestarikan ragam hias tradisional tersebut ,ada tantangan yang perlu untuk
diantisipasi diantaranya:
1. Sikap praktis dan efisien:
dengan digunakannya mesin bubut dan alat bantu yang lain (cap) akan
menghemat tenaga dan beaya,sehingga yang dikerjakan secara tradisional memakan
beaya ekonomi tinggi
2. Sikap kreatif: ragam
hias tradisional mempunyai pola yang baku, sehingga kreatifitas dikawatirkan
akan menjadi penghambat karena akan menghilangkan nilai simboliknya.
3. Ekonomis: cenderung beaya ekonomi tinggi,sehingga menjadi
kendala.
Oleh
karena itu,ragam hias tradisional perlu
dilestarikan, disamping itu, kreasi baru dari para
seniman juga wajib untuk ditingkatkan, karena keduanya merupakan dua hal yang
saling melengkapi dan akan berguna untuk melestarikan seni budaya
bangsa.
B. Batik
Batik
sebagai karya seni termasuk seni indah dan seni berguna yang didalamnya sarat
kandungan makna filosofi. Hal ini terdapat pada Seni batik klasik
dan tradisional. Dikatakan dengan istilah “klasik” karena batik merupakan suatu
karya yang bernilai seni tinggi, berkadar keindahan dan langgeng, artinya tidak
akan luntur sepanjang masa. Sedangkan pengertian “tradisional” bahwa batik
dikerjakan dengan cara-cara dan kebiasaan yang berlangsung secara turun
temurun.
Sejarah dan Perkembangan Batik
Pada
awalnya, batik tulis hanya dikerjakan oleh putri-putri keraton sebagai pengisi
waktu luang, kemudian menyebar juga kepada “abdi dalem” atau
orang-orang yang dekat dengan keluarga keraton (Amri Yahya,1971;24).
Batik
sebagai salah satu karya seni budaya bangsa Indonesia telah mengalami
perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Perkembangan yang terjadi
membuktikan bahwa batik sangat dinamis dapat menyesuaikan dirinya baik dalam
dimensi ruang, waktu, dan bentuk. Dimensi ruang adalah dimensi yang berkaitan
dengan wilayah persebaran batik di Nusantara yang akhirnya menghasulkan sebuah
gaya kedaerahan misalnya batik Jambi, batik Bengkulu, batik Yogyakarta, batik
Pekalongan. Dimensi waktu adalah dimensi yang berkaitan dengan perkembangan
dari masa lalu sampai sekarang. Sedangkan dimensi bentuk terinspirasi dan
diilhami oleh motif-motif tradisional, terciptalah motif-motif yang indah tanpa
kehilangan makna filosofinya, misalnya Sekar Jagat, Udan Liris dan Tambal.
Pada
waktu batik tradisional diciptakan tidak lepas dari pengaruh adat istiadat,
kebudayaan daerah maupun pendatang, kepercayaan serta budaya dalam agama.
Pengaruh budaya Hindu terlihat pada motif meru, sawat, gurda, dan semen yang
merupakan simbol-simbol dalam kepercayaan Hindu. Pengaruh budaya Islam terlihat
adanya perubahan, dimana tidak ada bentuk binatang dan lambang dewa-dewa.
Meskipun unsur simbolisme jaman Hindu tetap ada, tetapi sudah distilir,
sehingga menjadi unsur dekoratif. Pengaruh Tionghoa, batik dengan motif Lok
Chan dan Encim. Pengaruh dari India dengan motif Cinde, Belanda dengan motif
Buketan dan Jepang dengan motif Hokokai. Sedangkan Pengaruh adat terlihat pada
batik tulis Irian Jaya dengan ragam hias suku Asmat. Pengaruh adat juga
terlihat pada batik tulis Kalimantan Timur dengan ragam hias lambang perdamaian
suku Dayak Bahau dan ragam hias Tongkonan Toraja, Sulawesi Selatan.
Berbicara
masalah batik klasik dan tradisional tidak lepas dari makna simbolik. Menurut
Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum, (Cassirer,
1987 : 40) makhluk yang dapat mengerti dan menggunakan simbol-simbol
(tanda-tanda). Manusia juga dapat menciptakan dan memahami makna dari
simbol-simbol itu, sehingga dapat dipakai sebagai norma, penuntun (petunjuk) ke
arah tingkah laku dan perbuatan yang baik.
Batik
sebagai karya seni, mengandung makna filosofi yang menarik untuk diteliti baik
dari segi proses,motif,warna,ornament,fungsi dan nilai dari sehelai batik yang
sarat akan kandungan makna simbolik.
a. Proses
Berbicara
masalah proses pembuatan sehelai kain batik klasik/tradisional melalui suatu
rangkaian yang panjang mulai dari “membatik” sampai dengan “mbabar”. Berbeda
dengan batik cap dan printing.
b. Motif
Pada
pokoknya, motif batik terdiri atas empat macam, yaitu :
1. Ceplok, misalnya
Kawung, Ceplok Manggis dan Ceplok Mendut.
2. Garis miring, misalnya
motif Parang, Udan Liris, dan Rujak
Senthe
3. Geometris, misalnya
Truntum, Grompol, dan Tirtatejo.
4. Semen, misalnya
Semen Rama, Semen Condro, Sido Mukti, dan
Sido Luhur.
Makna
Simbolis dalam motif batik tradisional itu, diantaranya :
1). Kawung
Menurut
sejarah, motif Kawung diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram.
Beliau menciptakan dengan mengambil bahan-bahan dari alam atau hal-hal yang
sederhana dan kemudian diangkat menjadi motif yang baik (Koeswadji, 1981 :
112).
Motif Kawung
diilhami oleh pohon aren atau palem yang buahnya berbentuk bulat lonjong
berwarna putih jernih atau disebut kolang kaling.
Bila
ditinjau menurut gambaran buah aren atau kolang kaling, maka motif Kawung
mempunyai makna simbolis sebagai berikut : pohon aren sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia dari batang, daun, ijuk, nira, buah, secara keseluruhan dapat
dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Hal ini mengingatkan agar manusia dalam hidupnya
dapat berdaya guna bagi bangsa dan negaranya seperti pohon aren.
Motif Kawung
mempunyai makna simbolis yang dalam, agar pemakai motif tersebut menjadi
manusia unggul dan kehidupannya bermanfaat dan bermakna.
2). Parang Rusak
Motif
batik tradisional Parang Rusak diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram. Sesuai
dengan arti kata, Parang Rusak mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala
yang rusak, atau melawan segala macam godaan (Koeswadji, 1985 : 25).
Motif batik
tradisional Parang Rusak mempunyai makna agar manusia di dalam hidupnya dapat
mengendalikan nafsunya, sehingga mempunyai watak dan perilaku yang luhur.
3). Truntum
Motif
Truntum merupakan simbolisasi istri yang bijaksana. Motif ini juga dipakai oleh
kedua orang tua dari kedua mempelai pada waktu upacara adat pernikahan anaknya.
Hal ini bermakna sebagai orang tua berkewajiban untuk menuntun kedua mempelai
memasuki hidup baru berumah trangga yang banyak liku-likunya. Dalam pengertian
yang lain, motif batik tradisional dengan ragam hias Truntum merupakan lambang
cinta yang bersemi kembali. (Nian S. Djumena, 1986 : 57).
4). Semen
Motif batik Semen mempunyai corak yang beraneka
ragam. Semen dari kata semi-semian, yang berarti
berbagai macam tumbuhan dan suluran. Pada motif ini sangat luas kemungkinannya
dipadukan dengan ornamen lainnya, antara lain: naga, burung,
candi, gunung, lidah api dan sawat atau sayap. Apabila ditinjau dan
dirangkai secara keseluruhan dalam bentuk motif Semen mempunyai makna bahwa
hidup manusia dikuasai (diwengku) oleh penguasa tertinggi.
Kehidupan berasal empat unsur yaitu: bumi, air, api, dan
angin yang memberikan watak dasar pada hidup itu sendiri. Bila jalan hidupnya
sesat, pada hidup yang akan datang berada di dunia bawah atau lembah
kesengsaraan. Sebaliknya jika jalan hidupnya penuh dengan kebaikan akan masuk
ke dunia atas (kemuliaan). Kesimpulan ornamen penyusun motif Semen adalah bahwa
hidup tidak mudah, sengsara atau mulia tergantung dari perbuatan dan
pengendalian hidup manusia itu sendiri. Batik dengan ragam hias tumbuhan
seperti motif Semen Remeng, cirinya: latar belakang berwarna hitam. Batik Semen
dengan latar belakang putih disebut batik Semen latar putih. Remeng berarti
samar-samar dengan kata lain keadaan diantara terang dan gelap. Maksud dari
Semen Remeng adalah pemakai diharapkan mampu melihat atau membedakan yang
terang dan yang gelap atau yang baik dan yang buruk (Depdikbud, 1995: 167).
Diantara motif-motif batik tradisional yang ada dan
dipakai oleh golongan masyarakat luas adalah motif batik Semen Rama dan Ratu Ratih. Motif ini merupakan
simbolisasi istri yang baik, yang melambangkan kesetiaan seorang istri kepada
suami (Nian S.Djumeno,1986:12). Apapun kedudukan seorang istri, di dalam
kehidupan rumah tangga yang menjadi kepala rumah tangga adalah suami. Istri
harus taat dan setia kepada norma yang ada dalam kehidupan rumah tangga, tidak
dibenarkan terlalu menuntut.
5). Tambal
Motif
batik Tambal sebagai simbolisasi wanita karier. Motif ini dipakai oleh Ni Sedah
Mirah sebagai busana kerja (jarik).Dia bekerka sebagai pegawai pamong praja
yang rajin,tertib,cekatan,disiplin,cerdas dan selalu dapat menyelesaikan
tuganya dengan baik. Motif batik ini juga mempunyai makna menambah atau
memperbaiki sesuatu yang kurang. Kekurangan itu harus ditutup (ditambal). Ragam
hias ini juga mempunyai nilai mitos, yaitu dianggap dapat menolak bahaya dan
digunakan sebagai selimut orang yang sakit (Nian S.Djumeno,1986:26). Dengan
menggunakan motif ini, memberikan sugesti kepada orang yang sakit supaya cepat
sembuh.
6). Tritik
Motif
ini dipakai oleh anak gadis kalangan Ningrat yang sudah tetesan dan terapan
tetapi belum dewasa (Nian S.Djumeno,1986:75). Dengan memakai motif ini maka
harus berhati-hati dalam mengarungi kehidupan remaja dan bisa membawa diri
dalam hidup pergaulan yang penuh dengan liku-likunya, jangan sampai terpelosok
ke dalam pergaulan yang sesat.
7). Cindhe (Patola)
Motif
ini dulu hanya boleh dimiliki dan dipakai oleh kalangan Ningrat dan merupakan
lambang kehidupan seseorang. Kain ini dianggap sakral dan merupakan pusaka
turun temurun (Nian S.Djumeno,1990:104). Motif ini sekarang sudah tidak menjadi
milik Ningrat lagi, tetapi sudah menjadi milik masyarakat. Motif ini
biasanya dipakai sebagai busana pengantin dengan dandanan paes
ageng
8). Udan Liris
Motif ini artinya hujan gerimis atau
hujan rintik-rintik. Motif ini tersusun atas :
1. Motif api, yang berarti kesaktian dan ambisi
2. Setengah kawung, menggambarkan sesuatu yang berguna
3. Banji Sawat, melambangkan kebahagiaan dan kesuburan
4. Mlinjon, melambangkan salah satu unsur kehidupan
5. Tritis, melambangkan adanya ketabahan hati
6. Ada-ada,
melambangkan adanya prakarsa
7. Untu Walang, melambangkan adanya kesinambungan
Dalam
hal ini motif batik Udan Liris diartikan sebagai pengharapan agar si
pemakai dapat selamat sejahtera, tabah, berprakarsa dalam menunaikan kewajiban
demi kepentingan nusa dan bangsa (Mari S. Condronegoro,1995:21).
9). Mega Mendhung
Motif
ini berbentuk awan (mendhung) di langit sebagai pertanda akan datangnya hujan.
Oleh karena itu diberi warna biru tua untuk menggambarkan awan gelap. Air
adalah lambing kehidupan. Dalam mitologi Hindu dikenal air amerta yang
dapat memberi kehidupan dan dapat menyebabkan hidup abadi (langgeng). Dalam
penggambaran mendhung yang biru tua, ada degradasi warna kea rah warna biru
yang cerah (biru muda) dengan harapan simbolik akan memperoleh kehidpan yang
cerah. (Timbul Haryono, 2008: 13).
10). Kapal Kandas
Dilukiskan
kapal-kapal yang kandas dengan binatang laut disekitarnya dan burung yang
terbang di udara diatasnya, seolah-olah tidak peduli dengan musibah kapal-kapal
tersebut. Hal ini bermakna bahwa kegagalan dalam perjuangan mengarungi lautan
kehidupan merupakan hal yang biasa dialami oleh manusia, banyak teman senasip,
namun manusia harus tetap tegar bahkan tak boleh terlalu mengharapkan
pertolongan orang lain (Kushardjanti, 2008: 33).
c. Warna Batik
Warna
batik mempunyai arti simbolis, bahkan dianggap mempunyai kekuatan magis dan
sakral. Warna itu adalah :
1. Warna coklat soga/merah
Warna coklat
soga/merah termasuk warna hangat. Warna ini berasosiasi dengan tipe
pribadi yang hangat, terang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa,
dan rendah hati. Menurut Magnis Suseno (1984 : 133).
2. Warna putih
Warna
putih makna simboliknya adalah lambang kesucian, jujur, bersih, spiritual,
pemaaf, cinta, dan terang. Putih dalam arti yang positif yaitu kesucian dan
jujur merupakan karakter dari orang maupun kelompok masyarakat yang yakin pada
kebenaran yang mutlak bahwa kebenaran hanya dapat dicapai apabila diawali
dengan kejujuran.
3. Warna hitam (biru tua), Indigo
Warna
ini bermakna keabadian, kesemprnaan, misteri, kegelapan, kukuh, formal,
keahlian. Secara positif, hitam berarti mencerminkan kekukuhan dan keahlian.
Sifat ini berarti manusia harus mempunyai ketegasan dalam mengambil keputusan,
kukuh dalam pendirian, dan sanggup melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya
dengan baik. Warna hitam dalam konotasi negatif berarti misteri dan kegelapan.
4. Warna kuning emas
adalah
simbol ketentraman, dari segala sesuatu yang mengandung makna Ke-Tuhanan
(keagamaan) atau kebesaran.
5. Warna kuning adalah
simbol ketentraman.
6. Warna merah melambangkan
keberanian dan kegembiraan.
7. Warna biru melambangkan
kesetiaan.
8. Warna hijau merupakan
lambang ketentraman dan ramah tamah, kesuburan, harapan.
9. Warna ungu melambangkan
keagungan.
10. Warna
orange melambangkan kegembiraan dan
menarik.
11. Warna
coklat adalah lambang tunas (Budhy
Raharja, 1986 : 40).
d. Simbolisme dalam Ornamen
Menurut
Sewan Susanto, ornamen utama dari motif batik tradisional Yogyakarta yang
mempunyai makna simbolis ialah :
“Meru melambangkan gunung atau tanah yang disebut juga bumi.
Api atau lidah api melambangkan nyala api yang disebut juga agni atau geni.
Ular atau naga melambangkan air atau banyu disebut juga tirta
(udhaka). Burung melambangkan angin atau maruta. Garuda
atau lar garuda melambangkan mahkota atau penguasa tertinggi,
yaitu penguasa jagad dan isinya (Sewan Susanto, 1980 : 212).”
Unsur-unsur
motif tersebut diatas menurut kepercayaan Jawa Kuno menggambarkan kehidupan
manusia yang berasal dari empat unsur hidup, yaitu tanah, api, air, dan udara
yang dikuasai oleh Penguasa Tertinggi, yang tidak lain adalah Tuhan. Disamping
ornamen utama yang menggambarkan unsur-unsur kehidupan sangkan paraning
dumadi, juga mengandung ajaran-ajaran keutamaan. Melalui unsur-unsur
dasar kehidupan tersebut, manusia dapat mengembangkan dan mengendalikan dirinya
dengan segala kemungkinan tentang baik buruk. Bahagia dan sengsara manusia itu
tergantung bagaimana ia dapat berbuat serta mengendalikan dirinya sendiri
(Sewan Susanto, 1980 : 28).
1. Ornamen Garuda
Burung
garuda adalah sejenis burung rajawali raksasa yang gagah perkasa, di dalam
mitos merupakan makhluk khayal yang ajaib. Di dalam ornamen motif kadang-kadang
digambarkan bentuk badannya seperti manusia, kepalanya seperti burung raksasa,
dan mempunyai sayap.
Garuda
adalah suatu makhluk khayalan atau mitos yang melambangkan sifat perkasa dan
sakti.Kadang-kadang digambarkan dengan bentuk dan badannya seperti
manusia,kepalanya seperti burung raksasa dan bersayap. Garuda juga gambaran
kendaraan Dewa Wisnu.Di dalam motif batik, ornamen garuda digambarkan sebagai
bentuk stilir dari burung garuda, suatu bentuk burung yang perkasa seperti
rajawali,tapi kadang-kadang juga distilirkan dengan burung merak. Bentuk
ornamen burung garuda digambarkan beberapa macam,antara lain :
a. Bentuk dengan dua sayap lengkap dengan ekor, seperti
gambaran burung merak-ngigel yang dilihat dari depan. Bentuk
semacam ini disebut pula “sawat”.
b. Bentuk garuda disusun dengan dua sayap. Bentuk semacam ini
disebut pula “mirong”.
c. Garuda digambarkan dengan satu sayap. Bentuk ini seolah-olah
menggambarkan makhluk bersayap dari samping. Sebagai variasinya, pada pangkal
sayap digambarkan kepala burung atau kepala burung raksasa atau bentuk yang
lain. Bentuk sayap garuda dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sayap terbuka
dan sayap tertutup. Ornamen garuda dalam motif batik sangat terkenal, bahkan
hampir menjadi ciri umum dan khas batik Indonesia berornamen garuda
(Sewan Susanto, 1973 : 265).
Dalam
perkembangannya, ornamen garuda mengalami banyak perubahan dan sangat
bervariasi. Seringkali dijumpai ornamennya bukan lagi sebagai bentuk garuda,
tetapi lebih menyerupai bentuk-bentuk burung, binatang, atau tumbuhan yang
lebih abstrak.
2. Ornamen Meru
Meru merupakan gambaran gunung yang tampak dari sebelah
samping, biasanya digambarkan tiga buah gunung yang dirangkai menjadi satu dan yang
di tengah sebagai puncaknya. Ornamen meru juga digambarkan
dalam bentuk yang bermacam-macam tergantung selera dan daerah pembatiknya.
Kadang-kadang ornamen meru digabungkan dengan bentuk ornamen
tumbuh-tumbuhan yang menjalar di bagian atas maupun di bawahnya, sehingga
hampir-hampir tidak tampak lagi ornamen aslinya. Dapat juga berbentuk rangkaian
tiga buah gunung dengan hiasan daun-daunan di puncaknya, atau hanya sebuah
gunung dengan variasi di bagian sampingnya.
Dalam
kebudayaan Jawa-Hindu, meru untuk melambangkan puncak gunung
yang tinggi, tempat bersemayamnya para dewa. Pada motif batik, meru untuk
menyimbolkan unsur tanah atau bumi dan menggambarkan proses hidup tumbuh di
atas tanah, proses hidup tumbuh ini disebut “semi” (Jawa), dan
hal yang menggambarkan semi disebut semen. Maka motif batik
yang tersusun atas ornamen meru, timbuhan dan lain-lain disebut
semen. Motif batik secara turun temurun atau tradisi memiliki arti, apabila
para pembuat pola kurang memahami setiap ornamen, maka bentuk meru juga
mengalami perubahan-perubahan. Antara lain bentuk meru yang
digabung dengan bentuk tumbuhan (Sewan Susanto, 1973 : 261).
3. Ornamen Lidah Api
Ornamen
Lidah Api dalam motif batik biasanya digambarkan sebagai deretan nyala api.
Ornamen ini kadang-kadang untuk hiasan pinggir atau batas antara bidang yang
bermotif dengan bidang yang tidak bermotif. Ornamen Lidah Api juga disebut
ornamen cemukiran atau modang. Bentuk lain
bisa juga berupa deretan ujung lidah api dan diantaranya membentuk
seperti blumbangan memanjang. Bentuk ornamen lidah api
ditinjau dari makna simboliknya berarti kesaktian atau ambisi.
4. Ornamen Ular atau Naga
Naga
atau ular besar di dalam mitos, mempunyai kekuatan yang luar biasa dan sakti.
Ornamen ini biasanya digambarkan dengan bentuk kepala raksasa yang aneh memakai
mahkota, badannya berupa ular yang berkaki dan kadang-kadang bersayap. Bentuk
lain berupa gambaran dua buah ornamen naga yang disusun berhadapan atau
bertolak arah secara simetris. Ornamen naga juga merupakan bentuk-bentuk
khayalan dan banyak dijumpai pada motif batik Semen.
5. Ornamen Burung
Ornamen
burung ini selain berfungsi sebagai ornamen utama, juga dipakai sebagai pengisi
bidang yang digambarkan seperti bentuk burung kecil-kecil. Ornamen burung yang
utama bentuknya seperti burung merak berjengger dan sayapnya terbuka dengan
bulu yang tidak bergelombang. Dalam agama Hindu, burung merak dikenal sebagai
wahana dewa perang bernama Dewa Skanda dan Dewi Parwati. Banyak arca Dewa
Skanda digambarkan menunggang burung merak. Seringkali orang keliru melihat
arca Dewa Skanda itu mengendarai burung unta, setelah diteliti burung berjambul
itu adalah lambang burung merak. Ragam hias burung merak sebagai lambang
kesucian dan dunia atas. Biasanya burung merak dalam ragam hias pada batik
ditampilkan dengan ekor yang mekar dengan bulu merapat satu sama lain (Hamzuri,
2000 : 156). Dapat juga berbentuk seperti burung phoenix dengan bulu ekor dan
sayap panjang dan bergelombang, kadang-kadang terdapat bulu di kepala
berbentuk jambul. Burung phonix hanya dikenal di Cina. Burung
ini dipandang sebagai burung surga, juga sebagai lambang dunia atas atau
langit. Bentuk lain berupa burung khayal dan aneh, misalnya : burung dengan
kepala naga, burung berkepala dua dan mempunyai jengger atau
bentuk burung yang badannya melingkar. Ornamen burung banyak terdapat pada
motif batik Semen tradisional.
e. Fungsi Batik
1. Busana
Batik
sebagai busana harian,resmi dan adat. Berbicara masalah busana adat, tidak akan
lepas dengan batik. Menurut Melati Listyorini (Kedaulatan Rakyat,1 Mei 2002),
busana adat kaya akan makna simbolik, berisi piwulang sinandhi dan
kaya akan ajaran yang bernilai luhur. Ajaran dalam busana ini merupakan ajaran
untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang berkaitan
dengan aktivitas sehari-hari, baik dalam berhubungan dengan diri sendiri,
dengan sesama manusia, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, pencipta segala
sesuatu di muka bumi ini.
2. Upacara adat/tradisi
Batik
selalu ada dan dibutuhkan dalam kegiatan upacara adat/tradisi, misalnya tradisi
pernikahan. Di dalam tradisi ini dibutuhkan motif batik yang sesuai dengan
pandangan hidup masyarakat setempat terkandung harapan bagaimana hidup bahagia,
sejahtera dan selamat di dunia dan akhirat.
3. Interior
Interior
yang menggunakan motif batik mempunyai pesona dan daya tarik yang banyak
diminati, baik di rumah pribadi, kantor maupun hotel-hotel berbintang.
4. Cenderamata
Berupa
dompet, tas, kipas, pernik-pernik yang menjadi aset komoditas ekonomi dan
pariwisata.
C. Candi
Candi merupakan peninggalan budaya Hindhu dan
Budha. Relief-relief yang dipahatkan pada arca-arca yang berdiri serta pola
penempatan bangunan juga berorientasi pada budaya Hindhu dan Budha. Sebuah
bangunan candi menarik bukan hanya disebabkan candi merupakan bangunan
keagamaan, melainkan mengandung nilai estetis. Nilai ini dapat terlihat pada
kehalusan serta keagungan seni yang terpancar dari bentuk bangunan serta
relief-relief yang melekat atau terpahat pada bangunannya itu. Relief sebagai
media visual memiliki beberapa fungsi, antara lain : sebagai ungkapan historis,
filosofis dan edukatif. Fungsi historis dari suatu relief dapat ditunjukkan
dengan penggambaran candra sengkala, angka tahun suatu pendirian
bangunan,serta prasasti-prasasti. Fungsi filosofis suatu relief antara lain
dapat ditunjukkan lewat penggambaran obyek-obyek yang secara keseluruhan
memiliki makna filsafati yang dalam. Sedangkan fungsi edukatif ditunjukkan dari
arti filosofis penggambaran relief yang berisikan tuntunan atau pendidikan
moral bagi kehidupan manusia. Banyaknya hiasan yang
terdapat pada bagian candi disesuaikan dengan tingkat ketertiban yang ada di
alam semesta. Pada bagian kaki candi, merupakan simbol dari kehidupan alam
nyata dipenuhi dengan bermacam-macam hiasan, tubuh candi yang merupakan
gambaran dari kehidupan alam roh hanya terdapat sedikit hiasan, sedangkan pada
atap candi yang merupakan simbol dari alam dewata hanya terdapat
satu macam hiasan, yaitu hiasan mahkota atau gentha.
Dalam bangunan candi, terdapat keindahan visual dan keindahan
simbolik.
Keindahan
visual terdapat pada :
1. Pengaturan tinggi rendah bangunan
2. Pengaturan hiasan bidang
3. Pengaturan hiasan konstruktif
4. Area-area yang diatur secara
selaras dan harmonis
Keindahan Simbolik
:
Berisi makna simbolik dari relief-relief yang
berguna bagi kehidupan manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.
Ditinjau
dari ukuran keindahan dalam estetika Hindhu, candi memenuhi ke enam unsur
keindahan, yang disebut dengan istilah Sad-Angga. Ke enam
unsur keindahan itu adalah :
1. Rupabedha, artinya perbedaan
bentuk.
2. Sadresya, artinya kesamaan
dalam hal penglihatan.
3. Pramana, artinya sesuai
dengan ukuran yang tepat.
4. Warnikabhangga, artinya
penguraian dan pembuatan perbedaan
warna.
5. Bhawa, artinya keindahan
daya pesona yang muncul
(Djelantik,1999:
195).
D. Seni Musik
Seni musik pada jaman dahulu lahir dengan hasrat orang pada waktu
itu ingin memiliki bahasa khas, yang berlainan dengan bahasa tutur, untuk
komunikasi dengan dunia supranatural, atau alam para arwah leluhur. Kata-kata
ini tepat karena sebagai seni yang berlainan dari bahasa, musik ternyata mampu
mengungkapkan pengalaman batin yang tak mungkin dideskripsikan. Musik mampu
menuntun orang ke arah kebersamaan, atau komunikasi berbagai perasaan dan
pengalaman hidup, sehingga dapat disebut sebagai suatu bentuk tingkah laku
sosial dan mempersatukan kelompok lewat suatu cara simbolik dan dapat
diingat-ingat, sehingga dapat diulang-ulang dan dirasakan bersama (Suhardjo
Parto, 1983:11).
Menurut Ki Ageng Suryamentaram, seni musik mempunyai pengaruh
untuk memperhalus budi pekerti manusia. Seni musik dapat dibedakan menjadi :
1. Lagu-lagu rendah misalnya lagu yang berirama marah,dan
jorok.
2. Lagu-lagu sedang, misalnya lagu yang bernuansa gembira,
susah dan ngelangut.
3. Lagu-lagu luhur, yaitu lagu-lagu cinta alam, Tuhan dan hidup
yang baik.
Musik tradisional di Indonesia sebagian besar alatnya dimainkan
dengan dipukul (musik perkusi). Hanya beberapa alat saja yang cara memainkannya
dengan ditiup.
E. Wayang
Wayang mempunyai fungsi sebagai tontonan dan tuntunan, yang di
dalamnya terdapat "keindahan bentuk" dan "keindahan isi".
Macam-macam wayang dianrtaranya :
a. wayang kulit/purwo
b. wayang golek
c.wayang klitik
d. wayang orang
e. wayang topeng
f. wayang beber
g. wayang ukur
Wayang kulit dalam arti lahir sebagai tontonan, dapat menjadi
wayang purwo dalam arti bathin, yang berisi tuntunan. Hal ini dibedakan karena
fungsi kelir sebagai latar depan atau sebagai latar belakang.
Wayang kulit dalam artian lahir yaitu kulit yang diprada dengan
warna-warni. Kelir merupakan tempat Dalang dan menjadi latar belakang boneka
kulit yang warna-warni itu dan menjadi tontonan di siang hari serta penonton
bebas berkomentar.
Wayang Purwa dalam artian bathin merupakan tontonan dan tuntunan.
Kelir menjadi latar depan yang transparan dan menjadikan wayang kulit menjadi
bayang-bayang kehidupan. Dalang dan wayang ada di balik kelir.Kelir diibaratkan
sebagai hati nurani rakyat, yang perlu didengar dan ditanggapi secara positip.
Salah
satu senjata yang ampuh dalam dunia pewayangan adalah :Layang
Kalimasada merupakan Serat (tulisan) yang sakti dan disakralkan. Dalam lakon
Baratayudha, Pandhawa yang memiliki layang Kalimasada (mungkin Kalimah Syahadat
(dan disimpan di Udheng Prabu Darmo Kusumo.
F. Seni Tari
Hakekat seni tari adalah gerak, dan gerak itu
ditempatkan pada perspektif yang luas sebagai salah satu aspek
kebudayaan.
Menurut John Martin, seorang ahli tari dari Amerika memberikan
tekanan bahwa gerak betul-betul merupakan substansi baku dari tari (Soedarsono,
1972:2). Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dan pengalaman
emosional dari kehidupan manusia. Seni tari pada dasarnya merupakan ekspresi
jiwa manusia yang diwujudkan dalam gerak-gerak yang ritmis.
Kamaladevi, seorang ahli tari dari India berpendapat bahwa seni
tari berlandaskan pada insting manusia, dan materi dasar dari tari adalah gerak
dan ritme. Tari dapat dikatakan sebagai insting, suatu desakan emosi di dalam
diri kita yang mendorong kita untuk berekspresi yaitu gerakan-gerakan luar yang
ritmis dan lama-kelamaan nampak mengarah kepada bentuk-bentuk tertentu (Iyus
Rusliana, 1986:10). Sedangkam menurut Soedarsono, ahli tari Indonesia,
mendefinisikan tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak ritmis
yang indah (Soedarsono, 1972:4). Dalam definisi ini, Soedarsono memakai gerak
dan ritme sebagai substansi dasar, tetapi gerak-gerak itu bukanlah tari apabila
gerak-gerak itu adalah gerak-gerak sehari-hari atau natural. Gerak-gerak ritmis
itu distilir supaya indah.Istilah indah bukan hanya berarti bagus, tetapi dapat
memberi kepuasan kepada orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gerak-gerak
ritmis yang indah itu merupakan pancaran jiwa manusia.
Di
dalam tari Jawa, tari mempunyai tiga unsur pokok yang saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1. Wiraga, yakni
keseluruhan gerak tubuh yang diperhalus dan diperindah ,sehingga merupakan
bentukkan tari tertentu.
2. Wirama, yakni
wiraga tari tersebut diiringi suara gamelan atau musik dan tersusun menurut
ragam irama lagu gendhing.
3. Wirasa, artinya
wiraga yang berirama dan mengandung arti, maksud dan rasa tertentu, yang
diungkapkan secara simbolik atau perlambang.
Dilihat dari fungsinya, tari digolongkan menjadi :
1. Tri upacara, misalnya tari Kecak, tari Bedhaya Ketawang
2. Tari sosial/tari pergaulan, misalnya tari Poco-poco.
3. Tari tontonan, misalnya saja tari Gambyong.
Dilihat
dari penggarapannya, tari dibedakan menjadi :
1. Tari tradisonal,
yaitu seni tari yang mempunyai sifat turun-temurun dan mempunyai sifat tetap.
2. Tari klasik, yaitu
seni tari yang sudah ada di puncak kesempurnaan dalam pola gerak seni tari
tradisional.
3. Tari kreasi baru,
yaitu seni tari yang mempunyai sifat bebas dalam berkreasi dan memadukan
gerak-gerak tari tradisional dan tari klasik dengan irama musik yang bebas
pula.
G. Upacara Adat
Di Indonesia adat di tiap-tiap
daerah tidak sama. Hal ini disebabkan kebudayaan dan sifat-sifat dari tiap-tiap
kelompok masyarakat tersebut berbeda-beda. Adat senantiasa tumbuh dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
masyarakat tempat adat itu berlaku. Dalam hal ini tidak mungkin dibuat suatu
adat yang baru, bila adat tersebut bertentangan dengan kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan.
Menurut
FD. Hellman, adat di Indonesia mempunyai 4 sifat umum yang merupakan satu
kesatuan,yaitu :
a) Sifat religio magis (magisch-religiuos) yang merupakan
pembulatan atau pembedaan kata yang mendukung unsur beberapa sifat atau cara
berfikir seperti frelogika, animisme, ilmu gaib dan lain-lain.
b) Sifat komun (commun) artinya sifat yang mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.
c) Sifat konstan (constant) yaitu prestasi dan kontraprestasi,
dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga.
d) Sifat-sifat
konkret (visual). Pada umumnya masyarakat Indonesia kalau mengadakan
(melakukan) perbuatan hukum itu selalu konkret (nyata) (Imam
Sudiyat, 1982:30-33).
Upacara adat mempunyai :
1. Nilai estetis dan
simbolis
2. Berlatar belakang
kepercayaan agama
Misalnya
upacara adat pernikahan menurut agama Islam.Secara agama sahnya pernikahan
adalah proses ijab-kabul.Secara adat,pesta walimahan tiap daerah dan suku
bangsa mempunyai tradisi yang berbeda.Kegiatan ritual itu tujuannya semuanya
sama ,yaitu agar nanti menjadi keluarga bahagia ,lahir dan bathin.
BAB IX
ESTETIKA
TIMUR
A. Estetika India
1.
Natyasastra :
Natyasastra
merupakan karya sastra pertama tentang Estetika di India yang ditulis pada abad
ke-VI oleh Bharata, yaitu merupakan kitab tentang pentas dan memandang seni
drama sebagai seni yang bermutu tinggi.Disini diuraikan tentang ,
"rasa" lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama
dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah (Agus
Sachari,1989:27).
Rasa
dalam bahasa Sanskerta dinamakan "bhava"yang jumlahnya menurut kitab
Natyasastra ada delapan yaitu emosi senang, kegembiraan, kesedihan,
kemurkaan, kebulatan tekad, ketakutan, kebencian dan emosi kagum. Inilah
delapan keadaan jiwa yang pokok dan baku, yang tertera dalam jiwa manusia dan
sewaktu-waktu dapat tumbuh dan disadarinya. Kedelapan bhava ini
tidak selalu nampak dalam keadaan yang murni tetapi sering tercampur, saling
berhubungan dan bersifat sementara.
Dalam
estetika India masalah "rasa" juga dibahas
oleh;
a) Batta Lollata (abad ke 9); "rasa",merupakan
tingkat spiritual,yang ditingkatkan sampai ketitik puncak
tertinggi ,yang sebanding dengan situasi yang
direpretansentasikan,reaksi-reaksi siaktor dan lain-lain.
b) Sankuka; "rasa bukanlah tingkat spiritual yang
ditingkatkan ketitik puncak tertinggi, tetapi "rasa" adalah suatu
duplikasi dari suatu tingkat spiritual ,yang ditarik oleh penonton dari
pertunjukan itu, dari tingkah laku si aktor, dan selanjutnya.pengertian tentang
imitasi keadaan spirituil yang dinamakan sebagai "rasa"oleh penonton,
bagi Sankuka adalah lain dari semua bentuk kesadaran. Seekor kuda yang
diimitasi oleh seorangpelukis kataya, bagi yang melihatnya tampak bukan asli
dan bukan palsu, sekedar sebagai image, dan setiap penilaian baik tentang realitasnya
atau tentang tidak realitasnya, sama sekali tidak dapat diterima.
c) Batta Nayaka, "rasa"bukannnya berada pada
intensifikasi atau imitasi keadaan spiritual, ia tumbuh dari kenyataan, bahwa
di dalam pengalaman-pengalaman estetika, realita tidak dipandang ada
hubungannya dengan segala bentuk dari ego, tetapi telah di "awamkan"
dengan kata lain, drama yang dipergelarkan atau puisi yang sedang di
deklamasikan, mempunyayi kemampuan untukmembangkitkan didalam diri penonton,
dalam satu saat tertentu , sesuatu yang melampaui egonya sendiri atau melampaui
perhatian-perhatian praktisnya yang didalam kehidupan sehari-hari disebut
dengan "suatu lapisan tebal dari kebabalan mental" dari yang
membatasi dan meredepkan kesadarannya.
2.
Silpa sastra :
Pedoman
seniman dalam berkarya. Karya sastra dinilai berkualitas dan indah apabila
mematuhi aturan yang ada dalam silpa sastra.
Kecintaan
terhadap alam merupakan unsur yang memberikan inspirasi bagi seniman untuk
berkarya .Seniman dalam menciptakan hasil karya seninya ,bersifat naturalis dan
bernuansa religi, yang tidak realistis, yang menggambarkan bentuk kesempurnaan
dari bentuk alam.
Misalnya : Dewa
Durga mempunyai 10 tangan.
: Dewa
Siwa mempunyai 4 kepala.
Pengalaman Estetis
Menurut
Sankuka yang hidup pada abad ke 10, berpendapat bahwa pengalaman estetis berada
di luar bidang kebenaran dan ketidak benaran. Pendapat ini jika dibandingkan
dengan pemikiran estetika di Barat, mirip dengan pendapat Immanuel Kant.
Pendapat Sankuka ini dikritik oleh Abhinavagupta, yang menyatakan bahwa bila
hidup nyata ditiru, efeknya bukan kenikmatan estetik, tetapi suatu kelucuan
belaka.
Bhatta
Nayaka berpendapat bahwa pengalam estetik adalah semacam jatuhnya wahyu,
artinya bahwa dengan menerima wahyu berarti kebekuan rohani kita tersingkirkan,
sehingga kita dapat melihat kenyataan dengan suatu cakrawala yang meluas.
Menurut Nayaka, hakekat rasa bukanlah menirunya, melainkan melepaskan kenyataan
dari keterikatan ego seseorang dan menjadikannya pengalaman umum. Lewat penglaman
estetika rasa yang diwahyukan itu bukan persepsi akal budi,
melainkan suatu pengalaman yang penuh kebahagiaan, akhirnya kesadaran pribadi
melenyap, maka ia akan sampai pada Brahma Tertinggi (Agus Sachari,1989:29).
Menurut teori Sankkya, seniman harus
dapat :
1). Mencipta
kemiripan/ekspresi
2). Mengekspresikan jiwa
manusia yang menjadi idealnya
Tugas seorang seniman harus dapat
mengungkapkan ekspresi kejiwaan.
B. Estetika Tiongkok
Estetika
Tiongkok dilandasi oleh kepercayaan : Taoisme, Budhisme, dan
Konfusianisme. Dalam kepercayaan Taoisme mengajarkan hubungan antara manusia
dan alam semesta. Budhisme mengajarkan bagaimana hubungan
antara manusia dengan yang mutlak, dan Konfusianisme mengajarkan
hubungan antara manusia dengan masyarakat. Berdasarkan kepercayaan ini konsep
estetika Tiongkok bersifat naturalisme. Segala sesuatu harus bercermin pada
alam, termasuk hukum-hukumnya.
Tao : prinsip absolut yang
menjadi sumber semua nilai-nilai dan kehidupan. Tao berarti sinar terang dan
sumber segala yang sensasional. Manusia dianggap sempurna jika hidupnya
diterangi oleh Tao. Tao adalah kemutlakkan , sesuatu yang memberikan
keberadaan, kehidupan dan gerak serta membuat sesuatu serba tertib dan damai
(Agus Sachari,1989:21).
Seniman
Seniman harus dapat menangkap Tao
(roh yang tersembunyi di dalamnya) dan menampilkannya lewat karya seni. Untuk
dapat menampilkan karya seni yang baik, inderanya harus disucikan.
Menurut Hsieh Ho, yang hidup di
akhir abad ke-V Masehi, ada 6 prinsip dasar bagi seniman.
1. Dapat menangkap gema spiritual dalam barang-barang dan
menampilkan hidup dan geraknya dalam karya-karyanya.
2. Seniman harus dapat menangkap ch'I (ekspresi gerak hidup).
3. Menempatkan "alam nyata" sebagai titik pangkal.
4. Keselarasan dalam warna-warna.
5. Perencanaan matang dalam pembuatan karya seni.
6. Meneruskan pengalaman seniman kepada si pengamat dalam
rangka pendidikan dan penerusan nilai-nilai budaya (Dick Hartoko, 1984: 73-75)
Para
seniman tradisional di Cina (Tiongkok) kebanyakan pelukis dan sastrawan. Ia
mempunyai kedudukan dan kewibawaan yang besar di masyarakat dan berdaulat penuh
terhadap hasil karya seninya. Ia juga mengembangkan seni kaligrafi kearah seni
lukis dengan rasa cinta terhadap alam. Unsur-unsur utama estetika cina dalam
seni rupa adalah:
1. kebebasan dan kedaulatan. Tidak tergantung dari kemauan atau
selera orang lain, selera pemesan.
2. Perfeksi (penyempurnaan wujud). Bakat dan tenaga sepenuhnya
diarahkan kepada hasil pekerjaan yang sesempurna mungkin.
3. Cinta alam. Selalu diusahakan agar jiwa seniman bersatu
dengan alam dilingkungannya dalam rasa cinta yang intensif.
Keramik
di jaman dinasti Han terbuat dari jenis tanah kaolin, yang berbentuk:
1. Bejana : sebagai tempat untuk abu jenazah,air
suci dan ada yang khusus untuk
hiasan
2. Kaligrafi Cina : merupakan seni
nasional pada dinasti Chou. Pada jaman ini keramik menjadi berkurang nilai
religiusnya. Pada jaman dinasti Ch'ng, pada abad ke-XVII seni merupakan bagian
hidup manusia, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kejiwaan, dinamisme
kreatif yang memanivestasikan keaktifan-keaktifan tidak permanen dari Tao.
Seni
lukis, ukiran, sastra, sulam menyulam, arsitektur tradisional, merupakan bagian
hidup para biarawan, seniman dan bangsawan.
Etika
dan estetika selalu berkaitan dan merupakan subyek dari peraturan-peraturan
konstan dalam kehidupan yang bersifat alami. Dalam tahun 1924, Kaisar Ts'ai
Yuan Pei (1867-1940) didalam bukunya berjudul "Elemen Filsafat" (Chih
Hsuah Kangyao) , menyodorkan sebuah teori tentang seni sebagai suatu substitusi
agama. Pertanyaannya, apakah tak mungkin bagi seseorang yang telah
menyingkirkan diri dari agama, pada akhirnya dia akan menemukan suatu
kenikmatan hidup dari kesenangan kepada keindahan? Pertanyaan ini dijawab oleh
Hsú Ching-yu, dalam bukunya yang berjudul "Filsafat tentang yang
indah" ( Mei-ti chih- hsueh).
Menurut
Fung Tung Sien, memandang seni sebagai jiwa manusia hidup dan sebagai
manivestasi kemajuan manusia menuju dunia yang lebih sempurna, lebih baik
dan lebih indah.
Jadi
pemikiran-pemikiran estetika cina dari dulu sampai saat ini tetap tunduk dan
taan kepada ide-ide kuno yang meminta kepada seni untuk merefleksikan transendentasi
jiwa dan mengungkapkan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari jiwa (Abdul
Kadir, 1974: 43-44)
C. Estetika Jepang
Konsep estetika Jepang adalah merupakan perpaduan antara tradisi,
kepercayaan dan alam. Ketiga hal ini hidup, tumbuh dan berkembang sejak zaman
dahulu sampai sekarang. Titik tolak estetika Jepang adalah alam. Mereka
mempunyai keyakinan bahwa fenomena-fenomena alam sehari-hari seperti matahati,
bulan, gunung, air terjun dan pepohonan diyakini mempunyai roh atau
"kami". Alam merupakan tempat para pendekar menimba semangat perang
dan alam pulalah yang menginspirasikan seseorang untuk memperoleh semangat dan
makna hidup. Agama/kepercayaan di Jepang adalah Shinto dan Budha yang
mengajarkan agar manusia dekat dengan alam. Menurut kepecayaan Shinto, alam ini
dianggap penuh dengan roh nenek moyang, sehingga ada suatu kewajiban untuk
memelihara kelestarian dan keselarasan dengan alam. Hal ini dibuktikan dengan
kecintaan yang dalam pada alam dan pemahaman akan perubahan pada gejala musim
yang selalu berganti. Kebudayaan menikmati alam dikenal dengan nama
"furyu" . Mereka yang tidak mempunyai naluri furyu digolongkan
sebagai orang yang sangat tidak berbudaya. Naluri ini tidak hanya bersifat
estetis, tetapi juga mengandung makna religius.
Kepercayaan
Budha berkembang di Jepang dengan ciri yang khusus, dikenal dengan kepercayaan
Zen Budha. Zen Budha ini menghasilkan suatu adat istiadat (tradisi) Jepang yang
khusus yaitu "upacara minum teh" dan dianggap sakral, sejajar dengan
upacara keagamaan. Pengaruh Budhisme yang lain adalah
"ketidaksimetrisan" yang menjadi unsur yang memberi
guratan dalam estetika Jepang . Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai
simetris yang itu-itu saja dan sedapat mungkin menghindari keteraturan. Simetri
dipandang menimbulkan kejenuhan dan kekakuan. Oleh karena itu seniman Jepang
menembusnya dengan gaya konvensional yang dapat menerobos kekakuan dengan
sentuhan warna yang lembut dan halus. Pengaruh Zen Budha dalam bidang militer
memungkinkan tinbulnya kelompok baru yang dinamai "Samurai", dengan
semangat Bushido. Golongan Samurai ini dilambangkan sebagai bunga Sakura (bunga
yang dianggap terindah di Jepang) yang rela mati untuk mengabdi pada raja (
tuannya) walaupun di usia muda.
Hasil
karya seni di Jepang bersifat naturalis (mencotoh alam), karena itu bangsa
Jepang ingin selalu dekat, hidup selaras dan serasi dengan alam.
Konsep estetika dalam kehampaan dan
asimitris:
1. Kehampaan (kekosongan)
konsep
estetika di Jepang dapat dilihat dari sudut perbandingan Barat dan Timur
mengenai kehampaan. Salah satu dasar pemikiran Barat ialah bahwa yang
kosong (hampa) dianggap tidak menarik. Hanya yang
"berisi' atau "penuh' yang menarik. Kehampaan (kekosongan) dianggap
bisa menampilkan sesuatu. Kekosongan itu dapat diisi informasi yang lain, dan
mungkin lebih dari itu, tidak hanya sekedar informasi. Kekosongan (kehampaan)
bersifat positif dan dinamis.
Estetika Timur bagaimanapun juga menganggap bahwa keindahan itu
mempunyai arti memiliki sesuatu yang menarik perhatian. Misalnya dalam hal
merangkai bunga Ikebana, ruang kosong diantara tangkai-tangkai atau
rantin-ranting mempertegas ruang dari tangkai atau ranting yang terisi. Hal
demikian itu, merupakan kombinasi atau gabungan yang terisi penuh dan kosong
atau hampa yang akan menciptakan pengalaman estetis. Seni merangkai bungan
Ikebana merupakan simbolisasi hubungan antara Ten, Chi dan Jin (alam,
bumi dan manusia) yang harmonis.
2. Asimitris
Asimitris
menjadi unsur yang menjadi guratan mendalam dalam estetika Jepang, hasil pengaruh
dari Budhisme. Dalam kuil-kuil Budha yang terdiri dari beberapa bangunan atau
wisma dapat ditari sebuah garis lurus antara wisma Dharma, wisma Budha, dan
Pintu Gerbang, yang biasa diistilahkan dengan Gerbang Gunung, dan di sekitar
tiga bangunan itu ada beberapa bangunan yang tidak diatur secara asimetris.
Asimetris juga terdapat dalam ruangan tempat upacara minum teh berlangsung dan
dalam taman yang nyata dalam batu-batuan untuk jalan setapak (Muji Sutrisno dan
Chist Verhaak, 1993)
Seniman
Jepang secara naluri tidak menyukai simetris dan sedapat mungkin menghindari
keteraturan. Simetris dipandang menimbulkan kejunehan dan kekakuan. Oleh karena
itu, seniman menmbusnya dengan gaya konvensional (asimetris) yang
dianggap dapat menerobos kekakuan.
Masuknya
aliran Zen dari Budhisme ke Jepang pada akhir abad ke-11 terjadi
perubahan-perubahan sesuai dengan kepribadian masyarakat setempat. Zennisme
yang lebih cocok dengan kepribadian rakyat Jepang membangkitkan kecenderungan
masyarakat kembali ke agama aslinya, yakni Shinto. Pada tahun 1868, Shinto
dijadikan agama resmi Jepang. Tanpa meninggalkan Budhisme, kebudayaan Jepang
menjadi perkawinan antara agama Buda dan Shinto disebut
"Ryobo-Shinto" yang mengandung pengaruh besar dari aliran Zen. Berdasarkan
Sintese ini berkembanglah esteika Jepang yang sampai dengan masa
industrialisasi modern masih sangat menonjolkan ciri khasnya, yaitu:
a) Kesederhanaan (pengaruh
Budha). Perwujudan agar sepolos mungkin, tidak banyak perhiasan. Kepribadian
Jepang mencar kesungguhan dan kebenaran dengan kehidupan dalam kesederhanaan.
b) Disiplin yang keras pada dirinya sendiri (pengaruh Shinto). Disiplin yang sangat menonjol dalam
kehidupansehari-hari, menyerap dalam perwujudan kesenian, hingga merupakan
unsur estetik yang khas Jepang yait disiplin dalam goresan dan disiplin dalam
kesederhanaan.
c) Logika. Semua
perwujudan seni harus memenuuhi syarat penggunaan yang praktis. Sebagai akibat
dari unsur logika ini, Jepang menjadi unggul dalam "industrial
design" modern dalam masa kini. Mereka erhasil mewujudkan seni, juga dalam
bentuk-bentuk mesin, mobil, kereta api, pesawat terbangm alat televisi,
telepon, radio dan komputer.
d) Hemat Ruang. Keterbatasan
ruang dalam kehidupan sehari-hari memaksa mereka menggunakan sedikit mungkin
ruang. Kebiasaan ini menjadi unsur kebudayaan tersendiri yang meresap kedalam
konsep estetika mereka (Djelantik, 1999: 199-200)/
D. Estetika Mesir
Kepercayaan
bangsa Mesir pada dewa-dewa, telah dikenal semenjak jaman "Mina",
yaitu kepala keluarga Fir'aun yang pertama, kira-kira sekirat tahun 3300
sebelum masehi. Dewa-dewa cosmos itu, hidup subur dalam alam kepecayaan bangsa
Mesir, memberi bentuk dan corak yang tertentu dalam pertumbuhan kebudayaan
mereka. Sekalipun pada masa keruntuhan kerajaan Mesir, bangsa Persi telah
datang menaklukkan lembah Nil dan kemudian berpindah tangan pada bangsa Romawi,
namun kepercayaan kepada dewa-dewa itu masih tetap merupkan satu-satunanya
agama resmi dari bangsa mesir. Dalam abad ke 2 dan 3 masehi, agama nasrani
telah meluan dalam lingkungan keluarga kerajaan. Sudah banyak orang yang
memeluk agam aitu namun bangsa mesir masih tetap dengan kepercayaab mereka,
walaupn mereka di bawah jajahan bangsa romawi. Bangsa Mesir kono semenjak jaman
pra sejarah sudah mengenal dan memuja dewa alam. Diantara dewa-dewa yang
terbesar dan pernah mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam kepercayaan rakyat
adalah Dewa Ra atau Re dan Dewa Osiris.
Kesenian di Mesir mempunyai dua bentuk, yaitu :
1. Seni hieratis, yaitu seni yang berdasarkan pada kepercayaan
yang bersifat religius.
2. Seni rakyat, yaitu seni yang berdasarkan kerajinan.
Kedua jenis seni itu bisa hidup
secara berdampingan.
Seni
arsitektur mempunyai tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat dan
kehidupan religius, hal ini nampak dalam bangunan :
a) Makam : dengan bentuk mastaba (pola
geometris),untuk tempat jenasah,dan juga tempat untuk
menyimpan harta
kekayaan.
b) Kuil/candi : kuil makam, misalnya Ratu
Hatshepsut, Kuil dewa, misalnya Amon di Karnak, di tepi sungai Nil.
c) Piramida : merupakan lambang kebesaran seni Mesir purbakala
yang sampai sekarang masih tetap dikagumi, karena bentuknya yang sangat besar
.Bentuk bangun segi banyak piramid dipandang sebagai bentuk bangun
segi banyak yang unik dan dianggap sakral.
Dalam bidang seni pahat/seni patung
:
a) Patung potret wajah Tutabkhamon (berlapis emas)
b) Ratu Nefretete (arca sedada), merupakan lambang kecantikan
timur.
Sphinx ; manusia
singa.
Seni
relief : Fir'aun diperlihatkan sebagai raksasa yang ada
diantara orang-orang yang dipahat sangat kecil.
Tari
perut merupakan seni tari yang sangat terkenal dan berasal dari
Mesir. Dalam bidang seni lukis, pewarnaan dengan menggunakan lilin (pernis bening)
sudah digunakan pada jaman Mesir kuno, yang mempunyai kualitas tahan lama.
Keagungan
seni Mesir ada pada mutu kelanggengan seni itu sendiri,terdapat pada :
1). Simetri, misalnya pada Mastaba.
2). Ukuran raksasa/keagungan,
misalnya pada Piramida.
3) Kerumitan, ada pada
patung-patung.
4). Keindahan, terdapat pada relief,
lukisan dan seni tari.
E. Estetika Islam
Ada persepsi bahwa menikmati keindahan itu akan merusak
keimanan atau menyebabkan terperosok terhadap kesombongan yang dibenci Allah dan
seluruh manusia. Hal ini tidak benar karena di dalam sebuah hadist, Ibnnu
Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : "innallaaha
jamiilun yyuhibbul jamaal, yang artinya sesungguhnya Allah Maha Indah
dan Dia menyukai keindahan". Keindahan yang sempurna hanya ada pada
Allah.
Sudut
pandang Islam Ortodok ,terutama yang bersandar kepada mistik, tercermin pada
pandangan Al-Qhazzali dalam buku Kimiya-i Sa'adat (Kimiyatus sa'adah = uraian
tentang kebahagiaan) yang ditulisnya sekitar tahun 1106. Menurut al-Ghazzali,
keindahan sesuatu benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan, yang
dapat dikenalai kembali dan sesuai dengan sifat benda itu. Bagi al-Ghazalli
"jiwa" (roh) , spirit, jantung, pemikiran, cahaya yang dapat
merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam (inner world), yaitu
nilai-nilai spiritual, moral dan agama. Konsep tentang pengertian hakiki ini
memberikan suatu segi pemandangan baru atas keindahan dan seni, yang dapat
memuaskan hati. Sebuah lukisan atau bangunan yang indah juga mengungkapkan
tentang keindahan hakiki pada diri si pelukis atau arsitekya. Keindahan hakiki
ini terkandung dalam tiga prinsip:
1. Pengetahuan : pengetahuan yang sempurna hanya ada pada Tuhan
2. Kekuatan : yaitu kekuatan untuk membawa diri sendiri
dan orang lain kepada kehidupan yang lebih
baik.
3. Kemampuan : yaitu kemampuan untuk menyingkirkan
kesalahan-kesalahan dan ketidak- mampuan.
Karena
pengetahuan, kekuatan dan kemampuan untuk menyingkirkan kesalahan yang absolut
hanya pada Tuhan, dan karena sifat-sifat demikian itu ada pada manusia dengan
ukuran manusiawi dan juga berasal dari Tuhan, maka berikutnya adalah : cinta
pada manifestasi tentang keindahan hakiki yang disuguhkan oleh seniman (artis)
yang sempurna, akan membawa manusia kepada Tuhan (Abdul Kadir, 1974:56).
Hubungan antara Islam, Seni dan
Seniman
Islam dan seni tidak ada hubungan. Islam sebagai agama adalah tata
hubungan manusia dengan Tuhan dalam beribadat yang diperlukan kekhusyukkan dan
takwa. Seni merupakan bidang kebudayaan. Agama dan kebudayaan, membentuk din Islam.
Jadi, meskipun seni tidak masuk agama islam, namun ia tetap bagian dalam diin
Islam, karena ia merupakan bidang kebudayaan Islam.
Bagi
Islam, seni dan moral berjalan sejajar. Seni itu halal sejauh mengandung nilai
moral religius dan haram bila mendatangkan nilai mudhorot. Seni yang baik,
seperti halnya rejeki maka manusia wajib menikmatinya. Lewat seni yang diajarkan
oleh Islam, manusia dapat mengambil hikmahnya karena di dalam seni Islam
terkandung ajaran bagaimana manusia itu harus bertingkah laku yang baik dan
mensyukuri karunia Allah untuk lebih dekat dengan-Nya.
Islam
tidak menganut paham "seni untuk seni", tetapi seni untuk mengabdi
kepada agama. Hal ini nampak dalam hasil karya seni yang bernafaskan
Islam, seperti halnya kaligrafi, seni musik dan arsitektur. Contohnya di dalam
seni arsitektur masjid. Masjid dibangun untuk tempat beribadah. Masjid tidak
hanya indah , misalnya dengan permadani yang tebal,mimbar yang bagus, cat yang
selaras, tulisan ayat-ayat suci al-Qur'an yang indah pada dinding dan tiang
masjid. Memperindah masjid dikehendaki, tetapi tidak memegahkannya, masjid
tidak kenal perabot, dindingnya tidak digantungi dengan gambar atau
lukisan.Seni patung/pahat yang menggunakan objek makluk bernyawa tidak
dibenarkan oleh agama Islam. Bermegah-megah dengan masjid dilarang, karena hal
itu melewati batas.
Seniman
Tugas dari seniman adalah untuk dapat membawa atau mendekatkan
manusia kepada Tuhan lewat hasil karya seninya. Bagi Islam, seniman yang baik
adalah seniman yang mampu menyuguhkan keindahan sebagai karunia Allah, yang
akan mengantarkan untuk lebih dekat dengan Tuhan-Nya.
BAB
X
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Kadir, 1974, Diktat Estetika
Timur (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art) ASRI, Yogyakarta
Abdul Kadir, 1974, Diktat Estetika
Barat (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art) ASRI, Yogyakarta
Abdul Kadir, 1975, Pengantar
Estetika (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art) ASRI, Yogyakarta
Agus Sachari, 1989, Estetika
Terapan, NOVA, Bandung
Amri Yahya, 1971, Seni Lukis Batik
sebagai Sarana Peningkatan Apresiasi Seni Lukis Kontemporer, IKIP,
Yogyakarta
Beardley, Manroe, 1967, Aesthetic
Inquiry : Essayon Art Critism and The Philosophy of Art, Belmountm
California
Budhy Raharja,J, 1986, Seni Rupa,
C.V. Irama Bandung
Cassirer Ernts, 1987, Manusia dan
Kebudayaan, Sebuah Isei tenta Manusia. Alih Bahasa Alois A. Nugroho, PT.
Gramedia, Jakarta
Dick Hartaka, 1984, Manusia dan
Seni, Yayasan Kanisius, Yogyakarta
Dickie, George T, 1973, Aesthetics,
The Encyclopedia Americana, Vol. I, Americans Corortion, New York
Djelantik, 1999, Estetika, Sebuah
Pengantar, Masyarakat seni Pertunjukkan Indonesia, Bandung
Francis J. Kovack, 1974, Philosophy
of Beauty, The University of Oklahoma Press, Norman
Frondizi, Risieri, 2001, Pengantar
Filsafat Nilai, Pustaka Belajar,Yogyakarta
Hamsuri, 1994, Batik Klasik
(Classical Batik), Djambatan, Jakarta
Hassan Shadily, 1980, Ensiklopedi
Indonesia, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta
Herbert Read, 1954, The Philosophy
of Modern Art, The World Publishing
Company,
Cleveland and New York
Humar Sahman, 1993, Estetika, Telaah
Sistemik dan Historik, IKIP Semarang,Press, Semarang
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat,
Liberty, Yogyakarta
Iyus Rusliana, B.A, 1986, Pendidikan
Seni Tari, Angkasa, Bandung
Jacobus, LA, 1968, Aesthetick and
Art, Mc Crow Hill Book Company (Inv), New York
Kattsoff, LO, 1986, Pengantar
Filsafat (terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta
Koeswadji K, 1981, Mengenal Seni
Batik di Yogyakarta, Proyek Pengembangan Perindustrian, Yogyakarta
Loren Bagus, 1991, Metafisika,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Mari S. Condronegoro, 1995, Budaya
Adat kraton Yogyakarta Makna dan Fungsi dalam Berbagai Wacana, Yayasan
Pustaka Nusantara, Yogyakarta
Mudji Sutrisno, Chist Verhaak, 1993,
Estetika Filasafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta
Nian S. Djumena, 1986, Ungkapan
Sehelai Batik, Djambatan, Jakarta, 1990, Batik dan Mitra, Djambatan, Jakarta
Nooryan Bahari, 2008, Kritik Seni,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Parmono R, 1985, Menggali
Unsur-unsur Filsafat Indonesia, Andi Offset,Yogyakarta
Sewan Susanto, 1973, Seni Kerajinan
Batik Indonesia, Departemen Pendidikan RI, Jakarta
Soedarso SP,1987, Tinjauan Seni,
Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayan Sama, Yogyakarta
Soedarsono, RM.,1972, Djawa dan Bali
: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia, Akademi Seni
rupa Indonesia, Yogyakarta
Suhardjo Parta, 1983, Pathet-pathet
dalam Gamelan Jawa, Prinsip-prinsip Pembentukannya, Latar Belakang dan
Alasannya, AMI, Yogyakarta
Suyadi, M.P. Drs.,1985, Manusia dan
Keindahan dalam Ilmu Budaya Dasar Modul 1-3, Universitas Terbuka,
Departemen P&K
Susane K. Langer, 1953, Feeling and
form, A theory of Art Develped from Philosophy in a New key, Charles
Scribner's Sons, New York
The Liang Gie, 1976, Garis Besar
estetika (Filsafat Keindahan),
Karya Kencana, Yogyakarta
…........,
1996, Filsafat Seni, Sebuah Pengantar, Pusat Belajar Ilmu Berguna
(PUBIB)
Yogyakarta
……......,
1996, Filsafat Keindahan, Pusat Belajar Ilmu berguna (PUBIB)
Yogyakarta
Wadjiz Anwar, L.Th., 1980, Filsafat
Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta
Wiryomartono Bagoes P, 2001, Seni
dan Keindahan dari Plato,
sampai Derrida, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta