Nurul Atik pemilik
resto California Fried Chicken (CFC)
Bekerja
sebagai cleaning service merupakan awal mimpinya untuk hidup mandiri dan
dapat membiayai kuliah. Namun, karena kesibukannya bekerja sebagai cleaning
service di restoran cepat saji tersebut, Nurul Atik harus mengubur impiannya
dalam-dalam untuk melanjutkan pendidikannya. Ia malah membangun sendiri usaha
makanan cepat saji yang kini sukses.
Anda pasti
pernah mendengar ungkapan: “Orang yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.”
Ungkapan ini mungkin cocok disematkan bagi seorang Nurul Atik. Pria asal Jepara
ini menapaki kesuksesan dari jalan berliku.
Mantan
cleaning service ini sekarang memiliki Rocket Chicken, perusahaan waralaba di
bidang makanan cepat saji. Kini, ia memiliki 83 mitra di seluruh Indonesia.
Ia mendapat pembayaran biaya royalti hingga Rp 100 juta dari para mitra.
Sebelum
menjadi Presiden Direktur Rocket Chicken, Nurul bekerja sebagai seorang
cleaning service di California Fried Chicken (CFC) di Semarang, Jawa
Tengah. Dari seorang tukang bersih-bersih resto cepat saji, kini dia
menjadi bos resto cepat saji milik sendiri.
Selama
tiga bulan, Nurul menjadi karyawan dengan status trainee. Gaji pertama
Nurul sebagai cleaning service pada saat itu hanya Rp 35.000 per bulan. Ia
harus membagi gaji itu untuk kebutuhan makan, kos, dan biaya transportasi.
Dengan jumlah gaji yang pas-pasan tersebut, sering ia harus berutang pada
rekan-rekannya di CFC.
Karena
kinerjanya yang bagus, ia kemudian diangkat menjadi pegawai tetap. Selang tiga
bulan berjalan, akhirnya Nurul diangkat menjadi tukang cuci piring selama empat
bulan.
Ia cepat
bergeser ke posisi juru masak selama empat bulan. Karena kinerjanya semakin
hari semakin baik Nurul diangkat lagi menjadi kasir selama enam bulan. Tak
hanya sampai di situ, Nurul lalu naik pangkat menjadi seorang supervisor
selama satu tahun.
Nurul juga
mengecap posisi sebagai asisten manajer selama dua tahun di perusahaan yang
sama. Karena kekosongan di bagian audit, Nurul kemudian menggantikan
posisi tersebut selama tiga bulan. Tak memerlukan waktu yang lama, pria yang
kini berusia 42 tahun ini mengecap posisi manajer areal selama dua tahun.
Posisi
manajer areal mengharuskan Nurul berkeliling dari kota satu ke kota yang lain
untuk memberikan pelatihan kepada karyawan-karyawan baru mulai dari berbagai
kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Magelang, dan Solo, hingga Yogyakarta.
Dengan
kesibukannya bekerja di restoran cepat saji tersebut, Nurul mengubur
dalam-dalam impiannya untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.
“Pada saat menjadi cleaning service, ternyata jam kerjanya shift sehingga saya
tidak bisa membagi waktu antara kerja dan keinginan untuk kuliah,” tutur Nurul.
Namun, ia
tak putus asa. Nurul mempunyai jurus jitu dalam menghadapi tantangan
yang ada di depan mata. “Setiap melangkah kita harus memiliki niat yang kuat
dan harus ditekuni,” tandas Nurul.
Untuk
menghemat biaya hidup, Nurul pun harus mencari tempat kos yang jaraknya sekitar
lima kilometer dari tempatnya bekerja. Tak jarang dengan alasan pengiritan, ia
memilih berjalan kaki sampai satu kilometer. “Kalau sudah lelah, saya
baru naik angkot,” ujarnya mengenang.
Kamar kos
Nurul juga tak kalah memprihatinkan. Dengan luas 3X3 meter, kamar sewaan itu
tak dilengkapi dengan kasur dan perabot lainnya. Kondisi seperti itu dilakoni
Nurul kurang lebih selama lima bulan, sampai ia mendapat mess dari kantornya.Buka
usahaSeiring karier yang terus menanjak serta kondisi ekonomi yang terus
membaik, pada usia 29 tahun, Nurul pun memutuskan menikah dengan Emy Setiawati,
seorang karyawan di sebuah swalayan di Yogyakarta yang baru dipacarinya dua
bulan. “Saat itu, saya sudah menjadi manager di CFC Yogya,” ujar Nurul.
Meski
begitu, gaji yang diterima Nurul tak mampu memenuhi kebutuhan selama satu
bulan. Apalagi menyusul kemudian pasangan Nurul dan Emy dikarunia momongan.
Makanya, setelah melahirkan anak pertama mereka, Emy membantu perekonomian
keluarga dengan membuka usaha roti.
Meski
posisinya cukup baik di tempat kerjanya, keinginan Nurul untuk membuka usaha
sendiri rupanya tak pernah padam. Puncaknya terjadi ketika krisis keuangan
melanda Tanah Air tahun 1998, Nurul memutuskan keluar dan membuat usaha
sendiri.Nurul merasa waktu 10 tahun bekerja sudah cukup untuk berguru di
restoran cepat saji Amerika Serikat itu. “Saya mantap keluar karena
ingin mandiri,” ujarnya.Pada saat yang sama, seorang kawan mengajak Nurul
membuat restoran makanan cepat saji yang mengusung ayam goreng (fried chicken).
Ide tersebut muncul karena pada waktu itu membuka restoran cepat saji atau fast
food menjadi tren di kalangan masyarakat.
Berbekal
pengalamannya, Nurul mantap menerima ajakan temannya. Ia kemudian bertindak
sebagai pengembang bisnis, sementara temannya mengurusi permodalan. Usaha keras
mereka membawa hasil. Bisnis mereka cepat mengembang. Saat ini, Nurul telah
memiliki 86 cabang.
Seiring
berjalannya waktu, lelaki kelahiran Jepara, 25 Juni 1966 ini kembali merasa gelisah.
Ia tergelitik mengibarkan bendera usaha dengan membuat restoran fried
chicken sendiri. Kali ini dengan potensi pasar yang berbeda dengan usaha
sebelumnya yang menyasar pasar menengah atas.
Pilihannya
jatuh ke pasar menengah bawah. Selain pasarnya lebih besar, segmen tersebut
juga belum tersentuh restoran fast food lokal maupun asing. Pada 21
Februari 2010, Nurul lantas mendirikan usaha sendiri dengan nama Rocket Chicken
di Jalan Wolter Monginsidi, Semarang.
Perkembangan
bisnisnya ini di luar perkiraan Nurul. Antusias masyarakat menyambut
bisnis makanan cepat sajinya sangat cujup menggembirakan. Baru setahun
berjalan, Nurul memiliki 83 mitra. Dengan sistem waralaba, Nurul mengembangkan
bisnisnya tampa mengeluarkan modal uang sepeser pun. “Semuanya hanya didasarkan
pada kepercayaan saja,” ujarnya.
Beruntung,
kebanyakan mitranya adalah orang-orang yang mengenal dan tahu sosok Nurul yang
telah berpengalaman dalam bisnis ayam krispi ini. “Saya cuma jual nama saja,
outlet awalnya tak punya,” tandas Nurul.
Bersama
mitranya, ayah tiga anak ini hanya menekankan agar menjalankan bisnis dengan
kerja keras, tekun serta jujur. Bila itu menjadi landasan, Nurul yakni bahwa
usaha mereka akan membawa amanah. Tak cuma bagi karyawan, tapi juga pemilik
usaha franchise ayam krispi Rocket Chicken.
HENDY SETIYONO PENGUSAHA KEBAB
Hendy Setiono, pendiri perusahaan waralaba Kebab Turki Baba
Rafi. franchisenya tidak hanya diakui di indonesia, tapi juga di mancanegara.
pemuda asal surabaya ini punya keyakinan sukses yang luar biasa.dengan pakaian
yang sederhana beginilah penampilan sehari-hari seorang Hendy Setiono, Presiden
dirtur Kebab Turki Baba Rafi Surabaya. Oleh majalah Tempo edisi akhir 2006, dia
dinobatkan sebagai salah seorang di antara sepuluh tokoh pilihan yang dinilai
mengubah Indonesia. Tentu, sebuah pengakuan yang membanggakan bagi Hendy.
Apalagi, bisnis yang dia geluti tergolong bisnis yang tak akrab di telinga.2011,
Kebab Turki Baba Rafi siap merajai bisnis makanan cepat saji ala timur tengah,
dengan target penambahan gerai di beberapa negara Asia Tenggara. Setelah sukses
melebarkan sayap ke Malaysia dengan secara resmi PT. Baba Rafi Indonesia
terdaftar sebagai anggota Malaysian Franchise Association, maka target
selanjutnya adalah menaklukkan Negeri Gajah Putih, Thailand. Selain karena
negerinya yang terkenal dengan pariwisata tradisional, karakteristik
penduduknya justru menjadi alasan yang membuat KTBR tertantang untuk membuat
mainstream baru dengan makanan cepat saji ala timur tengah.
Target dalam negeri tentu saja fokus pada maintaining 700
outlet yang telah beroperasi. Di Nusantara KTBR masih sejumlah 600 outlet,
inilah alasan kami untuk tetap pada “sales!, sales! dan sales!” . masih terbuka
banyak peluang pasar yang dapat dibidik dan diciptakan. Oleh karenanya di 2011
angka 1001 outlet akan ditembus baik di Malaysia maupun Indonesia.Dengan
ramah, pria kelahiran Surabaya, 30 Maret 1983, tersebut mempersilakan Jawa Pos
masuk ke kantornya di Ruko Manyar Garden Regency, kawasan Nginden Semolo.
“Biasanya saya masuk kantor agak siang. Tapi, karena hari ini ada janji dengan
Anda, saya agak meruput datang ke kantor,” ujar Hendy mengawali perbincangan.
Ketika itu, jarum jam sudah menunjuk pukul 11.00. Bagi Hendy, pukul 11.00 masih
terbilang pagi karena biasanya dirinya baru masuk kantor lebih dari pukul
12.00.
Dia lalu menceritakan awal mula bisnis kebab yang
digelutinya tersebut. Kebab adalah makanan khas Timur Tengah (Timteng) yang
dibuat dari daging sapi panggang, diracik dengan sayuran segar, dan dibumbui
mayonaise, lalu digulung dengan tortila. Sebenarnya, kebab banyak beredar di
Qatar dan negara Timteng lainnya.
Namun, kata Hendy, kebab paling enak adalah dari Istambul,
Turki. Karena itu, dia menggunakan “trade mark” Turki untuk menarik calon
pelanggan. Hendy mengisahkan, pada Mei 2003, dirinya mengunjungi ayahnya yang
bertugas di perusahaan minyak di Qatar. Selama di negeri itu, dia banyak
menemui kedai kebab yang dijubeli warga setempat. Lantaran penasaran, Hendy
yang mengaku hobi makan itu lantas mencoba makanan yang lezat bila dimakan
dalam kondisi masih panas tersebut. “Ternyata, rasanya sangat enak. Saya tak
menduga rasanya seperti itu,” ungkap sulung dua bersaudara pasangan Ir H
Bambang Sudiono dan Endah Setijowati tersebut.Tak hanya perutnya kenyang, saat
itu di benak Hendy langsung terbersit pikiran untuk membuka usaha kebab di
Indonesia. Alasannya, selain belum banyak usaha semacam itu, di Indonesia
terdapat warga keturunan Timteng yang menyebar di berbagai kota.
“Orang Indonesia juga banyak yang naik haji atau umrah.
Biasanya, mereka pernah merasakan kebab di Makkah atau Madinah. Nah, mereka
bisa bernostalgia makan kebab cukup di outlet saya,” jelasnya.
“Makanya, selama di Qatar, saya juga memanfaatkan waktu
untuk berburu resep kebab. Saya mencarinya di kedai kebab yang paling ramai
pengunjungnya,” jelas Hendy yang beristri Nilamsari.Begitu tiba kembali di
Surabaya, dia langsung menyusun strategi bisnis. Yang pertama dilakukan adalah
mencari partner. Dia tidak ingin usahanya asal-asalan. Dia kemudian bertemu
Hasan Baraja, kawan bisnisnya yang kebetulan juga senang kuliner. Awalnya,
mereka sengaja melakukan trial and error untuk menjajaki peluang bisnis serta
pangsa pasarnya.
“Ternyata, resep kebab dari Qatar yang rasa kapulaga dan
cengkehnya cukup kuat tidak begitu disukai konsumen. Ukurannya pun terlalu
besar. Makanya, kami memodifikasi rasa dan ukuran yang pas supaya lebih
familier dengan orang Indonesia,” katanya. September 2003, gerobak jualan kebab
pertamanya mulai beroperasi. Tepatnya di salah satu pojok Jalan Nginden Semolo,
berdekatan dengan area kampus dan tempat tinggalnya.
Mengapa gerobak? Hendy mempunyai alasan. “Membuat gerobak
lebih murah daripada membuat kedai permanen. Tidak perlu banyak modal. Gerobak
pun fleksibel, bisa dipindah-pindah,” ujarnya. Soal nama kedainya Baba Rafi,
dia mengaku terinspirasi nama anak pertamanya, Rafi Darmawan. “Diberi nama
Kebab Pak Hendy kok tidak komersial,” katanya lalu tergelak.Saat itulah
terlintas di benaknya nama si sulung, Rafi. “Kalau dipikir-pikir, pakai nama
Baba Rafi, lucu juga rasanya. Baba kan berarti bapak, jadi Baba Rafi berarti
bapaknya Rafi.” Mengawali sebuah bisnis memang tidak mudah. Apalagi untuk
meraih sukses seperti sekarang. Suka duka pun dirasakan calon bapak tiga anak
itu. “Misalnya, uang berjualan dibawa lari karyawan. Banyak karyawan yang
keluar masuk. Baru beberapa minggu bekerja sudah minta keluar,” ungkapnya.Bahkan,
pernah suatu hari, karena tak mempunyai karyawan, Hendy dan istri berjualan.
Hari itu kebetulan hujan. Tak banyak orang membeli kebab. Makanya, pemasukan
pun sedikit. “Uang hasil berjualan hari itu digunakan membeli makan di warung
seafood saja tak cukup. Wah, itu pengalaman pahit yang selalu kami kenang,”
ujarnya.
Tak ingin setengah-setengah dalam menjalankan bisnis,
lulusan SMA Negeri 5 Surabaya tersebut akhirnya memutuskan berhenti dari bangku
kuliah pada tahun kedua. “Saya OD alias out duluan. Tapi, saya tidak menyesal
meninggalkan bangku kuliah untuk membangun usaha,” tegas Hendy yang pernah
mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik Informatika ITS tersebut.Keputusan dia
untuk meninggalkan bangku kuliah guna menekuni bisnis kebab tersebut sempat
ditentang orang tuanya. Mereka ingin Hendy menjadi orang kantoran seperti
ayahnya. Karena itu, ketika dia meminta bantuan modal, orang tuanya menganggap
bisnis yang akan dilakoni tersebut adalah proyek iseng. “Mereka pikir saya
tidak serius pada bisnis itu. Dalam hati, saya ingin membuktikan kepada bapak
dan ibu bahwa kelak saya pasti berhasil,” jelasnya.Yang luar biasa, kesuksesan
bisnis Hendy tak perlu waktu lama. Hanya dalam 3-4 tahun, dia berhasil
mengembangkan sayap di mana-mana. Bahkan Tidak hanya di Jawa, tapi juga
di Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Sukses bisnis kebab waralaba Hendy
itu juga menghasilkan berbagai award, baik dari dalam maupun luar negeri. Di
antaranya, ISMBEA (Indonesian Small Medium Business Entrepreneur Award) 2006
yang diberikan menteri koperasi dan UKM. Hendy juga ditahbiskan sebagai ASIA’s
Best Entrepreneur Under 25 oleh majalah Business Week International 2006. Untuk
meraih award tersebut, dia bersaing dengan 20 kandidat pengusaha lain dari
berbagai negara di Asia.
Pria kalem itu juga mendapatkan penghargaan Citra Pengusaha
Berprestasi Indonesia Abad Ke-21 yang dianugerahkan Profesi Indonesia.
Kemudian, penghargaan Enterprise 50 dari majalah SWA untuk 50 perusahaan yang
berkembang dalam setahun terakhir. Serta, di pengujung 2006, majalah Tempo
menobatkan Hendy menjadi salah seorang di antara sepuluh tokoh pilihan yang
mengubah Indonesia.Apa yang akan dilakukan Hendy selain mengembangkan usahanya
ke mancanegara? Tampaknya, dia ingin seperti raja komputer, Bill Gates. “Saya
belajar dari para pengusaha sukses. Salah satunya, Bill Gates. Dia bisa
mendirikan kerajaan Microsoft, meski tidak tamat sekolah. Jadi, intinya, untuk
menjadi orang sukses, tidak harus memiliki gelar akademis dan indeks prestasi
(IP) tinggi,” tegasnya.
Rangga-Umara
pengusaha Pecel Lele
Sebelum
diberhentikan dari posisi manajerial di sebuah perusahaan, Rangga Umara (31)
memilih dijual lele pecel di pinggir jalan. Kekurangan modal untuk membuatnya
menjadi renternir utang. Bagaimana jatuh-bangun membangun bisnis Rangga RM
Pecel Lele Lela? Ayo, lihat cerita.“Selamat pagi!” Jadi ucapan khas di Lela
Lele RM, setelah Anda masuk ke sana. Tidak peduli Anda datang pada, pagi siang,
siang, atau malam, masih disambut dengan salam, “Selamat pagi!”Bahwa aku
“menyarankan” Staf saya dalam menyambut tamu di tambang restoran Lele Lela. Hal
ini dilakukan agar karyawan termotivasi dan produk disediakan selalu segar
seperti suasana pagi yang segar.Lela bukanlah nama istri atau anak, tapi
berdiri Kode lebih. Oh, ya, memperkenalkan, nama saya Rangga Umara. Meskipun
usia saya relatif muda, 31 tahun, pahit pahit membangun bisnis telah dirasakan
sejak bertahun-tahun lalu, sebelum RM Pecel Lele Lela dikenal luas. RM adalah
saya telah menyiapkan sejak Desember 2006. Jadi-jadi sekarang menyebutnya
sukses. Karena, saya telah melalui masa – masa sulit. Oleh karena itu, saya
lebih mampu menghargai jerih payahku, menghormati kehidupan dan lain-lain.
Kugeluti
profesi yang bisa dibilang melenceng dari pekerjaan ayah saya, Deddy Hasanudin,
seorang ustaz dan ibu, Tintin Martini, pegawai negeri yang akan segera pensiun.
Pertama, tujuan saya adalah untuk menjadi seorang pengusaha. Tapi entah kenapa saya
akhirnya belajar di sebuah perguruan tinggi di London Departemen Manajemen
Informasi. Ini ilmu akademis membawa saya untuk bekerja di sebuah perusahaan
pengembangan di Bekasi sebagai manajer komunikasi pemasaran di perusahaan.
Sayangnya, setelah hampir lima tahun bekerja, saya tahu
kondisi perusahaan tidak sehat. Hal itu membuat banyak karyawan yang
diberhentikan. Saat itulah aku menyadari, aku hanya menunggu giliran mereka.
Itulah mengapa saya mulai berpikir lebih serius tentang rencana kehidupan berikutnya.
Yang jelas, saat itu saya bisa memikirkan, tidak lagi ingin menjadi seorang
karyawan dari kantor karena sewaktu-waktu bisa menjadi masalah lagi PHK.
Wira-upaya putus asa
Akhirnya,
saya memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Sayangnya aku bingung tentang apa
bisnis. Sebelumnya, saya telah membuka usaha kecil, termasuk sewa komputer,
tetapi bisnis saya selalu gagal. Dipikir-pikir, saya memutuskan untuk membuka
usaha di bidang kuliner. Alasannya sederhana, saya suka makan.
Aku memilih seafood seperti kios, yang ditemukan di trotoar.
Modalku hanya $ 3 juta. Uang yang saya dapatkan dari menjual hasil
barang-barang pribadi ke teman-teman, seperti ponsel, parfum, dan jam tangan.
Sampai saat ini, hal tersebut masih terus mereka, ia membuat kenang-kenangan.
Istri saya, Siti Umairoh bahwa usia, mendukung keputusan.
Awalnya, dia pikir aku hanya bisnis sampingan seperti
sebelumnya, sejak saya mulai menjual sebelum mengundurkan diri dari perusahaan
tersebut. Dia terkejut ketika aku benar-benar menekuni bisnis ini, meskipun
masih ia mendukung.
Orangtua keberatan untuk itu. Mungkin mereka khawatir
tentang masa depannya begitu jelas. Maklum saya sebelumnya bekerja dengan
kantor berpakaian rapi, berkeliaran malah jadi terkesan tidak jelas.Semi-permanen
berukuran 2×2 meter warung Pondok Kelapa Saya telah menyiapkan di daerah.
Karena modal biasa-biasa saja, saya menemukan bahwa sewa cukup murah, sekitar
Rp 250 ribu per bulan. Aku mempekerjakan tiga orang, dua di antaranya telah
menikah. Berbeda dari kios makanan laut di trotoar umumnya berspanduk awning
biru dan putih, warungku kudesain unik.
Rupanya,
desain yang unik tidak membantu penjualan. Tiga bulan pertama, penjualan selalu
minus. Tak satu pun dari para pembeli datang. Aku mencoba berbesar hati,
mungkin warungku sepi karena banyak yang tidak tahu di mana warung tenda saya
itu. Saya mulai mencari lokasi lain yang lebih ramai. Saya menawarkan sistem
kerjasama dengan makanan dan kios-kios lain, tapi selalu ditolak.Sampai suatu
hari, saya pergi ke sebuah restoran di daerah semi-permanen tempat untuk makan,
masih di Kelapa Pondok. Seperti yang lain, pemilik restoran itu juga menolak
kerjasamaku. Ia bahkan menawarkan untuk membeli peralatan rumah akan makan topi
karena dia ditinggalkan pembeli. Saya menolak, karena tidak punya uang.
Akhirnya, ia menawarkan ruang sewa seharga Rp 1 juta per bulan. Saya juga
setuju.
Serupa Pisang Goreng Bulan
pertama untuk membuka usaha, mulai mencari hasil. Pembeli mulai berdatangan.
Aku tahu, usaha yang bisa sukses dan bertahan adalah bisnis yang memiliki
spesialisasi. Saya memutuskan untuk menjual pecel lele, makanan favorit saya
sejak kuliah. Ya, selama kuliah, saya rajin berburu toko lele pecel lezat. Saya
pikir, orang-orang yang menjual makanan dari no lele khusus. Sekali lagi, semoga sukses bagi saya
tidak sepenuhnya berpihak. Setelah saya menjual lele, yang menjual ayam sebagai
gantinya. Jika kehabisan menu ayam, cukup pilih pembeli rumah. Namun, saya
tidak mau menyerah. Karena aku tahu itu lele lezat. Jadi, ketika pembeli duduk
menikmati hidangan, aku berkeliling meja, minta mereka untuk mencicipi lele
hasil masakan kami. Untungnya, mereka menemukan memasak lezat.
Dari sana, saya mencoba lebih keras untuk memperkenalkan
lele memasak. Saya mencoba untuk menonjolkan kelebihan lele yang terletak di
daging yang lembut dan juicy. Untuk membuat penampilan fisik lele mungkin
kurang menarik, lelenya I baluri tepung dan digoreng. Hasilnya? Gagal total!
Aku melihat tepung lele berbalur. Dia .. he .. he .. itu
sebenarnya menyerupai pisang goreng. Aku menyerah. Aku mencoba lagi dengan
tepung lele goreng. Kali ini, goreng telur dan melalui beberapa proses.
Alhamdulillah, sukses! Pembeli semakin lebih suka makan lele olahan kami.
Pelanggan yang suka makan ayam, lele mulai bergerak ke dalam tepung.Setelah
tiga bulan pindah ke tempat baru, pendapatan rumah tangga makan saya meningkat
menjadi Rp 3 juta per bulan. Saya sangat berterima kasih. Dari sana saya
berpikir lebih ke bisnis totalnya. Terutama bila dibandingkan dengan
penghasilan saya sebagai karyawan di kantor yang hanya “tiga titik”. Artinya,
setelah ketiga, dan “koma” Ha … ha .. ha
Sekarang, ada banyak pilihan pada menu lele lele Pecel Lela.
Menghimbau kepada pembeli, Pecel Lele Lela juga menghilangkan makanan untuk
pembeli ulang dalam beberapa hari mendatang. Dan, pembeli bernama Lela juga
akan menerima tunjangan seperti makanan gratis seumur hidup. Menarik, bukan?
Namun, keberhasilan yang saya capai bukan hanya konsep
kematangan dan menu kelezatan saja, Anda tahu. Karyawan juga memiliki andil
besar. Itulah sebabnya, penting bagi saya untuk membuat mereka merasa di rumah
dan bekerja dengan hati.
Sebagai hadiah, mereka sering makan di restoran lain pada
saya. Jika hati senang, mereka pasti akan bekerja dengan semangat. Oh yeah,
tentang logo Pecel Lele Lela yang sempat diprotes kedai kopi Amerika karena
mirip, juga sudah saya berubah sejak cabang dibuka untuk 16.
Jody dan Anik pengusaha steak
Jody dan Anik, berhasil menciptakan
sebuah gebrakan baru di bisnis kuliner, dengan menawarkan steak, yang
harganya sangat bersahabat dan jauh dari kata mahal.
Menjadi seorang pengusaha
sukses, tentunya menjadi impian besar bagi semua orang. Namun
sayangnya tidak banyak orang yang bisa berhasil meraih impian tersebut,
mengingat untuk mencapai sebuah kesuksesan dibutuhkan kerja keras dan tekad
yang kuat guna menghadapi semua rintangan dan hambatan yang sering muncul di
tengah perjalanan menuju sukses. Hal inilah yang memotivasi sepasang suami
istri, Jody Brontosuseno dan Siti Hariyani dalam mengembangkan usaha.
Jatuh bangun dalam menjalankan
sebuah usaha, sudah menjadi bagian dari perjuangan mereka mencapai kesuksesan.
Berbagai peluang usaha
dari mulai berdagang roti bakar, berjualan susu, sampai berbisnis kaos partai
musiman pernah mereka jalani, dan semuanya tidak bisa bertahan lama hingga
harus ditutup sebelum mencapai suksesnya.
Meskipun begitu, pengalaman pahit
tersebut tidak membuat sepasang suami istri ini berhenti mencoba peruntungannya
di dunia bisnis. Mengawali kesuksesan bisnisnya pada tahun 2000, Jody dan Anik
mencoba membuka warung steak sederhana dengan memanfaatkan teras rumahnya, yang
berlokasi di Jl. Cendrawasih 30 Demangan Yogyakarta sebagai lokasi usaha.
Berbekal jiwa entrepreneur yang telah mereka miliki, pasangan serasi ini
nekat membangun sebuah rumah makan steak dengan nama “Waroeng Steak n Shake”
yang kini lebih dikenal dengan istilah WS, lain daripada restoran steak
lainnya.
Jika biasanya kuliner ala Eropa ini
hanya bisa dinikmati masyarakat menengah atas, di berbagai restoran mewah atau
di hotel-hotel berbintang dengan harga yang relatif mahal. Jody dan
Anik, berhasil menciptakan sebuah gebrakan baru di bisnis
kuliner, dengan menawarkan salah satu makanan barat yang banyak
diminati masyarakat yaitu steak, dengan harga yang sangat bersahabat dan jauh
dari kata mahal.
Mereka sengaja menawarkan steak di
warung sederhananya, untuk membangun image baru di mata konsumen bahwa
menu ala Eropa juga bisa disajikan di warung makan biasa, dengan cita rasa yang
tidak kalah bersaing dengan steak di hotel-hotel berbintang lima.
Siapa sangka jika strategi
tersebut cukup menarik minat konsumen, hingga waroeng steak yang dulunya
hanya bermodalkan 5 buah hot plate dan 5 buah meja makan, dengan daya
tampung 20 pengunjung. Kini berhasil berkembang pesat, mencapai lebih dari 30
cabang yang tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Seperti di daerah
Jakarta, Medan, Bogor, Bandung, Semarang, Malang, Solo, Palembang, Yogyakarta,
Bali, serta Pekanbaru. Dengan omset ratusan hingga milyaran rupiah setiap
bulannya.
Terobosan baru yang ditawarkan
Waroeng steak, melalui mottonya “Bukan steak biasa” ini berhasil merubah
pandangan masyarakat, yang dulunya beranggapan bahwa makanan steak hanya bisa
dikonsumsi orang kaya. Menjadi makanan baru yang bisa dinikmati seluruh
lapisan masyarakat dengan harga yang sangat terjangkau dan tentunya pas
dikantong semua konsumen.
Dengan menanamkan image murah yang
begitu kuat di hati para konsumennya. Kini duet suami istri ini tercatat
sebagai salah satu entrepreneur
sukses yang keberadaannya patut diperhitungkan. Karena mereka tidak
hanya sukses mengembangkan puluhan cabang WS di berbagai daerah saja, saat ini
Jody dan Anik juga merambah bisnis makanan lainnya yang menawarkan berbagai
menu bakaran, serta membangun bisnis futsal di seputaran kota Yogyakarta.
Kisah Sukses Bubur Abah Odil
Saya mengenal Abah Odil secara pribadi baru sekitar
setahun belakangan ini. Tapi kisahnya sudah saya ketahui sekitar 2 tahun yang
lalu di sebuah majalah bisnis.
Abah Odil adalah sosok seorang yang tidak puas sebagai
seorang karyawan. Walau sudah bergaji puluhan juta perbulan, dapat tunjangan rumah,
mobil, dan berbagai fasilitas lain karena dia punya posisi penting di sebuah
perusahaan, dia rela melepas itu semua untuk memenuhi kata hatinya.
Pilihan bisnis yang dia pilih adalah sebagai TUKANG BUBUR
KELILING. Bagi kebanyakan orang mungkin akan menganggap Abah Odil lagi “error” tapi tidak
banyak yang tahu sebenarnya Abah Odil punya misi dan visi yang kuat dari
profesi barunya itu.
Jangan dikira bisnis Abah Odil ini langsung jalan sesuai
harapan. Abah Odil juga sempat jatuh diawal usahanya. Tapi dari berbagai
kegagalan inilah akhirnya Abah Odil bisa mengambil kesimpulan untuk dijadikan
pelajaran dan MODAL
MELANGKAH KEDEPAN.
Setelah beberapa tahun berlalu dan omsetnya meningkat,
akhirnya Abah Odil tidak lagi berjualan keliling. Dia sudah punya tempat yang strategis di
sebuah ruko jl. Sukarno Hatta kota Malang dan terkenal sebagai bubur ayam paling enak di kota malang.
Bahkan gerai Abah Odil pernah mencapai hingga 8 lokasi di kota Malang.
Dari kisah Abah Odil ini, dapat kita tarik kesimpulan
bahwa semangat pantang menyerah itu sangat penting dalam bisnis kuliner.
Bersyukur dan terus berfikir kreatif adalah salah satu kunci sukses Abah Odil. Serta
rasa adalah segalanya bagi bisnis
kuliner. Selain itu cara-cara promosi kreatif harus terus dikembangkan karena
kunci sukses dari sebuah bisnis adalah PROMOSI.
DONNY
PRAMONO Pengusaha Sour Sally
Ini
dia Sally, gadis manis berkepang dua yang terpampang di semua produk Sour
Sally. Seiring bertambahnya penggila froyo, Sally semakin terkenal. Yoghurt kini
tampil lebih cantik dan sehat dalam kemasan froyo alias frozen yoghurt. Tak
ayal, ia digemari banyak orang dan bisnisnya makin digandrungi.
Dari Hobi Lahirlah Sally
Gadis itu berkepang dua dengan dress mini berwarna hitam. Matanya melirik, menggoda siapa pun yang melewatinya. Namanya Sally. Dialah ikon dari butik frozen yoghurt (froyo) Sour Sally yang belakangan ini sedang naik daun. Bisnis yang dimulai dari hobi pemiliknya, Donny Pramono. “Saya memang hobi makan yogurt. Seminggu bisa makan lima kali.”
Gadis itu berkepang dua dengan dress mini berwarna hitam. Matanya melirik, menggoda siapa pun yang melewatinya. Namanya Sally. Dialah ikon dari butik frozen yoghurt (froyo) Sour Sally yang belakangan ini sedang naik daun. Bisnis yang dimulai dari hobi pemiliknya, Donny Pramono. “Saya memang hobi makan yogurt. Seminggu bisa makan lima kali.”
Kegemaran
Donny makin tersalurkan saat ia kuliah di Los Angeles (LA), Amerika Serikat.
Maklum, di sana banyak gerai penjual yogurt, Tempat itu kerap dijadikan tempat
ngumpul Donny dan teman-temannya. “Akhirnya terinspirasi membuat brand yang
bisa go international, dimulai di Indonesia,” urainya.
Untuk
mewujudkan itu, selama di LA, Donny rajin mencoba membuat froyo. Apartemen
adiknya, Darwis Pramono pun dijadikan tempat eksperimen. Mesin pembuat froyo yang
disewanya, disimpan di sana. Lantaran listrik tak mencukupi, ia harus menyewa
genset. Tapi, untuk menghidupkan genset, Donny harus main kucing-kucingan
dengan tetangganya. “Sebelum jam 5, kami harus sudah selesai, karena tetangga
sudah pulang kantor,” kata pria kelahiran 30 September 1982 ini.
Lewat
riset itu, penggemar futsal ini menemukan citarasa froyo yang diinginkan. “Rasa
harus disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Di Amerika, lebih milky (kental
susunya) dan kecut. Kalau di sini, seimbang antara kecut dan manis.” Formula
itu yang akhirnya dibawa pulang ke Indonesia di akhir 2007.
Lantas
anak pasangan Suwitno Pramono dan Elien Limuwa ini mengajak sepupunya yang
sudah malang melintang di dunia bisnis kuliner, Telly Limbara. Telly sepaham
lantaran konsep bisnis Donny dinilai menarik. Modal awal pun mereka
gelontorkan.
Donny
dan Telly tak main-main. Untuk memulai bisnis ini, mereka juga menyewa
konsultan brand profesional. Dari situ lahirlah Sour Sally. “Sour itu artinya
kecut dan Sally itu nama cewek manis,” kata Donny. Desain interiornya pun
sengaja dibuat kental dengan warna khas perempuan. Tengok saja dominasi warna
hijau muda yang segar dan kursi-kursi empuk dengan warna pastel pada gerainya.
Begitu pula dengan pegawainya, terutama yang perempuan, mereka tampil persis
dengan Sally yang chic.
Gerai
pertama Sour Sally dibuka di Senayan City, pada 15 Mei 2008. Dalam dua bulan,
Sour Sally menjadi buah bibir. Antreannya bahkan pernah meluber hingga ke luar
gerai. Sekarang ini sudah ada sepuluh gerai di ibu kota. “Hari biasa,
pengunjung bisa ratusan. Kalau akhir pekan, beberapa outlet bisa dikunjungi
ribuan pembeli,” urai alumni Penn State University.
Di
Sour Sally tersedia tiga rasa yaitu plain yang seimbang manis dan kecutnya,
green tea yang lebih kecut, pinklicious yang lebih manis. Topping-nya beragam,
dari buah-buahan, hingga mochi, kenari, atau sereal. “Sampai sekarang ada 20
topping tapi masih banyak Sour Sally Lovers (sebutan konsumen) yang belum
mencoba,” ucapnya yang bisnisnya sempat dikira franchise.
Sekarang,
malah sudah tersedia waffle yang dibubuhi froyo dan topping bernama Pinklicious
Waffle. Celah inilah yang sekarang sedang digali oleh Sour Sally. Karena bagi
Donny, “Setiap orang mempunyai selera sendiri dan kami ingin memuaskan semuanya.”
Dengan aneka macam froyo, topping, hingga menu yang beragam, tak heran jika
Sour Sally selalu dipenuhi tua muda pria wanita setiap harinya.
Pada
tahun 2010 dibuka cabang Sour Sally pertama di luar negeri, yaitu di Singapura,
tepatnya di Wisma Atria Shopping Center, #B1-47, kini ada dua cabang di
Singapura. Sedangkan di Indonesia cabangnya tersebar di beberapa kota besar,
seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Bali, Semarang. Omset tahunannya
kini mencapai puluhan miliar.
Swandani Kumarga pemilik restoran Dapur
Solo (DS)
Salah satu dari sekian restoran
tradisional yaitu Dapur Solo (DS). Rumah makan yang terletak di kawasan Sunter
ini menyajikan aneka makanan Jawa, khususnya dari Solo. Makanan tradisional
yang bervariasi di restaurant Dapur Solo ini merupakan tujuan untuk
memopulerkan aneka makanan yang pada saat ini cenderung merupakan makanan barat
seperti Burger, Hotdog, Pizza, Pasta dan masih banyak makanan barat lainnya. Pengusaha Dapur Solo ini dalam
membangun usaha makanan tradisional, benar-benar dimulai dengan keringat dan
tekad yang keras. Banyak usaha-usaha yang bisa kita ciptakan untuk membuat diri
kita menjadi semakin mandiri. Dampak positifnya dalam membangun usaha ialah
terbukanya lapangan kerja bagi orang lain, membangun perekonomian banyak orang
dan membantu perekonomian negara. Kita lihat salah satu keberhasilan ekonomian
karena adanya usaha-usah ayang dirintis masyarakat negara Indonesia yang sadar
akan perlunya membangun sebuah usaha untuk kelangsungan hidup mereka dan orang
lain.
Awalnya bukan terinspirasi, tetapi
karena ingin membantu suami untuk mencari uang, kan uang tidak harus dari
kantong suami, karena saya hobi makan rujak juga yah. Jadi pertama kali saya
menjual rujak dulu. Bertahap gitu.
Dari rumah ke rumah, Door to door,
tetangga lewat mulut ke mulut. Dengan selembaran. Hanya berawal dari garasi
rumah, hanya dapur rumah. Sebenarnya niat saya cuma ingin menjual rujak,
akhirnya saya coba-coba, lalu menulis saya dikertas A4 dan dibagi dua,
tulisannya juga hanya menyediakan rujak dan es jus. Hanya rujak dan es buah
saja yang saya jual waktu itu.
Modal saya
hanya Rp 100rb, waktu itu Rp 100rb hanya bisa mendapatkan gilingan es,
buah-buahan, juga kurang lebih gelas 2-3 lusin. Orang bilang usaha harus pake
modal besar, tetapi bagi saya modal tekad, niat, ulet dan keberanian. Menurut
saya ini yang menjadi modal dasarnya.
Mereka tadinya
menganggap hanya main-main, tetangga juga hanya kasian. Tetapi saya tidak malu,
karena saya tidak mencuri. Usaha saya juga mendapatkan respon positif dari anak
sekolah, tetapi saya tidak malu, orang duit yang saya dapatkan halal. Kalau
kita semua dijalan yang benar ngapain malu. Pada dasarnya kita tidak perlu malu
untuk memulai sebuah usaha.
Keluarga saya,
kebetulan latar belakang orang tua saya memang dagang sembako. Kalau orang
bilang ada bakat turunan, padahal menurut saya bukan bakat, karena sebenarnya
semua orang mempunyai bakat, tinggal orang tersebut ingin menggali bakat
tersebut atau tidak.
Keluarga
saya sangat men-support sekali usaha saya ini, terutama suami saya sangat
membantu. Karena biasanya perempuan mempunyai usaha dirumah bisa sambil
mengurus anak. Dulu suami saya bekerja sebabgai proyek manager, tetapi akhirnya
kita berdua membangun usaha ini bersama-sama, hingga menjadi sebesar ini. Anak
saya perempuan, umurnya 24 tahun. Saya hanya memiliki satu putri yang bekerja
di HSBC. Semua ini, usaha dan keluarga telah diberkati oleh tuhan. Dan karena
Tuhan telah memberikan kepercayaan kepada kita.
Karena
kita ingin mempopulerkan makanan tradisional, dan ingin mempertahankan budaya
makanan indonesia, membuat makanan tradisional sejajar dengan makanan lainnya.
Obsesi saya hanya itu. Ingin mengangkat makanan tradisional dan mengalahkan
makanan barat.
Selangkah
demi selangkah saya kerjakan dengan tekun. Akhirnya setelah ditekuni selama 5
tahun, usaha ini menjadi lebih besar. Omset awal hanya Rp10rb. Mulai setiap
bulan mengalami peningkatan, omsetnya mencapai Rp50rb sampai Rp100rb perhari
dan saya juga mempunyai target, jadi setiap bulannya harus mengalami
peningkatan. Suka dukanya, jika masyarakat bosan dengan hanya variasi makanan yang
itu-itu saja. Akhirnya saya menambahkan gado-gado sebagai inovasi baru terhadap
makanan. Hanya melihat pembuatan gado-gado, kita mencoba-coba. Testernya suami
dan tetangga. Intinya selalu berdoa, kalau mendapatkan ide, pasti mencoba ide
baru itu. Karena tester tersebut berhasil, akhirnya kita memasukan gado-gado
sebagai menu baru kita.
Saya
ada cabang di Daerah Melawai, Jakarta Selatan. Saya tidak mau latah karena
wirausaha-wirausaha yang sudah sukses membuka banyak cabang karena ingin
menjadi semakin terkenal. Bagi saya tidak merasa ada saingan. Saya menganggap
semua teman untuk saling mengembangkan. Kalau merasa saingan, kita bertekad untuk mengalahkan. Saingan adalah
sahabat. Bersaing dalam kreativitas. Setiap orang berbeda-beda cara
mengembangkan usahanya. Tetapi tergantung bagaimana kita merangkul semuanya
menjadi teman. Kalau persaingan semakin banyak, itu berarti perekonomian negara
kita semakin terangkat. Banyaknya lapangan kerja yang senakin banyak terbuka.
Dan kita bersaing secara sehat dan secara kreativitas. Tidak ada sirik atau iri
terhadap pesaing lain.
Saya
tidak pernah mengalami kegagalan. Karena saya melakukannya dengan bertahap. Tidak pernah mengalami kegagalan besar
yang benar-benar membuat bangkrut. Karena mungkin saya tidak langsung
menginginkan usaha yang langsung berhasil. Tidak ada rugi dalam makanan kecuali
benar-benar rugi besar. Kecuali kita tidak mampu bersaing, kemungkinan besar
akan rugi tentu saja ada. Menjaga kualitas tentunya, kemudian kebersihan, service-nya
juga harus sebaik mungkin bisa dijaga, suasana rumah makan yang nyaman, dan
rasa makanan itu sendiri menjadi taste utama yang menarik pembeli, harga juga
sesuai kantong masyarakat. Jangan menjadi latah, jangan melihat untung saja.
Jangan ikut-ikutan latah jika pesaing lain menaikkan harga.
Tentu saja. Kenapa tidak. Semua
orang berhak membuat usahanya masing-masing agar menjadi mandiri dan tidak
tergantung pada orang lain. Sebetulnya kalau kita mau berusaha, modal usaha itu
adalah tekad, berdoa karena kita punya tuhan, meminta hikmat, intinya percaya
bahwa tuhan punya rencana atas semua yang kita kerjakan. Kita sebagai manager
pengelola, kalau dipercaya oleh tuhan, maka kita harus memegang kepercayaan
itu. Sedikit demi sedikit pasti usaha kita akan maju.
Sudah ada 100 karyawan, sudah
termasuk cabang yang di Melawai. Dari 1 orang karyawan hingga sekarang karena
tuhan. Itu merupakan kepercayaan Tuhan pada kita. Amanah kalau menurut agama
saya.
Sehari rata-rata Rp5 juta/hari atau
Rp150juta/bulan, tidak usah sombong kita sebagai orang. Tahun depan saya
berencana membuka Perseroan Terbatas atau PT, yang awalnya dari perseorang, dan
hanya wirausaha sendiri, manajemen yang baik, bekerja sama kepada orang lain,
dan menambah partner dalam usaha. Wirausaha tidak ada kata pensiun. Karena
wirausaha tidak pernah mengenal umur. Untuk Target sekarang, saya masih punya
mimpi, yaitu tetap mempopulerkan makanan tradisional diantara makanan
internasional. Kalau tuhan mengijinkan tahun depan saya akan membuka Perseroan
Terbatas yang partnernya yah teman-teman saya sendiri. Tahun depan saya berniat membuka
Fitness Center, Butik dan Female Gym. Rancangannya pun sudah ada dan dibuat
oleh arsitektur yang handal. Nanti saya perlihatkan.
Surya agung pengusaha makanan india
Tidak ada yang bisa menebak secara
pasti garis kehidupan seseorang, entah itu seorang baik, jahat, bijaksana,
terpandang maupun mantan narapidana sekalipun. Semua memiliki garis hidup dan
takdir tersendiri dan semuanya bisa meraih kesusksesan jika didukung dengan
kerja keras dan kemauan yang tinggi untuk maju. Surya agung, seorang yang
selama ini dicap kriminal dan tidak berguna. Surya agung bukanlah seorang dari
kalangan yang terpandang bukan pula dari riwayat yang baik namun dirinya
meruapakan seorang mantan narapidana yang telah tiga kali keluar masuk penjara
dan di dekade waktu terakhirnya dirinya menghabiskan seluruh waktunya di jeruji
besi.
Dengan semua reputasi yang buruk tersebut tentu orang menilai bahwa dirinya adalah orang yang tidak memiliki masa depan dan akan sulit untuk menggapai cita-citanya seperti yang diharapkan. Namun siapa sangka sekarang setelah lepas dari penjara Surya agung berhasil sukses lewat bisnis kulinernya, dan hebatnya dia mencapai kesuksesan tersebut hanya dalam waktu yang relatif singkat yakni setengah tahun. Tentu semua orang tidak bisa menyangka Surya agung bisa sukses dalam waktu secepat itu dengan status dirinya yang bahkan mungkin terpinggirkan di masyarakat, namun Balamurukan membuktikan dirinya bisa melakukannya.
Kilas balik kesuksesan Surya agung sebagai seorang pengusaha kuliner yang sukses di mulai dari bulan Mei tahun lalu dimana saat itu dirinya keluar dari salah satu penjara di Singapura setelah melewati berbagai kasus kriminal yang menjeratnya. Surya agung yang berumur 41 tahun dan memiliki anak yang masih kecil (sekitar 8 tahun) dan baru keluar penjara kala itu merasa bingung karena dengan umurnya yang sudah tidak produktif lagi dan memiliki reputasi yang baru keluar dari tahanan tentu akan sulit mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keinginan, di tengah kebingungannya datanglah lembaga Industrial and Services Cooperative Society atau bisa disebut dengan Iscos menawarkan bantuan dan memperkenalkan dirinya dengan Dr Leong Kaiwen.
Bantuan Iscos yang merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang rehabilitasi mantan napi agar bisa kembali berintegrasi dengan masyarakat. Untuk itu dia memperkenalkan dirinya pada Dr Leong Kaiwen yang kelak mengubah garis hidup dan peruntungannya. Dr Leong Kaiwen yang merupakan Profesor Ekonomi di NTU yang juga merupakan pemimpin lembaga non-profit bernama Princenton Mind, kemudian memfasilitasi Surya agung yang berkeinginan untuk merintis usaha kuliner India sesuai dengan negara asal nenek moyangnya. Surya agung kemudian mengikuti berbagai pelatihan yang bisa membantu dalam pembentukan usaha kulinernya memalui fasilitasi Dr Leong Kaiwen.
Setelah melalui berbagai pelatihan kemudian Surya agung membuka sebuah kedai makanan. Modalnya merupakan pinjaman lunak dari perusahaan yang memfasilitasi usaha skala kecil dan menengah. Saat ini usaha Surya agung terus maju dan berencana untuk memperluas usahanya dengan membuka beberapa kedai lagi dalam beberapa waktu kedepan. Harus diakui selain kemauan dukungan pemerintah dan lembaga sosial disana memang juga cukup membantu kalangan kecil yang membutuhkan perbaikan ekonomi.
Daus-Usya pengusaha makanan khas Indonesia di London
Suara Pance Pondaag menyanyikan Demi
Kau dan Si Buah Hati menemani Firdaus Ahmad menyetir Mercedes 120 CDI di jalanan London yang
padat pada suatu siang akhir Februari lalu. Mobil jembar yang sanggup
mengangkut sepuluh orang itu adalah kendaraan "dinas" laki-laki 54
tahun ini dari rumah ke restorannya.
Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris itu. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu. "Sejak Presiden Barack Obama datang ke Indonesia, menu favorit di sini nasi goreng," kata Daus.
Selain itu, ada banyak makanan khas Indonesia di daftar menu: ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang. Saya makan di sana ketika restoran masih tutup menjelang sore. Tapi, di depan pintu, pelanggan dari pelbagai ras yang akan makan malam sudah antre mengular.
Resto ini adalah buah kerja keras Daus selama 20 tahun. Ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London. Daus nekat berangkat ke Inggris karena penghasilan sebagai kondektur angkutan kota Kampung Melayu-Bekasi tak menentu.
Mendarat di Bandar Udara Heathrow yang sibuk, lulusan SMA 1 Indramayu ini termangu dua jam. Ia tak tahu jalan keluar. Ia amati setiap penumpang. Asumsinya, orang yang kusut pasti baru mendarat setelah penerbangan yang jauh. Ia ikuti mereka menyeret koper. "Saat itu saya baru tahu arti 'exit' itu keluar," katanya, terbahak.
lalu bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tak berumur lama. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resto itu kini jadi rumah makan Asia yang tukang masaknya adalah pemilik lama, bekas majikan Daus.
Seorang pengusaha Singapura kemudian mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus diajak bergabung dan naik pangkat jadi chef. Tapi perkongsian ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Daus kelimpungan tak punya pekerjaan.
Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.
Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.
Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Deal. RBS ternyata setuju.
Sejak itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.
Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. Rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.
Daus-Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil nangkring di garasi. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.
Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin.
Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris itu. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu. "Sejak Presiden Barack Obama datang ke Indonesia, menu favorit di sini nasi goreng," kata Daus.
Selain itu, ada banyak makanan khas Indonesia di daftar menu: ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang. Saya makan di sana ketika restoran masih tutup menjelang sore. Tapi, di depan pintu, pelanggan dari pelbagai ras yang akan makan malam sudah antre mengular.
Resto ini adalah buah kerja keras Daus selama 20 tahun. Ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London. Daus nekat berangkat ke Inggris karena penghasilan sebagai kondektur angkutan kota Kampung Melayu-Bekasi tak menentu.
Mendarat di Bandar Udara Heathrow yang sibuk, lulusan SMA 1 Indramayu ini termangu dua jam. Ia tak tahu jalan keluar. Ia amati setiap penumpang. Asumsinya, orang yang kusut pasti baru mendarat setelah penerbangan yang jauh. Ia ikuti mereka menyeret koper. "Saat itu saya baru tahu arti 'exit' itu keluar," katanya, terbahak.
lalu bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tak berumur lama. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resto itu kini jadi rumah makan Asia yang tukang masaknya adalah pemilik lama, bekas majikan Daus.
Seorang pengusaha Singapura kemudian mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus diajak bergabung dan naik pangkat jadi chef. Tapi perkongsian ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Daus kelimpungan tak punya pekerjaan.
Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.
Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.
Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Deal. RBS ternyata setuju.
Sejak itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.
Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. Rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.
Daus-Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil nangkring di garasi. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.
Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin.
Muhdi
Pengusaha Keripik Singkong
Saat datang ke Medan,
Sumatera Utara, tahun 1986, Muhammad Muhdi (46) bukanlah
siapa-siapa. “Naik kereta (sepeda motor) saja saya tidak bisa,” kata
Muhdi. Namun, 25 tahun kemudian, ia adalah pengusaha keripik singkong
dan turunannya dengan 75 karyawan dan mulai mengekspor produknya.
Berbincang dengan
Muhammad Muhdi selama sekitar dua jam membawa kesimpulan bahwa
ia sukses sebagai pengusaha keripik singkong karena ia orang yang
optimistis dengan hidupnyi. Namun, optimisme itu pun tidak ia peroleh dengan singkat.
Ada masa ia terjepit dan terjatuh, tetapi bisa bangun lagi dan berhasil
seperti saat ini.
Selulusnya dan
Madrasah Aliyah Pondok Baru, Payaman, Magelang, Jawa Tengah,
Muhdi pergi ke Medan menjadi nazir Masjid Nurul Imam di
kawasan Kompleks Perhubungan Udara, Padang Bulan, Medan. Ia juga
bekerja macam-macam, seperti menjadi tukang kebon Taman Kanak-kanak
Ikadiasa, Kompleks Perhubungan Udara, Jalan Penerbang, Medan. A
Siong, seorang pedagang telur, pernah menawarinya berdagang telur.
Usahanya menanjak saat
ia mulai memasok logistik, seperti telur, beras, minyak goreng,
minyak tanah, hingga sirup, ke Pondok Pesantren Roudhatul Hasanah, Medan.
Semua berbalik saat krisis moneter tahun 1997. Pemilik toko tempat ia
mengambil barang bangkrut. Ia mencoba berdagang bahan pokok.
Di tengah situasi tak
menentu, ia pulang kampung saat Lebaran tahun 1999. Di situlah ide
membuat keripik singkong muncul. “Ada orang buat keripik manual. Saya lalu
beli peralatannya,” cerita Muhdi. Ia membeli alat potong Rp 120.000,
wajan Rp 75.000, dan alat penampi Rp 15.000. Ia bawa peralatan itu ke
Medan.
Sesampai di Medan, ia
langsungmembeli singkong 5 kilogram di pasar dan minyak goreng 2 kilogram
untuk praktik membuat keripik. Ternyata keripiknya tenggelam dalam minyak.
Esoknya ia beli
singkong ke petani, dengan asumsi kualitas singkong lebih baik. Eh,
sama saja, keripik tenggelam di dalam minyak.
Usut punya usut,
ternyata api kurang besar, sementara wajan kebesaran. Ber kali-kali
dicoba, baru ketemu formula pas, antara banyaknya minyak,
besarnya api, panas minyak, dan besarnya wajan. Wajan yang ia beli
dari Magelang ternyata kebesaran sehingga ia perlu mengganti wajan dari
tukang pisang yang membantu ia menemukan formula pas untuk menggoreng keripik.
Akhir tahun 1999,
produksinya membutuhkan 100 kilogram singkong per hari dan proses
menggoreng nonstop hingga malam hari. Masyarakat sekitar mulal
terusik dengan aktivitas produksi keripiknya, terutama karena
limbah singkong. Ia pun pindah ke kawasan Medan Tuntungan di pinggĂr
kota. “Saya sewa rumah yang kata orang berhantu Rp900.000 untuk tiga
tahun,” katanya. Kebetulan air di kawasan itu bagus.
Ia membuat dapur dan
mulai berproduksi lagi. Ia memanggil lima orang tetangganya di Tuntungan
untuk bekerja kepadanya. Produksi terus meningkat, dari 150 kg per hari
menjadi 0,5 ton, kemudian 1 ton per hari. Tenaga kerja meningkat
menjadi 15 orang.
Tahun 2002, pemilik
rumah hendak menjual tanah dan rumah sewanya di Jalan Tunas Mekar,
Tuntungan II, Pancur Batu, Medan. Ia pun mencari pinjaman bank
untuk membeli rumah dan tanah itu. Sementara itu, produksi meningkat
menjadi 2 ton per hari. Pada tahun itu, ia juga mengikuti pelatihan
di Dinas Perindustrian dan Perdagangin Kota Medan, dan mulai
mendaftarkan produknya ke dinas kesehatan dan memberi merek “Kreasi
Lutfi”, mengambil nama anaknya. Ia juga mulai membuat keripik aneka rasa.
Produksi sempat
berhenti total selama tiga bulan pada 2004 karena para penjualnya
lari. Se1uruh produk dibawa penjual sehingga ia menjual kendaraan operasional
untuk menutup utang. Utang bank pun tak terbayar. Ia memulai lagi
menggoreng keripik dengan modal Rp 1,1 juta. Jadilah 200 bal
keripik. Ia meminta salah satu mantan penjualnya untuk
menjadi distributor. Mulai dari situ bisnisnya kembali menanjak
dan sejak tahun 2005 ia memproduksi 4 ton singkong setiap hari.
Ia juga melebarkan
sayap ke bisnis gaplek,
mengolah kulit ubi menjadi makanan ternak. Kini ia tengah menjajaki bisnis
opak dan pembuatan tepung singkong agar bisa menggantikan tepung terigu.
Total karyawannya 75 orang.
Awal tahun ini ia
mulai mengekspor keripiknya ke Korea Selatan. Dua minggu sekali ia
mengirim satu kontainer kenipik singkong ke Korea Selatan. Satu kontainer
berisi 2.566 kotak keripik. Satu kotak berisi 2,6 kg keripik.
”Ini khusus untuk diameter singkong 5,7 cm,” kata dia.
Muhdi, yang selalu
tampil sederhana itu, mengatakan, semua itu dimulai dari kepepet
(terjepit). Ia mengatakan bahwa ilmunya sederhana saja, yakni
menyelaraskan otak, otot, dan omong, membuat produknya mutu, mudah,
dan murah, serta bekerja dengan senang,santal, tetapi selesai.
Begituiah Muhdi, yang menyelesaikan
kuliahnya di Institut Agama Islam Negeri Sumut, dengan harapan bisa
mengajar di Medan. Namun, malah jadi pengusaha keripik.
Hendra Pengusaha snack zone
Tak hanya hadir di pasar-pasar tradisional, sekarang ini bisnis aneka camilan mulai merambah pusat perbelanjaan di kalangan masyarakat kelas atas. Hendra Gunawan, merupakan salah satu pemain bisnis camilan yang membidik konsumen kelas atas untuk mengembangkan roda usahanya.Mengawali bisnisnya sejak tahun 1979 silam, cikal bakal bisnis Hendra diawali dari usaha sang ayah yakni Suhaili Gunawan yang saat itu menjual kerupuk Bangka di lantai basement Plaza Hayam Wuruk. Dari bisnis kerupuk yang diberi nama Rotary Snack tersebut, kini Hendra bisa sukses membangun lebih dari 7 gerai bisnis camilan di mall-mall besar yang ada di seputaran kota Jakarta.
Jika dulunya bisnis keluarga yang dibangun sang ayah hanya menjajakan kerupuk Bangka dengan konsep yang sederhana, sekarang ini Hendra mulai mengusung konsep bisnis yang baru untuk membidik pangsa pasar yang lebih luas. Melihat perkembangan bisnis camilan keluarganya mengalami perkembangan yang cukup pesat, Hendra mulai menawarkan sesuatu yang berbeda dengan melengkapi aneka macam camilan dari berbagai daerah di Nusantara.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin modern, Hendra sengaja mengubah nama Rotary Snack menjadi Snack Zone yang mengusung konsep bisnis lebih menarik. Dengan jargon utamanya “Your One Stop Snack Outlet”, Hendra mulai memperluas pangsa pasarnya yang dulunya hanya di dominasi oleh ibu-ibu, sekarang ini Ia mulai membidik anak muda yang pada dasarnya juga menyukai aneka macam makanan ringan.
Sampai hari ini, perkembangan Snack Zone sendiri terbilang sangat signifikan. Lelaki alumni S-1 Manajemen Keuangan lulusan Ukrida, Jakarta, serta S-2 Akunting dan Finansial dari University of Technology Sydney, Australia ini menggurita ke beberapa pusat perbelanjaan yang ada di ibu kota negara (Jakarta). Sebut saja seperti gerai Snack Zone di Plaza Indonesia, Mega Mall Pluit, Mall Kelapa Gading, Plaza Semanggi, Senayan City, food court Bank Indonesia, serta menitipkan beberapa jenis barang dagangannya di Giant supermarket.
Keunikan Snack Zone
Meskipun sekarang ini pelaku bisnis camilan sudah mewabah di berbagai daerah, namun Hendra cukup pintar untuk melakukan diferensiasi sehingga tidak heran bila konsep Snack Zone yang diusung Hendra tersebut cukup menyita perhatian konsumen kelas atas. Beberapa diferensiasi yang dilakukan Hendra antara lain menyediakan ragam camilan yang sangat bervariasi, yaitu lebih dari 500 jenis camilan seperti misalnya kerupuk ikan, rempeyek kacang, keripik pisang, keripik singkong, abon sapi, aneka kue kering, manisan, permen, dan lain sebagainya.Bahkan tak hanya itu saja pelayanan yang ditawarkan Hendra untuk memanjakan para konsumennya, Ia juga sengaja menggandeng para produsen camilan di berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan konsumen kelas atas yang menginginkan ragam camilan khas daerah tertentu. Contohnya saja seperti kacang sangrai Manado, kue lapis mandarin dari Solo, bagelen, intip gula, manisan pala, lanting, serta aneka makanan ringan khas nusantara yang dikemas secara eksklusif di setiap gerai Snack Zone.
Keunikan inilah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi para konsumen. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bila Hendra mematok target penjualan yang cukup tinggi untuk setiap gerai camilan yang Ia miliki. Luas setiap gerai Snack Zone kurang lebih 30-60 m2, dan setiap m2 dari tokonya ditargetkan bisa menghasilkan omzet sekitar Rp 2,5 juta sampai Rp 4 juta per bulan dengan profit sekitar 30%-40% dari omzet. Tentunya angka tersebut terbilang cukup menggiurkan untuk sebuah gerai bisnis camilan.
Kejeliannya dalam membidik target pasar, kini mengantarkan lelaki kelahiran 1980 ini menjadi salah satu pengusaha yang sukses berbisnis camilan di kelas atas. Semoga informasi kisah sukses pengusaha ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat Indonesia untuk segera terjun di dunia usaha. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses!
Cholis makanan ringan dari jamur.
Bagi kebanyakan orang,
lulus dari perguruan tinggi biasanya langsung memilih bekerja dan namun tak
banyak yang langsung memilih berwirausaha. Adalah Cholis, sang sarjana
kesehatan yang lebih memilih langsung berkecimpung ke dunia usaha.
Cholis memulai petualangan bisnisnya dari menjual kaos dan berbagai bisnis yang disukainya, namun tepat pada tahun 2008, Cholis membanting stir ke bisnis makanan ringan dari jamur. Melalui bendera Mushroom Factory, Cholis bercerita menuturkan sangat menyukai makanan dan ingin mengangkat makanan ringan sehat berkarakter Indonesia.
"Kita ingin membuat kemasan baru tentang makanan tradisional dengan sajian bumbu rempah-rempah Indonesia dikemas dengan secara bagus, dan kita bisa makan dimana saja dan kapan saja," kata Cholis kepada detikFinance.
Cholis mengaku memilih jamur karena jamur sudah sangat familiar dengan masyarakat Indonesia. Selain itu, ia ingin membantu para petani jamur yang sudah jarang melakukan budidaya jamur.
"Karena unik, kedua karena rasa makanan ini. Kita menyukai makanan ini dan kita ingin memberitahu setiap orang bahwa ini makanan yang asik sekali dan tidak kalah dengan cemilan asing yang sudah banyak beredar," imbuhnya.
Cholis yang merupakan Juara I Wirausaha Mandiri tahun 2010 ini menjelaskan, harga yang ditawarkan untuk produk makanan atau jajanan ringan dari jamur ini relatif berbeda untuk setiap daerah.
"Untuk di wilayah Jawa Timur dijual Rp 10.000 sampai Rp 18.000, kalau Jawa Barat mulai Rp 13.000 sampai 18.000," sebutnya.
Cholis memulai petualangan bisnisnya dari menjual kaos dan berbagai bisnis yang disukainya, namun tepat pada tahun 2008, Cholis membanting stir ke bisnis makanan ringan dari jamur. Melalui bendera Mushroom Factory, Cholis bercerita menuturkan sangat menyukai makanan dan ingin mengangkat makanan ringan sehat berkarakter Indonesia.
"Kita ingin membuat kemasan baru tentang makanan tradisional dengan sajian bumbu rempah-rempah Indonesia dikemas dengan secara bagus, dan kita bisa makan dimana saja dan kapan saja," kata Cholis kepada detikFinance.
Cholis mengaku memilih jamur karena jamur sudah sangat familiar dengan masyarakat Indonesia. Selain itu, ia ingin membantu para petani jamur yang sudah jarang melakukan budidaya jamur.
"Karena unik, kedua karena rasa makanan ini. Kita menyukai makanan ini dan kita ingin memberitahu setiap orang bahwa ini makanan yang asik sekali dan tidak kalah dengan cemilan asing yang sudah banyak beredar," imbuhnya.
Cholis yang merupakan Juara I Wirausaha Mandiri tahun 2010 ini menjelaskan, harga yang ditawarkan untuk produk makanan atau jajanan ringan dari jamur ini relatif berbeda untuk setiap daerah.
"Untuk di wilayah Jawa Timur dijual Rp 10.000 sampai Rp 18.000, kalau Jawa Barat mulai Rp 13.000 sampai 18.000," sebutnya.
Hendra Pengusaha snack zone
Tak hanya hadir di pasar-pasar tradisional, sekarang ini bisnis aneka camilan mulai merambah pusat perbelanjaan di kalangan masyarakat kelas atas. Hendra Gunawan, merupakan salah satu pemain bisnis camilan yang membidik konsumen kelas atas untuk mengembangkan roda usahanya.Mengawali bisnisnya sejak tahun 1979 silam, cikal bakal bisnis Hendra diawali dari usaha sang ayah yakni Suhaili Gunawan yang saat itu menjual kerupuk Bangka di lantai basement Plaza Hayam Wuruk. Dari bisnis kerupuk yang diberi nama Rotary Snack tersebut, kini Hendra bisa sukses membangun lebih dari 7 gerai bisnis camilan di mall-mall besar yang ada di seputaran kota Jakarta.
Jika dulunya bisnis keluarga yang dibangun sang ayah hanya menjajakan kerupuk Bangka dengan konsep yang sederhana, sekarang ini Hendra mulai mengusung konsep bisnis yang baru untuk membidik pangsa pasar yang lebih luas. Melihat perkembangan bisnis camilan keluarganya mengalami perkembangan yang cukup pesat, Hendra mulai menawarkan sesuatu yang berbeda dengan melengkapi aneka macam camilan dari berbagai daerah di Nusantara.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin modern, Hendra sengaja mengubah nama Rotary Snack menjadi Snack Zone yang mengusung konsep bisnis lebih menarik. Dengan jargon utamanya “Your One Stop Snack Outlet”, Hendra mulai memperluas pangsa pasarnya yang dulunya hanya di dominasi oleh ibu-ibu, sekarang ini Ia mulai membidik anak muda yang pada dasarnya juga menyukai aneka macam makanan ringan.
Sampai hari ini, perkembangan Snack Zone sendiri terbilang sangat signifikan. Lelaki alumni S-1 Manajemen Keuangan lulusan Ukrida, Jakarta, serta S-2 Akunting dan Finansial dari University of Technology Sydney, Australia ini menggurita ke beberapa pusat perbelanjaan yang ada di ibu kota negara (Jakarta). Sebut saja seperti gerai Snack Zone di Plaza Indonesia, Mega Mall Pluit, Mall Kelapa Gading, Plaza Semanggi, Senayan City, food court Bank Indonesia, serta menitipkan beberapa jenis barang dagangannya di Giant supermarket.
Keunikan Snack Zone
Meskipun sekarang ini pelaku bisnis camilan sudah mewabah di berbagai daerah, namun Hendra cukup pintar untuk melakukan diferensiasi sehingga tidak heran bila konsep Snack Zone yang diusung Hendra tersebut cukup menyita perhatian konsumen kelas atas. Beberapa diferensiasi yang dilakukan Hendra antara lain menyediakan ragam camilan yang sangat bervariasi, yaitu lebih dari 500 jenis camilan seperti misalnya kerupuk ikan, rempeyek kacang, keripik pisang, keripik singkong, abon sapi, aneka kue kering, manisan, permen, dan lain sebagainya.Bahkan tak hanya itu saja pelayanan yang ditawarkan Hendra untuk memanjakan para konsumennya, Ia juga sengaja menggandeng para produsen camilan di berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan konsumen kelas atas yang menginginkan ragam camilan khas daerah tertentu. Contohnya saja seperti kacang sangrai Manado, kue lapis mandarin dari Solo, bagelen, intip gula, manisan pala, lanting, serta aneka makanan ringan khas nusantara yang dikemas secara eksklusif di setiap gerai Snack Zone.
Keunikan inilah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi para konsumen. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bila Hendra mematok target penjualan yang cukup tinggi untuk setiap gerai camilan yang Ia miliki. Luas setiap gerai Snack Zone kurang lebih 30-60 m2, dan setiap m2 dari tokonya ditargetkan bisa menghasilkan omzet sekitar Rp 2,5 juta sampai Rp 4 juta per bulan dengan profit sekitar 30%-40% dari omzet. Tentunya angka tersebut terbilang cukup menggiurkan untuk sebuah gerai bisnis camilan.
Kejeliannya dalam membidik target pasar, kini mengantarkan lelaki kelahiran 1980 ini menjadi salah satu pengusaha yang sukses berbisnis camilan di kelas atas. Semoga informasi kisah sukses pengusaha ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat Indonesia untuk segera terjun di dunia usaha. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses!
“Bakso Malang Kota – Cak Eko”
Ya,
inilah sekilas cerita sukses Cak Eko. Pengusaha muda berusia 35 tahun ini
berbagi pengalaman jatuh bangunnya dalam berwirausaha. Ketika berumur 23 tahun,
waktu itu adalah awal mula dia terjun dalam bidang usaha.
Pertama, dia pernah berbisnis handphone. Tidak sempat
berjalan lama
dan gagal. Faktor yang menyebabkan kegagalan di bidang seluler ini kata dia
antara lain tidak fokus, tidak mampu menguasai pasar, menganggap usaha tersebut
hanya sambilan dan tambah-tambah penghasilan saja.
Kedua, dia mencoba peruntungan
usaha di bidang agribisnis. Namun mengalami kegagalan. Penyebab kegagalannya
ternyata mendasar sekali, yaitu tidak menguasai ilmunya. Disebutkan bahwa dia
tidak mengetahui dosis
pupuk yang harus diberikan, akibatnya terjadi gagal panen yang akhirnya
mengalami kerugian.
Ketiga, seorang Cak Eko juga pernah
terjun dalam bisnis busana, namun kembali mengalami kegagalan. Penyebab
kegagalannya adalah kurang mempelajari situasi dan kondisi pasar yang sedang
terjadi, kurang memiliki rasa percaya diri, dan tidak mampu bersaing dalam hal
marketingnya.
Keempat, dia pernah menggeluti
usaha kerajinan. Berbagai kerajinan diproduksinya, namun lagi-lagi ia harus
menerima pil pahit alias
gagal. Penyebabnya adalah belum mengetahui segmentasi pasar, hanya mengikuti
kata hatinya yang tertarik untuk melakukan ekspor dan tidak mempelajari betul
bagaimana caranya menembus pasar ekspor, pemasaran secara door to door sehingga kesulitan dalam hal cash flow, dan
sulit menagih uang ke konsumen bahkan pernah sampai tiga minggu lamanya. Hal
tersebut menyebabkan uang untuk modal berikutnya mengalami kemacetan.
Keempat usaha tersebut adalah
sebagian usaha yang pernah dia geluti dan semuanya gagal. Menurut penuturannya
dia pernah sepuluh kali mengalami kegagalan dalam membangun usaha, sehingga
selain itu ada enam jenis usaha lain yang pernah digelutinya dan mengalami
kegagalan. Namun, dia adalah seseorang dengan tipe pekerja keras dan pantrang
menyerah. Setiap kali jatuh dan gagal, ia terus bangkit, tidak tinggal diam, berusaha menciptakan
usaha baru dengan semangat yang tetap. Dalam benaknya, dia harus terus maju,
besar, dan dapat membuka lapangan kerja bagi orang lain.
Bagi pria jebolan Fakultas Teknik
Sipil – Institut
Teknologi Semarang ini, kegagalan merupakan pelajaran bisnis yang tidak ia
dapatkan di bangku perkuliahan. Bahkan ketika kuliah ia pernah mendapat nilai E
dan harus mengulang mata kuliah yang bersangkutan dengan wirausaha itu.
Awal tahun 2006, ia mulai tertarik
untuk berbisnis bakso. Ketertarikannya bermula dari sebuah bandara, ia melihat
sebuah gerai yang dikerumuni banyak orang dan tentunya laku keras. Namun dalam
bayangannya ia dihadapkan pada masalah permodalan, di bandara itu kira-kira
diperlukan tiga ratus juta
untuk menyewa sebuah gerai. Kendala lainnya adalah dia tidak bisa membuat
bakso. Untuk kendala yang kedua ini nampaknya tidak terlalu sulit bagi dia
untuk mengatasinya. Dia pergi ke Surabaya dengan maksud ingin mempelajari
bagaimana proses pembuatan bakso. Disana, ia menyuruh seorang kerabatnya untuk
mencarikan orang yang biasa membuat bakso. Setelah dipertemukan dengan si
pembuat bakso, ia belajar selama sehari suntuk. Setelah itu, ia kembali ke
Jakarta dan melakukan eksperimen selama 3 bulan.
Setelah 3 bulan bereksperimen,
akhirnya ia menemukan formula
kering. Meski demikian, ia sempat ragu akan bakso buatannya itu. Ia pun membawa
bakso buatannya tersebut untuk dicobakan kepada teman-temannya. Dia tidak
menyebutkan tester
baksonya itu buatan dia sendiri, ia mengatakan pada teman-temannya bahwa bakso
tersebut adalah membeli dari orang lain. Namun apa yang terjadi, setelah dicoba
ternyata bakso tersebut diakui teman-temannya lezat sekali, bahkan ada salah
seorang temannya minta no hp si pembuat bakso (yang padahal dirinya) karena
minggu depan ada acara besar katanya. Betapa terkejutnya Cak Eko waktu itu,
betapa tidak, bakso buatannya itu terpakai dan bahkan temannya tadi ingin
membeli dalam jumlah banyak karena kelezatannya itu. Akhirnya dia mengaku bahwa
bakso tersebut adalah hasil jerih payahnya selama tiga bulan. Dia mulai percaya
diri dan yakin bahwa bakso buatannya itu harus segera dikomersialkan.
Pada saat itu, ia dihadapkan pada
sebuah kendala. Ia harus mempunyai modal sekitar 40 juta, 30 juta untuk menyewa
tempat dan 10 juta untuk peralatan. Dia tidak terjebak dan terlarut dalam
menghadapi kendala tersebut dan akhirnya menemukan solusi. Dia mencari tempat
yang murah di Bekasi, berkeliling kesana kemari. Dia menemukan sebuah Pujasera
yang baru saja dibangun, lalu dia menemui pemiliknya. Ternyata disana sudah ada
3 produsen bakso yang hendak beroperasi. Si pemilik Pujasera sempat menolak Cak
Eko dengan dalih tidak sampai hati kepada ketiga produsen bakso yang telah
lebih dulu darinya. Dia terus memutar otaknya, bagaimana caranya agar ia bisa
berproduksi disana. Timbullah sebuah ide, ia mengusulkan kepada si pemilik
Pujasera untuk melakukan tender
di rumahnya dengan cara mentesterkan bakso masing-masing. Pada hari minggunya
ia mendapat kabar bahwa tender dimenangkan olehnya. Betapa senangnya hati Cak
Eko waktu itu, ia bisa berproduksi tanpa harus menyewa toko. Selanjutnya ia
membeli peralatan dan bahan baku. Waktu itu modalnya kurang lebih 2,5 juta. Omset pertama ia
jualan lumayan besar, sekitar 900 ribu. Omset tersebut terbilang besar dan luar biasa, apalagi
awal berjualan pada saat itu.
Setelah mulai berjalan, ternyata dia tidak puas
dengan penghasilannya pada saat itu. Dia membuka cabang di Tamrin Square,
Bekasi. Kemudian membuka cabang ketiganya di Surabaya. Dia cukup lelah dengan membuka
beberapa cabang baru usaha baksonya itu. Dia berfikiran ‘kapan dapat menikmati
hasilnya’. Akhirya dia memutuskan untuk membangun pola usaha kemitraan. Dengan
cara yang unik, banyak orang yang ingin bermitra dengannya. Lalu, dia
mendirikan tempat produksi di Surabaya. Tujuannya agar mempermudah memasok ke Indonesia bagian timur.
Puspo Wardoyo pengusaha Ayam Bakar Wong
Puspo
Wardoyo, merintis waralaba Ayam Bakar
Wong Solo hingga menjadi sebesar sekarang ini dari titik paling bawah. Ia
pernah menjajakan ayam bakar di kaki lima. Sejak kecil Puspo sudah
terbiasa berurusan dengan ayam. Orangtuanya penjaja ayam. Pagi hari, Puspo
kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang sampai malam, ia
membantu orangtuanya menjajakan menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar,
dan menu ayam lainnya di warung milik orangtuanya di dekat kampus UNS Solo.Impian
itu sendiri terinpirasi oleh cerita seorang pedagang bakso yang sukses
mengarungi hidup di Medan. Ketika pria kelahiran 30 November 1957 itu tengah
merintis usaha warung lesehan di Solo selepas mengundurkan diri dari pegawai negeri
sipil, suatu saat pedagang bakso asal Solo tersebut bertandang ke tempat Puspo.
Dia bercerita bahwa peluang usaha warung makan di Medan sangat bagus.
Pedagang bakso itu telah membuktikannya. Dalam sehari ia bisa meraup keuntungan
bersih di akhir tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000. Dari keuntungan berjualan
bakso dengan gerobak sorong itulah teman Puspo ini bisa pulang menengok kampung
halamannya di Solo setiap bulan. "Dengan uang, jarak antara Solo Medan
lebih dekat dibanding Solo Semarang, " kata Puspoyo menirukan ucapan temannya
tadi. Wajar saja jika dengan pesawat terbang waktu tempuh antara MedanSolo
Berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam.
Sementara dengan naik bis jarak antara SoloSemarang ditempuh sekitar empat jam.Cerita
sukses temannya itu begitu membekas di benak Puspo. "Saya bertekad bulat
akan merantau ke Medan, " pikirnya. Untuk mewujudkan keinginannya itu, apa
boleh buat, warung makan yang termasuk perintis warung lesehan di kota pusat
kebudayaan Jawa itu pun ia jual kepada temannya. Uang hasil penjualan yang tak
seberapa itu ia manfaatkan untuk membeli tiket bus ke Jakarta. Mengapa
Jakarta? "Karena dengan uang yang saya miliki, bekal saya belum cukup
untuk merantau ke Medan, " katanya. Ketika tengah merantau di ibu kota
itu, suatu hari Puspo membaca lowongan pekerjaan sebagai guru di sebuah
perguruan bernama DR Wahidin di Bagan Siapiapi, Sumatera Utara. Apa boleh buat,
demi mewujudkan citacitanya, ia berusaha mengumpulkan modal dengan kembali menjadi guru. Bedanya, kali ini ia
tidak lagi menjadi pegawai negeri seperti sebelumnya ketika menjadi staf
pengajar mata pelajaran Pendidikan Seni di SMA Negeri Muntilan, Kabupaten
Magelang. "Target saya cuma dua tahun menjadi guru lagi," katanya. Di
sinilah anak pasangan Sugiman Suki ini ketemu dengan isteri pertamanya Rini
Purwanti yang sama-sama menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. Dua tahun
menjadi guru ia berhasil mengumpulkan tabungan senilai Rp 2.400. 000. Dengan
uang inilah keinginannya menaklukkan kota Medan tak terbendung lagi. Uang tabungan
itu sebagian ia gunakan untuk menyewa rumah dan membeli sebuah motor Vespa
butut. Masih ada sisa Rp 700.000 yang kemudian ia manfaatkan sebagai modal
membangun warung kaki Lima di bilangan Polonia Medan. Disini ia menyewa
lahan 4x4 meter persegi seharga Rp 1.000 per hari. Suatu saat pegawainya
tertimpa masalah. Ia terlibat utang dengan rentenir. Puspo membantunya dengan
cara meminjamkan uang. Sebagai ucapan terimakasih, sang pegawai membawa
wartawan sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang
merupakan sahabat suami pegawai yang ditolong Puspo kemudian menuliskan
profilnya. Judul artikel itu Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo. Artikel
itu membawa rezeki bagi Puspo. Esok hari setelah artikel dimuat, banyak orang
berbondong-bondong mendatangi warungnya. Siapa sangka jika dari sebuah warung
kecil ini kemudian melahirkan sebuah usaha jaringan rumah makan yang cukup
kondang di seantero Medan. Impian untuk menaklukkan "jarak" Solo
Medan lebih dekat dibanding Solo Semarang pun menjadi kenyataan. Bukan
itu saja, penilaian atas prestasi bisnis yang dirintis Puspo lebih jauh melewati impian yang ia
tinggalkan sebelumnnya.
Dari ibu kota Sumatera Utara ini nanti Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo (Wong Solo) melejit ke pentas bisnis nasional. Belakangan ini nama Wong Solo semakin berkibarkibar setelah berhasil menaklukkan Jakarta setelah sebelumnva "mengapung" dari daerah pinggiran. Dalam waktu relatif singkat kehadiran Wong Solo telah merengsek dan menanamkan tonggaktonggak bisnisnya di pusat kota metropolis ini. Ekspansinya pun semakin tak tertahankan dengan memasuki berbagai kota besar di Indonesia.Fenomena Wong Solo mengundang decak kekaguman berbagai kalangan dari pejabat pemerintah, para pelaku bisnis hingga para pengamat. Hampir semua outletnya di Jakarta selalu sesak pengunjung, terutama di akhir pekan dan hari libur. Bahkan ketika bulan Ramadhan kemarin, semua outlet tersebut membatasi jumlah pengunjung saat berbuka puasa.
Skala usaha Wong Solo itu memang belum sekelas para konglomerat masa lalu yang dengan enteng menyebut angka aset, omset atau keuntungan per tahun yang triliunan rupiah. "usaha saya memang belum kelas triliunan seperti para konglomerat yang kaya utang itu," paparnya. Kendati masih tergolong usaha menengah, namun kinerja wong Solo sangat solid dan tak punya beban utang. Ia memiliki pondasi kuat untuk terus berkembang. Untuk mewujudkan mimpimimpinya, ayah sembilan anak dari empat istri ini telah melewati rute perjalanan yang berlikaliku lengkap dengan segala tantangannya.Ada masa ketika di waktuwaktu awal merintis usaha di Medan ia nyaris patah semangat garagara selama berhari-hari tak pernah meraih untung. Hanya berjualan dua atau tiga ekor ayam bakar plus nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku. Pernah pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di tengah jalan karena jalanan licin sehabis hujan. "Apa boleh buat, saya terpaksa pulang dan memasak lagi". katanya. Istrinya yang tak sabar melihat lambannya usaha Puspo bahkan sempat memberi tahu ayahnya agar memberitahu ayahnya agar mempengaruhi Puspo supaya tak berjualan ayam bakar lagi. "Mertua saya bilang, kapan kamu akan tobat," katanya menirukan ucapan sang mertua.Pada awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka jika usaha warung ayam bakar “Wong Solo” akan berkembang seperi sekarang. Maklum, rumah makan yang dibukanya hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3x4 meter di dekat bandara Polonia, Medan. Setahun pertama dia hanya mampu menjual 3 ekor ayam per hari yang dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500 plus sepiring nasi. Di tahun kedua, naik menjadi 10 ekor ayam per hari Namun sekarang, 13 tahun kemudian, di memiliki lebih dari 16 cabang tersebar di medan, Banda Aceh, Padang, Solo, Denpasar, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Jakarta, Malang dan Yogyakarta meskipun masih mengandalkan ayam bakar, namun menunya kini makin beragam hingga 100 jenis. Sudah terbiasa bagi Wardoyo untuk menyisihkan 10 % dari keuntungannya untuk amal. Dia percaya, Tuhan akan memperkaya orang yang banyak beramal. Maka jangan heran bila Anda kebetulan mampir di salah satu rumah makannya menyaksikan karyawannya sedang berkerumun di saat menjelang atau usai jam kerja. Mereka sedang melaksanakan ibadah “kultum” atau kuliah tujuh menit.Promosi dari mulut ke mulut membuat warungnya makin terkenal. Terlebih ketika seorang wartawan daerah membuat tulisan tentang “Wong Solo”, makin ramai saja orang yang makan ke warungnya. Pernah suatu hari dia kewaalahan memenuhi pesanan pelanggan. Di saat tiga ekor ayam jualannya habis, datang pembeli lain yang bersedia menunggu asalkan Wardoyo mau mencari ayam batu ke pasar. Diapun memenuhi permintaan pelanggan tersebut dengan membeli tiga ekor ayam lagi. Namun datang lagi pelanggan lain yang juga bersedia menunggu Wardoyo mencari ayam ke pasar. “Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan,” kata Wardoyo mengenang.
Bersamaan dengan bertambahnya pelanggan, dua tahun kemudian Wardoyo memperluas warungnya hingga layak disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo nampak tergurat pada bentuk bangunan dan penampilannya yang cenderung “nyleneh”. Dalam bentuk bangunan, misalnya, Wardoyo tak segansegan mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar seorang arsitek guna mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan.Perpaduan seni dan entrepreneurship Wardoyo juga tertuang dalam pendekatan terhadap konsumen. ”Saya berusaha menghafal namanama semua pelanggan saya. Sehingga sewaktu mereka datang saya harus menyambut mereka dengan menyebut namanya,” papar Wardoyo. Inilah yang disebutnya sebagai “menjadikan pelanggan sebagai saudara”. Seiring dengan berkembangnya “Wong Solo”, Puspo Wardoyo membuka kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menikmati nilai tambah Wong Solo melalui system waralaba. Untuk waralaba tersebut, Wardoyo telah membuat standarisasi dalam hal rasa dan gerai (outlet). Jika seseorang membeli waralaba “Wong Solo” di Jakarta, dipastikan sama rasa dan penataan gerainya dengan “Wong Solo” Medan atau di tempat lain.Setelah sukses membesarkan “Wong Solo”, apa harapan Puspo Wardoyo selanjutnya ? Dengan sungguhsungguh dia menyahut,” Ingin terus bekerja keras, kaya raya, banyak istri, dan masuk surga.” (sumber: kerjasejahtera.blogspot.com)
Sekarang gerai Wong Solo telah berdiri hampir di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Keuletan Puspo Wardoyo dalam membesarkan warung makan ayam bakarnya menjadi idaman masyarakat memang tidak mudah. Ia harus merasakan terlebih dahulu berbagai cobaan, rintangan, halangan, hingga masa-masa sulit yang mencekam. Bermodalkan kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, dan dibumbui ketaqwaan dalam menjalankan usaha berdasarkan syariat Islam, tak pelak ia mampu menorehkan prestasi yang gemilang, yakni ia mendapat penghargaan Enterprise-50 sebagai Waralaba Lokal Terbaik dari Pesiden RI, Megawati Soekarnoputri.
Dari ibu kota Sumatera Utara ini nanti Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo (Wong Solo) melejit ke pentas bisnis nasional. Belakangan ini nama Wong Solo semakin berkibarkibar setelah berhasil menaklukkan Jakarta setelah sebelumnva "mengapung" dari daerah pinggiran. Dalam waktu relatif singkat kehadiran Wong Solo telah merengsek dan menanamkan tonggaktonggak bisnisnya di pusat kota metropolis ini. Ekspansinya pun semakin tak tertahankan dengan memasuki berbagai kota besar di Indonesia.Fenomena Wong Solo mengundang decak kekaguman berbagai kalangan dari pejabat pemerintah, para pelaku bisnis hingga para pengamat. Hampir semua outletnya di Jakarta selalu sesak pengunjung, terutama di akhir pekan dan hari libur. Bahkan ketika bulan Ramadhan kemarin, semua outlet tersebut membatasi jumlah pengunjung saat berbuka puasa.
Skala usaha Wong Solo itu memang belum sekelas para konglomerat masa lalu yang dengan enteng menyebut angka aset, omset atau keuntungan per tahun yang triliunan rupiah. "usaha saya memang belum kelas triliunan seperti para konglomerat yang kaya utang itu," paparnya. Kendati masih tergolong usaha menengah, namun kinerja wong Solo sangat solid dan tak punya beban utang. Ia memiliki pondasi kuat untuk terus berkembang. Untuk mewujudkan mimpimimpinya, ayah sembilan anak dari empat istri ini telah melewati rute perjalanan yang berlikaliku lengkap dengan segala tantangannya.Ada masa ketika di waktuwaktu awal merintis usaha di Medan ia nyaris patah semangat garagara selama berhari-hari tak pernah meraih untung. Hanya berjualan dua atau tiga ekor ayam bakar plus nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku. Pernah pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di tengah jalan karena jalanan licin sehabis hujan. "Apa boleh buat, saya terpaksa pulang dan memasak lagi". katanya. Istrinya yang tak sabar melihat lambannya usaha Puspo bahkan sempat memberi tahu ayahnya agar memberitahu ayahnya agar mempengaruhi Puspo supaya tak berjualan ayam bakar lagi. "Mertua saya bilang, kapan kamu akan tobat," katanya menirukan ucapan sang mertua.Pada awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka jika usaha warung ayam bakar “Wong Solo” akan berkembang seperi sekarang. Maklum, rumah makan yang dibukanya hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3x4 meter di dekat bandara Polonia, Medan. Setahun pertama dia hanya mampu menjual 3 ekor ayam per hari yang dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500 plus sepiring nasi. Di tahun kedua, naik menjadi 10 ekor ayam per hari Namun sekarang, 13 tahun kemudian, di memiliki lebih dari 16 cabang tersebar di medan, Banda Aceh, Padang, Solo, Denpasar, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Jakarta, Malang dan Yogyakarta meskipun masih mengandalkan ayam bakar, namun menunya kini makin beragam hingga 100 jenis. Sudah terbiasa bagi Wardoyo untuk menyisihkan 10 % dari keuntungannya untuk amal. Dia percaya, Tuhan akan memperkaya orang yang banyak beramal. Maka jangan heran bila Anda kebetulan mampir di salah satu rumah makannya menyaksikan karyawannya sedang berkerumun di saat menjelang atau usai jam kerja. Mereka sedang melaksanakan ibadah “kultum” atau kuliah tujuh menit.Promosi dari mulut ke mulut membuat warungnya makin terkenal. Terlebih ketika seorang wartawan daerah membuat tulisan tentang “Wong Solo”, makin ramai saja orang yang makan ke warungnya. Pernah suatu hari dia kewaalahan memenuhi pesanan pelanggan. Di saat tiga ekor ayam jualannya habis, datang pembeli lain yang bersedia menunggu asalkan Wardoyo mau mencari ayam batu ke pasar. Diapun memenuhi permintaan pelanggan tersebut dengan membeli tiga ekor ayam lagi. Namun datang lagi pelanggan lain yang juga bersedia menunggu Wardoyo mencari ayam ke pasar. “Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan,” kata Wardoyo mengenang.
Bersamaan dengan bertambahnya pelanggan, dua tahun kemudian Wardoyo memperluas warungnya hingga layak disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo nampak tergurat pada bentuk bangunan dan penampilannya yang cenderung “nyleneh”. Dalam bentuk bangunan, misalnya, Wardoyo tak segansegan mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar seorang arsitek guna mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan.Perpaduan seni dan entrepreneurship Wardoyo juga tertuang dalam pendekatan terhadap konsumen. ”Saya berusaha menghafal namanama semua pelanggan saya. Sehingga sewaktu mereka datang saya harus menyambut mereka dengan menyebut namanya,” papar Wardoyo. Inilah yang disebutnya sebagai “menjadikan pelanggan sebagai saudara”. Seiring dengan berkembangnya “Wong Solo”, Puspo Wardoyo membuka kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menikmati nilai tambah Wong Solo melalui system waralaba. Untuk waralaba tersebut, Wardoyo telah membuat standarisasi dalam hal rasa dan gerai (outlet). Jika seseorang membeli waralaba “Wong Solo” di Jakarta, dipastikan sama rasa dan penataan gerainya dengan “Wong Solo” Medan atau di tempat lain.Setelah sukses membesarkan “Wong Solo”, apa harapan Puspo Wardoyo selanjutnya ? Dengan sungguhsungguh dia menyahut,” Ingin terus bekerja keras, kaya raya, banyak istri, dan masuk surga.” (sumber: kerjasejahtera.blogspot.com)
Sekarang gerai Wong Solo telah berdiri hampir di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Keuletan Puspo Wardoyo dalam membesarkan warung makan ayam bakarnya menjadi idaman masyarakat memang tidak mudah. Ia harus merasakan terlebih dahulu berbagai cobaan, rintangan, halangan, hingga masa-masa sulit yang mencekam. Bermodalkan kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, dan dibumbui ketaqwaan dalam menjalankan usaha berdasarkan syariat Islam, tak pelak ia mampu menorehkan prestasi yang gemilang, yakni ia mendapat penghargaan Enterprise-50 sebagai Waralaba Lokal Terbaik dari Pesiden RI, Megawati Soekarnoputri.